Sabtu, 28 Juni 2014

Sayidah Maksumah, Wanita Mulia Panutan Sejarah


Salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt adalah bersahabat dengan Rasulullah dan Ahlul Baitnya. Rasulullah senantiasa menghormati Ahlul Bait dan meminta umatnya mencintai mereka. Rasulullah menyebut Ahlul Bait sebagai warisan terbesar bagi umat Islam setelah al-Quran.

Tanpa ragu, persahabatan dan kecintaan kepada Ahlul Bait Rasulullah menyebabkan mereka menjadi suri tauladan dalam kehidupan umat Islam. Hari kelahiran dan wafatnya Ahlul Bait Rasulullah adalah kesempatan untuk menyirami jiwa yang haus hakikat kebenaran dengan siraman pengetahuan dan kemuliaan dari manusia-manusia agung.

Hari ini adalah hari kelahiran wanita mulia Ahlul Bait Rasulullah. Pada hari pertama bulan Dzulqa'dah tahun 173 H, Imam Musa Kazhim as menamai bayi perempuan itu dengan nama Fatimah. Kemudian, wanita agung ini juga dikenal dengan nama Maksumah. Beliau adalah adik perempuan Imam Ridha as yang wafat di Qom, dan dimakamkan di kota suci itu.

Suatu hari kota Qom diliputi suka cita, karena masyarakat mendengar berita datangnya kafilah Ahlul Bait Rasulullah memasuki pintu kota suci itu.

Pada tahun 201 H, Sayidah Maksumah as dari kota Madinah berangkat menuju Mashad mengunjungi kakaknya Imam Ridha as. Namun di tengah perjalanan, beliau sakit parah. Karena tidak mungkin melanjutkan perjalanan, beliau akhirnya memasuki kota Qom. Mendengar kedatangan Ahlul Bait Nabi, masyarakat Qom dengan gembira menyambutnya. Masyarakat Qom dari berbagai kalangan menyambut kedatangan Sayidah Maksumah as.

Sejarah mencatat, salah satu pembesar Qom bernama Musa Bin Khazraj dengan suka cita menyambut kedatangan Sayidah Maksumah beserta rombongan dan mengundang mereka ke rumahnya. Setelah menetap selama tujuh belas hari di Qom, Sayidah Maksumah meninggal dunia akibat penyakit yang dideritanya.

Kedatangan Sayidah Maksumah telah mengubah keadaan kota Qom dalam waktu singkat. Kedatangan Ahlul Bait Nabi menorehkan sejarah baru bagi kota ini. Orang-orang dari jauh dan dekat mengunjungi kota ini untuk bertemu dengan Ahlul Bait Rasulullah. Kedatangan wanita agung ini memberikan berkah tersendiri bagi kota Qom. Kini, izinkanlah kami mengungkapkan percikan ilmu pengetahuan dan kemuliaan dari wanita agung ini.

Sayidah Maksumah lahir dari keluarga tempat tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan keutamaan moral. Semasa ayahnya, Imam Musa Kadzim as masih hidup, Sayidah Maksumah mendapat kucuran berkah dari keberadaan sumber pengetahuan dan keutamaan itu. Setelah ayahnya wafat, beliau mendapatkan bimbingan dan tuntutan moral dari saudaranya, Imam Ridha as.

Ketika memperkenalkan dirinya, Sayidah Maksumah mengatakan, "Saya adalah saudara perempuan Ridha." Perkataan ini menunjukkan kasih sayang beliau kepada saudaranya, Imam Ridha as. Demikian pula, Imam Ridha as mengungkapkan kecintaan kepada saudara perempuannya dengan menyatakan sulit berpisah dengan Sayidah Maksumah. Untuk itu, setelah meninggalkan Madinah dan menetapi di kota Marv, Imam Ridha menulis surat melalui orang kepercayaannya, supaya Sayidah Maksumah meninggalkan Madinah menuju Marv. Setelah menerima dan membaca surat dari kakaknya, Sayidah Maksumah berangkat menuju Marv, meski akhirnya beliau tidak bertemu dengan saudaranya itu.

Sayidah Maksumah as memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi dan keutamaan moral yang menjulang. Sejarah Islam mengabadikan keutamaan tersebut dengan berbagai nama dan sebutan mulia untuk beliau. Sayidah Maksumah juga termasuk perawi hadis di antara Ahlul Bait Rasulullah.

Keutamaan ilmu dan kemuliaan akhlak Sayidah Maksumah terlihat bersinar cemerlang sejak kecil. Sejarah mencatat, sejak anak-anak, Sayidah Maksumah mampu menjawab berbagai permasalah fiqh dan masalah ilmiah lainnya. Mengenai kelahiran wanita agung ini, kakeknya, Imam Shadiq as berkata, "Ia dimakamkan di kota Qom. Di sanalah haram Ahlul Bait."

