Rabu, 07 Desember 2016

Jelang Natal, MUI Minta Jaga Persaudaraan!


Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Abdul Kadir Makarim mengimbau umat beragama di daerah itu tetap menjaga hubungan persaudaraan dan persatuan yang telah terbangun selama ini.

“Selain itu, umat diminta untuk tidak terprovokasi dengan isu-isu dan adu domba yang menyesatkan yang disebarkan orang yang tidak bertanggung jawab. Karena dapat mengganggu hubungan persaudaraan diantara sesama umat beragama,” kata Abdul, di Kupang, Senin (23/12).

Harapan MUI NTT itu sebagai bentuk himbauan kepada umat beragama di provinsi kepulauan itu menyambut Perayaan Natal 25 Desember 2013 dan Tahun Baru 1 Januari 2014.

“Saya imbau umat untuk menjaga persatuan dan kesatuan antarumat beragama di daerah ini. Jangan juga terprovokasi dengan isu-isu yang memecah belah umat. Kita semua adalah saudara,” kata Abdul.

Dia juga meminta kepada semua umat agar, jika ada hal-hal yang mencurigakan, supaya segera melaporkan kepada pemerintah dan aparat keamanan terdekat untuk mendapat penanganan.
“Jangan mengambil tindakan sendiri, karena justru akan membuat suasana tidak nyaman bagi umat sendiri,” pesan Abdul.

Menurut dia, seluruh umat beragama di NTT harus menjaga nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan dan kerukunan yang sudah terjaga baik, selama bertahun-tahun di provinsi ini.

(Antara-News/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ormas Stress! Dinilai Gunakan Tempat Umum, Ormas ‘Bubarkan’ KKR Natal di Bandung


Ormas yang menamakan dirinya Pembela Ahlusunnah (PAS) memasuki gedung Sabuga, Bandung, dan menghentikan kegiatan latihan paduan suara panitia kebaktian dan jemaat Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR). Menurut kronologi yang dirilis beritasatu.com (7/12), perwakilan ormas, Mohammad Roin Balad, memaksa panitia mengakhiri acara dengan alasan kegiatan kebaktian harus digelar di gereja, bukan gedung umum.

“Ketika KKR mereka mengundang juga agama lain selain Kristen. Sedangkan dalam SKB tiga menteri sudah jelas bahwa sebuah keyakinan agama tidak boleh mengundang atau mengajak agama lain ke kegiatan agamanya. Apalagi dilakukan secara massive dan terbuka seperti ini,” kata Mohammad Roin Balad di Bandung, seperti dikutip Jaringan Kantor Berita Radio, Selasa (6/12).

Dua jam sebelum pembubaran, Pendeta Stephen Tong berkoordinasi dengan pejabat Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Bandung bernama Iwan dan petugas Polrestabes Bandung Ipda Edy serta Ipda Kasmari tentang aspirasi massa PAS agar Gedung Sabuga tidak dipakai dalam acara kebaktian.

Stephen akhirnya meminta waktu selama 45 menit untuk membahasnya dengan para jemaat yang sudah terlanjur masuk gedung.

Mencoba memediasi, Kesbangpol Bandung pun memberikan penjelasan kepada perwakilan PAS atas permintaan Stephen Tong tersebut. Meski demikian, tidak lama kemudian massa PAS yang berkumpul di jalan masuk menuju gedung Sabuga menyampaikan akan memberikan waktu sampai pukul 18.00 agar panitia KKR meninggalkan gedung sabuga.


Selain dilakukan di tempat umum, pelaksanaan KKR Natal 2016 di Sabuga ITB itu dianggap belum mendapatkan izin dari Kementerian Agama serta lembaga hukum lainnya dan tidak sesuai dengan waktu yang dijadwalkan.

“Mereka asalnya mengaku akan menggelar acara jam 18.30 WIB tapi tahunya digelar jam 13.00. Itu kan sudah berdusta,” kata Roin.

Perwakilan penyenggara KKR Natal 2016, Tjoeng menjelaskan penggunaan Sabuga ITB lantaran tempat ibadah yang dimilikinya kecil dan tidak bisa menampung massa. Dia meminta maaf jika kegiatan tersebut dinilai berdampak negatif.