Dalam kutipan ziarah yang biasa dibaca, disinggung mengenai kedudukan dan kemuliaan Sayidah Maksumah. Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama besar Islam, sebutan untuk beliau menunjukkan kedudukan tinggi di bidang ilmu pengetahuan dan kemuliaan akhlak serta spiritual wanita agung ini. Hal itu tercermin dari sejumlah nama julukan beliau seperti Siddiqah, yang berarti wanita yang berkata benar, atau Muhadasah yang berarti perawi wanita. Sejarah juga mencatat bahwa Sayidah Maksumah dijuluki sebagai Karimah Ahlul Bait. Karimah bermakna wanita yang pengasih dan dermawan.

Sayidah Maksumah merupakan figur mulia yang menjalani kehidupan sesuai dengan al-Quran dan ajaran Islam. Beliau memiliki kedudukan tinggi dari sisi kesempurnaan manusia, karena mengisi kehidupan dengan kecintaan kepada Allah Swt dan senantiasa menjalankan ajaran Islam. Mengenai kesalehan dan ketakwaan Sayidah Maksumah, Imam Ridha as menyebut saudarinya Maksumah yang berarti wanita yang bersih dari dosa.

Kini, setelah berlalu berabad-abad, makam Sayidah Maksumah di Qom, diziarahi ribuan bahkan jutaan orang dari segala penjuru dunia. Makam Sayidah Maksumah di Qom menebarkan berkah bagi kota suci ini, dan berkembangnya Hauzah ilmiah. Para pemikir dan pencinta Ahlul Bait dari berbagai negara dunia mengunjungi kota suci Qom untuk menuntut ilmu-ilmu Islam.

Hauzah ilmiah Qom merupakan benteng pertahanan yang menjaga, melestarikan dan mengembangkan ilmu-ilmu Islam. Bahkan dengan berjalannya waktu Hauzah Ilmiah Qom telah melahirkan berbagai ulama dan ilmuwan terkemuka. Di tempat suci inilah tumbuh manusia besar seperti Imam Khomeini yang menggemparkan dunia dengan revolusi Islamnya. Kini Hauzah Ilmiah Qom menjadi pelita yang menerangi dunia dari kegelapan dan kebodohan dengan bimbingan al-Quran dan Ahlul Bait Rasulullah.

(IRIB-Indonesia/Erfan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Syiah dan Tuduhan Tahrif Al-Quran


Isu tahrif (distorsi) Al-Qur'an selalu dituduhkan kepada Syiah, meskipun masalah tahrif ini telah dibantah oleh para ulama Syiah di setiap masa dan generasi sejak ratusan tahun yang lalu.


Syiah dan Tuduhan Tahrif al-Quran

Setelah membaca tanggapan Bung Fahmi Salim di Eramuslim, saya melihat meskipun ia mengkritik tulisan Bung Haidar Bagir di Republika, namun ia menyampaikannya dengan cukup santun. Tetapi, saat berbicara tentang Syiah, tampak sekali bahwa ia terlalu pede dengan hanya bermodalkan kutipan-kutipan dari satu atau dua buku bacaan.

Tulisannya tersebut menggambarkan betapa tidak mengertinya ia tentang mazhab Syiah. Pun menunjukkan betapa sempit dan terkungkungnya pengetahuannya hanya pada pandangan kelompoknya sendiri, dan kurangnya kemauannya untuk belajar tentang pandangan mazhab lain secara proporsional. Sebagaimana kata Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi, "Untuk berbicara, orang harus lebih dahulu mendengar. Maka, belajarlah berbicara dengan mendengar".

Karenanya, sebelum berkomentar dan menilai mazhab Syiah, semestinyalah ia belajar atau minimal mendengar terlebih dahulu dengan baik tentang mazhab ini dari sumbernya secara adil. Karena, sebagaimana kata Ibn Hajar al-Haitsami, "Mazhab kami benar, tetapi mengandung kekeliruan. Mazhab selain kami keliru, tetapi mengandung kebenaran."


Tahrif Al-Qur'an

Isu tahrif (distorsi) Al-Qur'an selalu dituduhkan kepada Syiah, meskipun masalah tahrif ini telah dibantah oleh para ulama Syiah di setiap masa dan generasi sejak ratusan tahun yang lalu.