Dalam penjelasannya di hadapan seluruh jemaat Pendeta Stephen Tong menyatakan adanya hal itu menjadi pelajaran bagi setiap penyelenggaraan ibadah yang akan dilakukan. Stephen menyebutkan pula dengan adanya hal tersebut, tidak boleh menyurutkan rasa cinta kasih terhadap sesama.

“Jangan sampai membenci dan harus mengevaluasi tentang hal ini. Dan harus mencintai dengan orang yang saat ini melarang kita,” kata Stephen seperti dikutip KBR. []

(ISimalungun/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Di Tehran, Ketua MPR RI Sambut Baik Kerjasama Penyelesaian Konflik Dengan Dialog, Wahabi Melakukan Makar


Ketua MPR Republik Indonesia, Zulkifli Hasan beserta rombongan melakukan kunjungan ke Tehran, Iran (4-7/12) dalam rangka memenuhi undangan Ketua Parlemen Iran, Ali Larijani dan pengembangan kerja sama antar parlemen kedua negara. KBRI Tehran melaporkan, Ketua MPR dan delegasi telah melakukan pertemuan bilateral dengan Ketua Majlis Iran pada 5 Desember.

“Pada pertemuan dengan Ketua Majlis Iran, Larijani menyampaikan bahwa Iran dan Indonesia dapat lebih mengembangkan kerja sama disegala bidang. Dibidang ekonomi, diharapkan kedua negara dapat meningkatkan nilai perdagangan yang saat ini terhambat permasalahan perbankan,” kata laporan KBRI Tehran seperti dirilis portal resmi kementrian luar negari Indonesia, 5/12.

Dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, disebutkan bahwa iran siap untuk melakukan alih teknologi dengan Indonesia. Di bidang politik, disampaikan bahwa kedua parlemen dapat lebih mempererat kerja sama. Larijani juga menyampaikan bahwa Iran mengajak Indonesia untuk bekerja sama dalam penyelesaian konflik negara-negara di Timur-Tengah (Timteng) melalui dialog politik, terutama terkait konflik Israel-Palestina.

“Negara-negara Muslim harus saling berkonsultasi dan melawan gerakan teroris,” kata Larijani dalam konferensi pers bersama dengan Ketua Majelis Rakyat Indonesia (MPR), Zulkifli Hasan, di Tehran, seperti dikutip parstoday.com

Secara khusus, Larijani juga menyampaikan ucapan terima kasih atas dukungan Indonesia kepada Iran melalui penolakan terhadap resolusi Dewan HAM yang memiliki dampak negatif terhadap Iran.

Dalam sambutannya, Ketua MPR RI menyampaikan bahwa kerja sama antara kedua negara diberbagai bidang, antar parlemen dan masyarakat dapat terus dikembangkan dengan mengutamakan persamaan dan bukan perbedaan. Ketua MPR menyayangkan terjadinya konflik antar negara Islam di Timteng. Dalam kaitan tersebut, Indonesia menyambut baik kerja sama antara kedua negara dalam penyelesaian konflik di Timteng melalui dialog politik.

Terkait kesepakatan nuklir Iran, Indonesia mengharapkan kedepannya terdapat perkembangan positif bagi Iran. Dibidang ekonomi, disampaikan mengenai kerja sama migas kedua negara dan dukungan Pemerintah Indonesia dalam memajukan perdagangan bilateral yang nilainya masih rendah. Lebih lanjut, disebutkan pula perlunya kerja sama kedua negara terkait perlindungan dan pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM).

Selain rangkaian pertemuan di atas, KBRI Tehran juga telah memfasilitasi acara silaturahmi dengan masyarakat Indonesia di Tehran. Pada acara tersebut, Ketua MPR menyampaikan bahwa sebagai warga negara Indonesia, kita harus bangga dengan perkembangan demokrasi di Indonesia, terutama mengingat aksi damai yang telah berlangsung di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 lalu.

“Ketua MPR juga menyampaikan bahwa masyarakat Indonesia di Iran juga harus aktif membantu peningkatan hubungan Indonesia-Iran,” katanya.[]

(Parstoday/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Buya Syafi’i: Hukum Ahok 400 Tahun Hingga Yang Menuduh Puas Tanpa Batas


Jika dalam proses pengadilan nanti terbukti terdapat unsur pidana dalam tindakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 27 September 2016 itu, Prof. Ahmad Syafi’i mengusulkan agar ia dihukum selama 400 tahun atas tuduhan menghina Al-Quran, kitab suci umat Islam.