Mengenai pernyataan Adnan al-Bahrani yang dikutip Bung Fahmi, semakin memperlihatkan kepedeannya dengan hanya membaca buku kutipan. Padahal, kalau ia mau, buku ini dengan mudah bisa diperoleh di internet. Buku Adnan tersebut berjudul asli 'Masyariq asy-Syamus ad-Duriyah fi Ahaqiyah Madzhab al-Akhbariyah'. Di dalamnya, Adnan mengatakan bahwa persoalan tahrif tersebut merupakan "konsensus firqah al-muhiqah dan sesuatu yang asasi dalam mazhab mereka" (hal. 126). Sayangnya, kata 'firqah al-muhiqah' kemudian diartikan sebagai Syiah secara umum. Padahal, jelas maksud Adnan hanya sebagian, yaitu merujuk kepada kaum Syiah Akhbariyah, sebagaimana yang tertera gamblang dalam judul bukunya. Selain itu, pada halaman berikutnya, Adnan mengatakan bahwa ulama-ulama Syiah seperti al-Murtadha, ash-Shaduq, dan sebagainya menentang isu tahrif tersebut. Ini menunjukkan bahwa Adnan tidak memaksudkan pernyataannya itu untuk Syiah secara umum.

Mengenai an-Nuri dalam kitabnya 'Fashlul Khitab' itu, lagi-lagi Bung Fahmi kepedean dengan hanya mengutip tulisan Ahmad Sa'ad Al-Ghamidi. Berikut saya kutipkan pernyataan murid an-Nuri, Syaikh Agha Buzurg Tahrani, yang menuturkan bahwa an-Nuri berkata, "Saya telah keliru memberi judul buku tersebut. Semestinya saya beri judul: Fashlul Khitab fi Adami Tahrif al-Kitab. Karena, dalam buku ini saya telah membuktikan bahwa Al-Quran adalah wahyu Ilahi yang tidak mengandung tahrif, baik penambahan maupun pengurangan, sejak dia dikumpulkan hingga sekarang. Sedangkan kumpulan pertama Al-Quran sampai kepada kita dengan tingkat kemutawatiran yang meyakinkan. Saya telah lalai untuk menjelaskan dengan tegas di banyak tempat dalam kitab tersebut, sehingga banyak kritik dan celaan yang ditujukan kepada saya. Bahkan, karena kelalaian tersebut, penegasannya menjadi sebaliknya. Saya hanya memberi isyarat tentang tujuan saya yang sebenarnya pada halaman 22. Sebab, yang penting adalah keyakinan bahwa tidak ada ayat lain selain yang terdapat dalam Al-Quran di tangan kita".[Syaikh Rasul Ja'fariyan, "Ukdzubah Tahrif al-Qur'an Baina asy-Syiah wa as-Sunnah", hal. 137].

Mengenai riwayat-riwayat lainnya, sebagian mesti dipahami sebagai tahrif maknawi (distorsi kontekstual), bukan tahrif lughawi (distorsi tekstual). Hal ini tampak pada riwayat dari Imam Muhammad al-Baqir, "Di antara ulah mereka yang suka membuang Al-Qur'an adalah membiarkan huruf-hurufnya, tetapi mengubah hukum-hukumnya."[Al-Kulaini, Al-Kafi, jil. 8, hal. 53].

Namun demikian, bila ada riwayat yang mengindikasikan tahrif lughawi, maka hal ini telah dibantah oleh jumhur ulama Syiah. Sayid Muhsin al-Amin mengatakan tentang tahrif yang dinisbatkan pada Syiah, "Itu adalah bohong dan dusta. Para ulama Syiah dan para muhadis mereka menyatakan yang sebaliknya." [Sayid Muhsin al-Amin, yan asy-Syi'ah, jil. 1, hal. 46 dan 51].

Bahkan hal ini ditegaskan pula oleh seorang ulama besar Ahlusunah, Rahmatullah al-Hindi, "Sesungguhnya Al-Qur'an al-Majid, di kalangan jumhur Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah, adalah terjaga dari perubahan dan pergantian. Apabila ada di antara mereka yang mengatakan adanya tahrif pada Al-Qur'an, maka yang demikian itu telah mereka tolak dan tidak mereka terima." [Rahmatullah al-Hindi, Izh-harul Haq, jil. 2, hal. 128].