“Sehingga pihak-pihak yang menuduh terpuaskan tanpa batas,” kata Eks Ketua Umum Muhammadiyah ini di tempo.co (2/12).

Menurut pria yang akrab disapa Buya Syafi’i ini, biarlah generasi yang akan datang yang menilai berapa bobot kebenaran tuduhan itu. Sebuah generasi yang diharapkan lebih stabil dan lebih arif dalam membaca politik Indonesia yang sarat dengan dendam kesumat ini.

“Saya tidak tahu apakah di KUHP kita terdapat pasal tentang rentang hukuman sekian ratus tahun itu. Jika tidak ada, ciptakan pasal itu dan Ahok saya harapkan menyiapkan mental untuk menghadapi sistem pengadilan Indonesia yang patuh pada tekanan massif pihak tertentu,” kata Guru Besar di Universitas Negeri Yogyakarta ini

Di media sosial, dalam minggu-minggu terakhir yang panas ini beredar kicauan bahwa, melalui Ahok, konglomerat “Sembilan Naga” akan lebih leluasa menguasai ekonomi Indonesia yang memang sebagian besar sudah berada dalam genggaman mereka.

“Benarkah demikian?”

Bagi Buya, jawabannya: tidak salah. Tapi, saran cendekiawan Muslim ini, tidak perlu melalui Ahok yang mulutnya dinilai liar dan jalang itu, karena prosesnya sudah berjalan puluhan tahun, jauh tersimpan dalam rahim paruh kedua abad ke-20 setelah kekuasaan Bung Karno terempas karena salah langkah dalam mengurus bangsa dan negara.

“Tapi pihak manakah yang memberi fasilitas kepada para naga yang jumlahnya bisa puluhan itu—bukan sebatas sembilan?”

Menurut Buya, tidak sulit mencari jawaban atas pertanyaan ini. Fasilitatornya adalah penguasa dan pihak perbankan Indonesia yang sebagian besar beragama Islam.

“Sekali lagi, sebagian besar beragama Islam. Pihak-pihak inilah yang memberi surga kepada para naga itu untuk menguasai dunia bisnis di negeri ini.”

Buya memasukkan para pihak ini ke kategori bermental anak jajahan, sekalipun sering berteriak sebagai patriot sejati. Atau, mungkin juga, berbisnis dengan kalangan sendiri belum tentu selalu taat janji, karena tidak jarang yang punya mental menerabas.

“Serba sulit, memang,” katanya

Tapi, di mata Buya, harus ada terobosan dari negara untuk mendidik warganya ke arah pemberdayaan anak bangsa secara keseluruhan agar punya mental manusia merdeka yang terampil berbisnis, bukan manusia hamba yang lebih senang tetap menjadi wong cilik.

“Karena itu, kita harus jujur kepada diri sendiri: mengapa mereka yang mengaku sebagai warga negara tulen tidak punya mental kuat dengan disiplin tinggi agar uang menjadi jinak di tangan mereka?”

Presiden ‘World Conference on Religion for Peace’ ini menambahkan, “Lihatlah pihak sana, sekali memasuki dunia bisnis, perhatiannya 100 persen tercurah untuk keperluan itu. Nilai inilah yang seharusnya kita ambil dari mereka.”

Buya mengatakan, Jika terpaksa jadi jongos dalam perusahaan teman kita ini, sifatnya mestilah sementara, untuk kemudian semua kemahiran dagang mereka kita ambil alih.

“Jangan tetap setia jadi jongos sampai ke liang kubur,” katanya.

Semestinya, lanjut Buya, pembenci Ahok tidak hanya mahir bermain secara hiruk-pikuk di hilir lantaran buta peta, karena masalah utamanya berada di hulu—setidak-tidaknya bisa ditelusuri sejak rezim Orde Baru.