Saya senang mendengar bahwa isu tahrif di kalangan Ahlusunah, seperti riwayat Ibnu Majah tersebut, telah dibantah oleh Bung Fahmi. Untuk itu, saya juga menunggu argumen bantahan lanjutan untuk riwayat-riwayat Ahlusunah berikut:
1. Khudzaifah berkata, "Pada masa Nabi, Saya pernah membaca Surat Al-Ahzab. Tujuh puluh ayat darinya saya sudah agak lupa bunyinya, namun saya tidak mendapatinya di dalam Al-Qur'an yang ada saat ini."[Suyuthi, Durr al-Mantsur, jil. 5, hal. 180].
2. Ibn Mas'ud telah membuang surat Muawidzatain (an-Nas dan al-Falaq) dari mushafnya dan mengatakan bahwa keduanya tidak termasuk ayat Al-Qur'an. [Al-Haitsami, Majma az-Zawa'id, jil. 7, hal 149; Suyuthi, Al-Itqan, jil. 1, hal. 79].
3. Umar bin Khattab berkata, "Apabila bukan karena orang-orang akan mengatakan bahwa Umar menambah ayat ke dalam Kitabullah, maka akan aku tulis ayat rajam dengan tanganku sendiri." [Shahih Bukhari, bab Syahadah Indal Hakim Fi Wilayatil Qadha; Suyuthi, Al-Itqan, jil. 2, hal. 25 dan 26; Asy-Syaukani, Nailul Authar, jil. 5, hal. 105; Tafsir Ibnu Katsir, jil. 3, hal. 260].

Laknat Bani Umayah Terhadap Ali bin Abi Thalib Sekali lagi, Bung Fahmi terlalu pede dengan hanya mengutip tulisan Shallabi. Mengenai Al-Madaini yang kata Shallabi dinilai tak bisa dipercaya oleh hampir semua pakar dan imam hadis Ahlusunah, adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A'lami Nubala justru berkata sebaliknya, "Ia memiliki pengetahuan yang menakjubkan tentang sejarah, peperangan, nasab, dan peristiwa-peristiwa di tanah Arab. Ia jujur (shadiq) dalam menyampaikannya. Ia seorang alim dalam isu seputar penaklukan (futuh), peperangan (maghazi), dan syair. Ia seorang yang jujur (shadiq) dalam hal itu."

Saya rasa Bung Fahmi tentu tahu bahwa Adz-Dzahabi adalah salah seorang imam rijal hadis Ahlusunah kenamaan. Namun demikian, saya juga ingin menambahkan riwayat tentang pelaknatan Ali tersebut dari sumber-sumber yang lain, di antaranya:
1. Suyuthi berkata, "Pada zaman Bani Umayyah terdapat lebih dari tujuh puluh ribu mimbar untuk melaknat Ali bin Abi Thalib, sebagaimana yang telah ditetapkan Muawiyah." [Ibn Abil Hadid al-Mu'tazili, Syarh Nahjul Balaghah, jil. 1, hal. 356].
2. Ibn Abdu Rabbih berkata, "Ketika Muawiyah melaknat Ali dalam khutbahnya di Masjid Madinah, Ummu Salamah segera menyurati Muawiyah, "Sungguh engkau telah melaknat Ali bin Abi Thalib. Padahal, aku bersaksi, Allah dan Rasul-Nya mencintainya." Namun, Muawiyah tidak peduli dengan kata-kata Ummu Salamah itu. [Ibn Abdu Rabbih, Al-Iqdu al-Farid, jil. 2, hal. 301 dan jil. 3, hal. 127].
3. Yaqut al-Hamawi berkata, "Atas perintah Muawiyah, Ali dilaknat selama masa kekuasaan Bani Umayyah dari Timur hingga Barat, di mimbar-mimbar masjid." [Yaqut al-Hamawi, Mu'jam al-Buldan, jil. 1, hal. 191].

Sebagai penutup, saya ingin mengatakan kepada Bung Fahmi bahwa persatuan itu bukan dibentuk dengan cara memaksa untuk sama. Ini namanya hegemoni dan sewenang-wenang. Persatuan dan persaudaraan hanya bisa terwujud melalui sikap toleran terhadap perbedaan. Selain itu, negeri ini juga bukan negara agama, sehingga tidak semestinya diklaim sebagai milik mazhab tertentu. Wallahu a'lam.

Muhammad Anis,
*Kandidat Doktor Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(Erfan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kecintaan Kepada Imam Husain as Menarikku ke Pusaran Islam


"Dengan mempelajari dan melihat langsung pengamalan Islam dan mazhab Syiah di Iran, saya akhirnya tidak bisa menutupi kekaguman ini. Harus saya akui, Islam adalah agama yang sempurna, dan hatiku telah begitu mantap untuk jatuh pada pilihan ini."


Kecintaan kepada Imam Husain as Menarikku ke Pusaran Islam.

Menurut Kantor Berita ABNA, seorang Mahasiswa Kristiani berkebangsaan Rusia yang selama 8 tahun bermukim di Iran dan kuliah di Universitas Ghurghan, sabtu pagi [8/3] mendatangi kantor perwakilan Wilayatul Faqih di Gulestan dan mengucapkan syahadat dihadapan Imam Jum'at Ghurghan yang dengan itu dia mengikrarkan diri memeluk Islam sebagai agamanya yang baru.

Ivan Misnakuv mengucapkan syahadat dibawah bimbingan Ayatullah Sayyid Kadzhim Nur Mufidi dan menetapkan Syiah sebagai mazhab pilihannya dalam menjalani Islam. Ivan dalam pengakuannya menyebutkan, akhirnya memantapkan diri memeluk Islam setelah sebelumnya menyibukkan diri mempelajari Al-Qur'an dan menelusuri kisah kepahlawanan Imam Husain as.

"Dengan mempelajari dan melihat langsung pengamalan Islam dan mazhab Syiah di Iran, saya akhirnya tidak bisa menutupi kekaguman ini. Harus saya akui, Islam adalah agama yang sempurna, dan hatiku telah begitu mantap untuk jatuh pada pilihan ini." Ungkapnya.

Ivan melanjutkan, "Kecintaan kepada Imam Husain as telah memenuhi hati ini, jauh sebelum hari ini. Selama 8 tahun di Iran, saya aktif mengikuti peringatan kesyahidan Imam Husain as setiap tahunnya di bulan Muharram. Karenanya saya yakin, kemantapan hati ini dalam memilih Islam adalah dari Allah melalui perantaraan keberkahan dan karamah pemimpin yang agung tersebut."

"Islam Syiah diperkenalkan oleh dua orang saudara perempuan saya, yang sebelumnya juga sudah memeluk agama Islam. Berkat dorongannya, saya memilih Iran sebagai tempat menimba ilmu. Dan saya menemukan atmosfer keilmuan yang luar biasa di Negara ini. Meskipun sebelumnya saya Kristiani, saya bebas dalam memeluk keyakinan saya itu, dan akhirnya dalam beralih keyakinan itu sepenuhnya karena kehendak saya pribadi dan tidak ada paksaan sedikitpun dari siapapun." Tambahnya.

Ayatullah Nur Mufidi dalam sambutannya mengatakan, "Kalau saudara memang benar meyakini kebenaran Islam dari dalam hati, dan memilih Islam dengan niat tulus untuk mendekati Tuhan, Insya Allah, Allah akan memberikan jalan kemudahan untuk saudara mencapai taufik Ilahi dan hakikat."

Ulama yang menjabat Wakil Wali Faqih di Provinsi Ghulestan dan Imam Jum'at Ghurghan tersebut kemudian mendo'akan dan berharap kepada Allah SWT melalui perantaraan Maksumin as agar ikrar berislam Mahasiswa Rusia tersebut dapat dipegang teguh, dan mendoakan seluruh kaum muslimin untuk senantiasa berada dalam keberkahan dan kebaikan.

(ABNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Aktivis Persis: Rasionalitas dan Akhlakul Karimah, Sendi Dakwah Islam


Rasionalitas dan akhlak adalah dua pilar penting dalam dakwah. Hal itu terungkap dalam bincang santai dengan beberapa aktivis dan mubalig Persatuan Islam usai gelar kegiatan muthala’ah dan mubahatsah di Masjid Al-Husaini Jl. Mardani di bilangan Johar Baru Jakarta Pusat, Minggu (19/1/2014), pukul 10.00 – 12.00 WIB.

Kali ini muthala’ah dan mubahatsah, kegiatan berkala ormas Persis yang diperuntukkan mendalami berbagai topik itu, mengambil fokus kajian terhadap Kitab Al Kafi Karya Al-Kulaini dengan narasumber Ustad Abdullah Beik, MA. Seperti diketahui, kitab ini adalah kitab hadis Madzhab Islam Syiah.

Acara sudah usai namun beberapa aktivis masih berkumpul di pojok kanan depan di lantai dua masjid berkapasitas 500 jamaah tersebut. Bincang ringan itulah yang membuat suasana demikian akrab.

“Kita masih bisa berharap hubungan positif dengan rekan-rekan Syiah,” ujar salah seorang jamaah kajian. Selanjutnya salah seorang Pengurus Cabang Persis Jakarta Pusat menimpali, “Yang positif dari Syiah adalah rasionalitasnya. Mereka ini berpegang pada prinsip rasional. Jadi, masih memungkinkan kita mengajak mereka kembali ke Islam yang benar melalui dialog,” tegas aktivis itu.

Meski akhir kalimatnya terkesan sebagai penghakiman sepihak, “Namun tiba-tiba saya kehilangan alasan untuk merawat anggapan saya tentang Persis, bahwa ormas ini berisikan orang-orang Islam garis keras, ekstrim dan anti-dialog,” gumam seorang peserta yang tak berkenan ditulis namanya.