“Selama masalah besar dan utama ini dibiarkan berlanjut, jangan bermimpi kesenjangan sosial yang masih menganga dapat dipertautkan. Dan, prahara sosial bisa muncul setiap saat untuk meluluhlantakkan apa yang telah dibangun selama ini.”

Di mata pria 81 tahun ini, sikap benci dan marah tanpa bersedia mengoreksi diri secara jujur dan berani, sorak-sorai demo, akan berujung pada kesia-siaan. Apalagi, kabarnya, kekerasan juga telah menjadi ladang usaha bagi sebagian orang yang punya mentalitas duafa, sekalipun menikmati mobil super-mewah.

“Tapi, Tuan dan Puan, jangan salah tafsir. Yang bermental patriotik dan nasionalis dari kelompok etnis ini juga tidak kurang jumlahnya. Saya punya teman dekat dari kalangan ini, sekalipun mereka belum tentu masuk dalam barisan naga itu.”

Dan, lanjut Buya, naga itu pun tidak semuanya masuk dalam lingkaran konglomerat hitam. “Cinta teman dekat saya ini kepada tanah leluhur sudah lama mereka tinggalkan dan tanggalkan. Tanah air mereka tunggal: Indonesia! Mereka lahir dan berkubur di sini, sikap mereka tidak pernah mendua.”

Adalah sebuah angan-angan kosong sekiranya Ahok dijatuhi hukuman selama 400 tahun, sementara mentalitas terjajah atau jongos tetap diidap sebagian kita.

“Ujungnya hanya satu: kalah,” tegasnya

Dan juga, kekalahan mendorong orang menuju sikap kalap yang bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Maka, menurut Buya, amatlah nista bila nama Tuhan disebut-sebut untuk membenarkan mentalitas kalah dan kalap ini.

“Tanpa perbaikan mendasar dalam struktur kejiwaan kita, maka ungkapan Bung Karno tentang bangsa kuli di antara bangsa-bangsa bukan mustahil menjadi kenyataan.”

Ke depan, kata Buya, diperlukan otak dingin dan kecerdasan spiritual tingkat tinggi untuk membenahi Indonesia.

“Masalah bangsa ini sangat kompleks, tapi pasti ada solusinya, dengan syarat kita semua masih punya akal sehat dan hati nurani,” katanya []

(Tempo/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

‘9 Naga’ Kuasai Ekonomi Indonesia? Buya Syafi’i: Sudah Puluhan Tahun, Fasilitatornya Sebagian Besar Muslim


Sebagian pengamat menilai, salah satu kekuatan menonjol di balik Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama ialah adanya sejumlah konglomrat Cina. Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun mengatakan, publik mengenal para pemodal itu sebagai sembilan naga atau sembilan barongsai.

Politikus muda Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia juga mengaku curiga, ada kekuatan besar yang melindungi Ahok sehingga diperlakukan berbeda dengan tersangka lain dalam kasus penistaan agama. Menurut Doli, indikasi ada kekuatan besar yang melindungi Ahok mengarah kepada kelompok taipan yang sedang menjalani bisnis properti dan melakukan reklamasi Teluk Jakarta.

“Kalau selama ini disebut ada 9 Naga, indikasinya kan banyak,” katanya seperti dikutip sindonews (29/11)

Tidak hanya itu, dalam minggu-minggu terakhir, di media sosial juga beredar kicauan bahwa, melalui Ahok, konglomerat “Sembilan Naga” akan lebih leluasa menguasai ekonomi Indonesia yang memang sebagian besar sudah berada dalam genggaman mereka. Benarkah demikian?

Menurut Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif, jawabannya: tidak salah. Tapi, kata Eks Ketua Umum Muhammadiyah ini, tidak perlu melalui Ahok yang mulutnya dinilai liar dan jalang itu, karena prosesnya sudah berjalan puluhan tahun, jauh tersimpan dalam rahim paruh kedua abad ke-20 setelah kekuasaan Bung Karno terempas karena salah langkah dalam mengurus bangsa dan negara.

“Tapi pihak manakah yang memberi fasilitas kepada para naga yang jumlahnya bisa puluhan itu—bukan sebatas sembilan?” kata pria yang akrab disapa Buya Syafi’i ini di tempo.co

Menurut Buya, tidak sulit mencari jawaban atas pertanyaan ini. Fasilitatornya adalah penguasa dan pihak perbankan Indonesia yang sebagian besar beragama Islam.