Ormas Islam ini seperti diketahui lahir sebagai reaksi atas Muhammadiyah. Aspek puritanisme menurut pendirinya, A. Hasan, masih mengandung banyak unsur yang perlu dikuatkan lagi sebagai upaya membentengi umat Islam dari penyimpangan akidah dan praktik keagamaan umat Islam kala itu. Kesan yang muncul sepanjang lahir dan berkiprahnya Persis adalah ormas ini mengusung visi revivalisme Islam dan misi Islam puritan.

Semua anggapan ini pun bisa luntur lantaran sekelumit pencerahan dalam bincang singkat tersebut. Mubalig persis yang duduk di sisi paling kanan itu sempat menghimbau agar dakwah dilakukan dengan ketulusan niat dan sportivitas. Ia lalu menceritakan teladan yang diwariskan pendiri Persis, A. Hasan bahwa beliau dahulu menjalankan dakwahnya dengan dialog. Syarat dialog yang baik adalah mengetahui dengan baik bahan yang akan didialogkan. “Jadi, kalau mau dialog dengan Syiah, kita harus paham kitab-kitab Syiah dengan baik,” tambahnya.

Dikisahkan Sang Mubalig, suatu ketika A. Hasan berdialog dengan mubalig Jemaat Ahmadiyah, mengatakan bahwa jika argumen Ahmadiyah lebih kuat dalam seluruh dialog itu maka dirinya akan masuk Ahmadiyah, tetapi tentu jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka pihak Ahmadiyahlah yang mesti kembali ke Islam yang benar.

“Kita harus berdakwah dan membawakan ajaran Islam ini dengan fair dan benar-benar jernih,” tegas mubalig itu sekali lagi, disambut anggukan hadirin. Ungkapan-ungkapan yang amat melegakan di tengah maraknya gerakan dakwah yang dikemas dengan kekerasan saat ini. Boleh dikata demikian istimewa karena justru menyeruak di tengah-tengah jamaah ormas yang latar doktrinnya tidak begitu jauh dari gerakan purifikasi Ibnu Taimiyah hingga Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian disebut sebagai Madzhab Wahabi.

Lebih melegakan lagi tatkala Ketua Pengurus Cabang Persis Jakarta Pusat melengkapi prasyarat dialog dengan menyampaikan satu perspektif lain. “Sebenarnya yang jauh lebih penting dari kekuatan argumen dan rasionalitas itu, Ustadz, adalah akhlak dalam dakwah. Walau kita berhasil memenangkan dialog dengan argumen yang lebih rasional tetapi disampaikan dengan kurang simpatik, itu takkan bermakna apa-apa,” katanya.

Seolah-olah dialog di forum tak resmi itu menjadi pelengkap suasana dialog di forum muthala’ah dan mubahatsah sebelumnya. Dua pilar ini, rasionalitas dan akhlakul karimah amat perlu dikembangkan dalam rangka meningkatkan kehormatan Islam. Lebih dari itu semua, “Saya optimis Persis dapat menjadi ormas terdepan dalam mempromosikan Islam damai di masa depan,” tukas salah seorang peserta lainnya sebelum mereka saling berpamitan.

Bagaimana reaksi aktivis Muslim Syiah atas pernyataan aktivis Persis tentang peluang mengembalikan Syiah pada Islam yang benar? Apakah pernyataan tersebut dianggap menyudutkan madzab itu? Seorang aktivis Muslim Syiah, Mujtahid Hashem menyatakan bahwa justru pernyataan yang mengisyaratkan upaya mengembalikan pengikut Syiah kepada Islam yang benar serta klaim tentang Islam yang benar itu sendirilah yang perlu didialogkan secara jernih dengan asas-asas rasionalitas yang tinggi dalam semangat akhlakul karimah.

“Saya rasa sih wajar saja lah kalau mereka berpendapat begitu, kan? Tetapi poin pentingnya adalah ajakan dialog dengan mengedepankan rasionalitas dan akhlak. Ini amat penting. Saya kira, kalau semua gerakan Islam berpendapat seperti ini, bagus lah. Apalagi bila ditambahkan perlu adanya fair play. Artinya, argumen yang paling kuat itulah yang nantinya mesti diikuti,” pungkas aktivis yang pernah menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Timur Tengah itu. (Syafin/Yudhi)

(Ahlul-Bait-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Melindungi Masjid Al-Aqsha Lewat Pameran Foto


Banyak cara untuk melindungi kelestarian Masjid Al-Aqsha. Salah satunya lewat pameran foto. Misi inilah yang terekam dalam pameran foto Al-Aqsha yang berlangsung di Galeri Shadda, Jeddah sejak akhir pekan lalu.

Pameran ini prakarsa dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Fotografer Turki, Orhan Durgut yang ambil bagian dari pameran itu mengatakan misi pameran ini sangat penting yakni terus mengingatkan umat Islam untuk melindungi masjid kiblat pertama.

"Anda tahu saat ini Al-Aqsha tengah diduduki Israel," kata Durgut seperti dikutip Arabnews, Selasa (15/5).

Durgut memperlihatkan 54 karyanya dari berbagai sisi. Ini termasuk, strategi, arsitektur dan elemen sejarah dari Masjid Al-Aqsha. Sebelumnya, anggota Lembaga Eksekutif Islam di Al-Quds, yang juga guru besar studi Islam di Universitas Al-Quds, Syekh Jamil Hamam mengatakan Masjid Al-Aqsha saat ini dalam tahap sangat berbahaya dan meresahkan rakyat Palestina dan umat Islam dan bangsa Arab.

Sebab zionis menerapkan rencana-rencana yang berbahaya terhadap Masjid Al-Aqsha. Karena itu, kondisi bahaya ini menuntut bangsa Arab dan Islam serta seluruh bangsa yang peduli untuk bergerak cepat dan serius sebagai bentuk tanggung jawab agama dan sejarah untuk menyelamatkan Masjid Al-Aqsha.

Ia menilai penggeledahan dan penggerebakan ke Masjid Al-Aqsha adalah tindakan sistematis yang dilakukan zionis Yahudi dengan dukungan pemerintah resmi, badan intelijen di kota suci dan penciptaan status quo atas masjid suci itu.

(Arab-News/Republika/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Jumlah Imam Berkemampuan Bahasa Inggris Meningkat


Kebutuhan akan imam berkemampuan bahasa Inggris mendesak untuk dipenuhi. Ini karena komunitas Muslim Inggris dipersatukan dengan bahasa internasional tersebut.

Pada tahun 1960-an, generasi muslim awal datang ke Inggris tanpa membekali diri dengan kemampuan berbahasa Inggris. Ini berlanjut ketika imigran muslim dari berbagai negara lain datang. Tanpa kemampuan itu muslim mengalami kesulitan dalam berdakwah dan berkomunikasi.

Namun, imam besar Leicester, Ibrahim Mogra, tanpa menyebut data mengatakan jumlah imam berkemampuan bahasa Inggris meningkat. Ini karena sejumlah masjid telah memberikan pendidikan bahasa Inggris kepada para imam. "Sejumlah seminar juga digelar dengan harapan membuka pikiran para imam betapa pentingnya menguasai bahasa Inggris," kata dia seperti dikutip The Economist, Jumat (12/4).

Persoalannya, kata Mogra, dana untuk pelatihan ini sangat terbatas. Keterbatasan ini merupakan dampak dari biaya operasional masjid yang habis untuk membayar sewa gedung. Maklum, sebagian masjid di Inggris bukan milik komunitas sendiri. "Besaran dana memang tergantung donasi jamaah. Jadi, ini yang menyulitkan," kata dia.

Tim Winter, dosen Cambridge Muslim College menilai masalah bahasa bisa teratasi apabila jamaah yang memiliki kemampuan berbahasa Inggris menularkan ilmunya, "Saya kira itu jadi solusi terbaik, " ungkapnya.

(The-Economist/Republika/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sekilas Biografi Imam Syafi'i ra


Nama beliau ialah Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Uthman bin Shafi’ bin Al-Saib bin ‘Ubaid bin Yazid bin Hashim bin ‘Abd al-Muttalib bin ’Abd Manaf bin Ma’n bin Kilab bin Murrah bin Lu’i bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Al-Nadr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrakah bin Ilias bin Al-Nadr bin Nizar bin Ma’d bin ‘Adnan bin Ud bin Udad. Keturunan beliau bertemu dengan titisan keturunan Rasulullah s.a.w pada ‘Abd Manaf. Ibunya berasal dari Kabilah Al-Azd, satu kabilah Yaman yang masyhur.


Penghijrahan ke Palestina

Sebelum beliau dilahirkan, keluarganya telah berpindah ke Palestina kerana beberapa keperluan dan bapanya terlibat di dalam angkatan tentera yang ditugaskan untuk mengawal perbatasan Islam di sana.


Kelahiran dan Kehidupannya

Menurut pendapat yang masyhur, beliau dilahirkan di Ghazzah – Palestina pada tahun 150 Hijrah. Tidak lama sesudah beliau dilahirkan bapanya meninggal dunia. Tinggallah beliau bersama-sama ibunya sebagai seorang anak yatim. Kehidupan masa kecilnya dilalui dengan serba kekurangan dan kesulitan.


PENGEMBARAAN IMAM AL-SHAFI’I

Hidup Imam As-Shafi’i (150H – 204H ) merupakan satu siri pengembaraan yang tersusun di dalam bentuk yang sungguh menarik dan amat berkesan terhadap pembentukan kriteria ilmiah dan popularitasnya.