“Sekali lagi, sebagian besar beragama Islam. Pihak-pihak inilah yang memberi surga kepada para naga itu untuk menguasai dunia bisnis di negeri ini,” kata guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta ini.

Semestinya, lanjut Buya, pembenci Ahok tidak hanya mahir bermain secara hiruk-pikuk di hilir lantaran buta peta, karena masalah utamanya berada di hulu—setidak-tidaknya bisa ditelusuri sejak rezim Orde Baru.

“Selama masalah besar dan utama ini dibiarkan berlanjut, jangan bermimpi kesenjangan sosial yang masih menganga dapat dipertautkan. Dan, prahara sosial bisa muncul setiap saat untuk meluluhlantakkan apa yang telah dibangun selama ini.”

Di mata pria 81 tahun ini, sikap benci dan marah tanpa bersedia mengoreksi diri secara jujur dan berani, sorak-sorai demo, akan berujung pada kesia-siaan. Apalagi, kabarnya, kekerasan juga telah menjadi ladang usaha bagi sebagian orang yang punya mentalitas duafa, sekalipun menikmati mobil super-mewah.

“Tapi, Tuan dan Puan, jangan salah tafsir. Yang bermental patriotik dan nasionalis dari kelompok etnis ini juga tidak kurang jumlahnya. Saya punya teman dekat dari kalangan ini, sekalipun mereka belum tentu masuk dalam barisan naga itu.”

Dan, lanjut Buya, naga itu pun tidak semuanya masuk dalam lingkaran konglomerat hitam. “Cinta teman dekat saya ini kepada tanah leluhur sudah lama mereka tinggalkan dan tanggalkan. Tanah air mereka tunggal: Indonesia! Mereka lahir dan berkubur di sini, sikap mereka tidak pernah mendua.”

Adalah sebuah angan-angan kosong sekiranya Ahok dijatuhi hukuman selama 400 tahun, sementara mentalitas terjajah atau jongos tetap diidap sebagian kita.

“Ujungnya hanya satu: kalah,” tegasnya

Dan juga, kekalahan mendorong orang menuju sikap kalap yang bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Maka, menurut Buya, amatlah nista bila nama Tuhan disebut-sebut untuk membenarkan mentalitas kalah dan kalap ini.

“Tanpa perbaikan mendasar dalam struktur kejiwaan kita, maka ungkapan Bung Karno tentang bangsa kuli di antara bangsa-bangsa bukan mustahil menjadi kenyataan.” []

(Maarif-Institute/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

43 Nilai Dakwah Menurut Buya Hamka


1. Dakwah itu membina, bukan menghina.

2. Dakwah itu mendidik, bukan ‘membidik’

3. Dakwah itu mengobati, bukan melukai.

4. Dakwah itu mengukuhkan, bukan meruntuhkan.

5. Dakwah itu saling menguatkan, bukan saling melemahkan.

6. Dakwah itu mengajak, bukan mengejek.

7. Dakwah itu menyejukkan, bukan memojokkan.

8. Dakwah itu mengajar, bukan menghajar.

9. Dakwah itu saling belajar, bukan saling bertengkar.

10. Dakwah itu menasehati, bukan mencaci maki.

11. Dakwah itu merangkul, bukan memukul.

12. Dakwah itu mengajak bersabar, bukan mengajak mencakar.

13. Dakwah itu argumentatif, bukan provokatif.

14. Dakwah itu bergerak cepat, bukan sibuk berdebat.

15. Dakwah itu realistis, bukan fantastis.

16. Dakwah itu mencerdaskan, bukan membodohkan.

17. Dakwah itu menawarkan solusi, bukan mengumbar janji.

18. Dakwah itu berlomba dalam kebaikan, bukan berlomba saling menjatuhkan.

19. Dakwah itu menghadapi masyarakat, bukan membelakangi masyarakat.

20. Dakwah itu memperbarui masyarakat, bukan membuat masyarakat baru.

21. Dakwah itu mengatasi keadaan, bukan meratapi kenyataan.

22. Dakwah itu pandai memikat, bukan mahir mengumpat.

23. Dakwah itu menebar kebaikan, bukan mengorek kesalahan.

24. Dakwah itu menutup aib dan memperbaikinya, bukan mencari-cari aib dan menyebarkannya.

25. Dakwah itu menghargai perbedaan, bukan memonopoli kebenaran.

26. Dakwah itu mendukung semua program kebaikan, bukan memunculkan keraguan.

27. Dakwah itu memberi senyum manis, bukan menjatuhkan vonis.

28. Dakwah itu berletih-letih menanggung problem umat, bukan meletihkan umat.

29. Dakwah itu menyatukan kekuatan, bukan memecah belah barisan.

30. Dakwah itu kompak dalam perbedaan, bukan ribut mengklaim kebenaran.

31. Dakwah itu siap menghadapi musuh, bukan selalu mencari musuh.

32. Dakwah itu mencari teman, bukan mencari lawan.

33. Dakwah itu melawan kesesatan, bukan mengotak-atik kebenaran.

34. Dakwah itu asyik dalam kebersamaan, bukan bangga dengan kesendirian.

35. Dakwah itu menampung semua lapisan, bukan memecah belah persatuan.

36. Dakwah itu kita mengatakan: “aku cinta kamu”, bukan “aku benci kamu”

37. Dakwah itu kita mengatakan: “Mari bersama kami” bukan “Kamu harus ikut kami”.

38. Dakwah itu “Biaya Sendiri” bukan “Dibiayai/Disponsori”

39. Dakwah itu “Habis berapa?” bukan “Dapat berapa ?”

40. Dakwah itu “Memanggil/Mendatangi” bukan “Dipanggil/Panggilan”

41. Dakwah itu “Saling Islah” bukan “Saling Salah”

42. Dakwah itu di masjid, di sekolah, di pasar, di kantor, di parlemen, di jalanan, hingga dimana saja, bukan hanya di pengajian.

43. Dakwah itu dengan “Cara Nabi” bukan dengan “Cara Sendiri”.[]

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

JK: “Meningkatkan Keimanan Tidak Dengan Caci Maki di Mimbar Dakwah”


Meski pemerintah tidak ingin mengatur substansi materi penceramah, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, setidaknya apa yang disampaikan bukanlah cacian. Hal ini penting, karena menurut Kalla, masjid memiliki peran penting dalam membentuk pola pikir serta keimanan seseorang.

“Jangan ada maki-maki di masjid contohnya. Di luar lah kalau mau maki-maki,” kata Kalla saat membuka Rapat Kerja Nasional II Dewan Masjid Indonesia (DMI) Tahun 2016 di Istana Wapres, Senin (5/12).

Untuk itu, lanjut Kalla, perlu adanya penanaman hal positif yang diberikan setiap pengkhutbah dalam setiap dakwahnya.

“Bukan soal apa, karena meningkatkan suatu keimanan itu tidak dengan cara maki-maki. Karena itu lah dakwah yang baik tentu dakwah yang dari hati,” katanya.

Pada kesempatan itu, pria kelahiran Bone ini mengingatkan bahwa fungsi masjid juga harus diperluas, tak sekadar untuk kegiatan ibadah.

“Bagaimana meningkatkan peran masjid sebagai tempat sosial, pendidikan, dan kesehatan,” katanya.

Di mata Kalla, bertambahnya fungsi masjid berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Apalagi, masjid bisa menjadi jembatan dengan kegiatan sehari-hari masyarakat. Peluang itu bisa dilakukan karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim.

“Mudah berhubungan dengan masyarakat karena masyarakat yang mencari masjid,” katanya seperti dikutip tempo.co

Sasaran utama Rakernas DMI ialah konsolidasi di tingkat pimpinan wilayah. Sejumlah program unggulan yang tengah ditingkatkan, salah satunya penataan dan perbaikan akustik atau sound system masjid.

Adapun, langkah nyata untuk melebarkan fungsi masjid, DMI akan menggandeng lembaga pemerintah, seperti Badan Nasional Narkotika (BNN), Kementerian Sosial, dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Mereka akan membuat nota kesepahaman. Adapun Rakernas diikuti 150 peserta, yang terdiri atas perwakilan DMI dari 34 provinsi se-Indonesia. []

(Tempo/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)