Al-Shafi’i di Makkah ( 152H – 164H )

Pengembaraan beliau bermula sejak beliau berumur dua tahun lagi (152H), ketika itu beliau dibawa oleh ibunya berpindah dari tempat kelahirannya iaitu dari Ghazzah, Palestina ke Kota Makkah untuk hidup bersama kaum keluarganya di sana.

Di kota Makkah kehidupan beliau tidak tetap kerana beliau dihantar ke perkampungan Bani Huzail, menurut tradisi bangsa Arab ketika itu bahawa penghantaran anak-anak muda mereka ke perkampungan tersebut dapat mewarisi kemahiran bahasa ibunda mereka dari sumber asalnya yang belum lagi terpengaruh dengan integrasi bahasa-bahasa asing seperti bahasa Parsi dan sebagainya. Satu perkara lagi adalah supaya pemuda mereka dapat dibekalkan dengan Al-Furusiyyah (Latihan Perang Berkuda). Kehidupan beliau di peringkat ini mengambil masa dua belas tahun ( 152 – 164H ).

Sebagai hasil dari usahanya, beliau telah mahir dalam ilmu bahasa dan sejarah di samping ilmu-ilmu yang berhubung dengan Al-Quran dan Al-Hadith. Selepas pulang dari perkampungan itu beliau meneruskan usaha pembelajarannya dengan beberapa mahaguru di Kota Makkah sehingga beliau menjadi terkenal. Dengan kecerdikan dan kemampuan ilmiahnya beliau telah dapat menarik perhatian seorang mahagurunya iaitu Muslim bin Khalid Al-Zinji yang mengizinkannya untuk berfatwa sedangkan umur beliau masih lagi di peringkat remaja iaitu lima belas tahun.


Al-Shafi’i di Madinah ( 164H – 179H ).

Sesudah itu beliau berpindah ke Madinah dan menemui Imam Malik. Beliau berdamping dengan Imam Malik di samping mempelajari ilmunya sehinggalah Imam Malik wafat pada tahun 179H, iaitu selama lima belas tahun. Semasa beliau bersama Imam Malik hubungan beliau dengan ulama-ulama lain yang menetap di kota itu dan juga yang datang dari luar berjalan dengan baik dan berfaedah. Dari sini dapatlah difahami bahawa beliau semasa di Madinah telah dapat mewarisi ilmu bukan saja dari Imam Malik tetapi juga dari ulama-ulama lain yang terkenal di kota itu.


Al-Shafi’i di Yaman ( 179H – 184H ).

Ketika Imam Malik wafat pada tahun 179H, kota Madinah diziarahi oleh Gabenor Yaman. Beliau telah dicadangkan oleh sebahagian orang-orang Qurasyh Al-Madinah supaya mencari pekerjaan bagi Al-Shafi’i. Lalu beliau melantiknya menjalankan satu pekerjaan di wilayah Najran. Sejak itu Al-Shafi’i terus menetap di Yaman sehingga berlaku pertukaran Gabenor wilayah itu pada tahun 184H. Pada tahun itu satu fitnah ditimbulkan terhadap diri Al-Shafi’i sehingga beliau dihadapkan ke hadapan Harun Al-Rashid di Baghdad atas tuduhan Gabenor baru itu yang sering menerima kecaman Al-Shafi’i kerana kekejaman dan kezalimannya. Tetapi ternyata bahawa beliau tidak bersalah dan kemudiannya beliau dibebaskan.


Al-Shafi’i di Baghdad ( 184H – 186H ).

Peristiwa itu walaupun secara kebetulan, tetapi membawa arti yang amat besar kepada Al-Shafi’i kerana pertamanya, ia berpeluang menziarahi kota Baghdad yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan para ilmuan pada ketika itu. Keduanya, ia berpeluang bertemu dengan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, seorang tokoh Mazhab Hanafi dan sahabat karib Imam Abu Hanifah dan lain-lain tokoh di dalam Mazhab Ahl al-Ra’y. Dengan peristiwa itu terbukalah satu era baru dalam siri pengembaraan Al-Imam ke kota Baghdad yang dikatakan berlaku sebanyak tiga kali sebelum beliau berpindah ke Mesir.

Dalam pengembaraan pertama ini Al-Shafi’i tinggal di kota Baghdad sehingga tahun 186H. Selama masa ini (184 – 186H) beliau sempat membaca kitab-kitab Mazhab Ahl al-Ra’y dan mempelajarinya, terutamanya hasil tulisan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, di samping membincanginya di dalam beberapa perdebatan ilmiah di hadapan Harun Al-Rashid sendiri.


Al-Shafi’i di Makkah ( 186H – 195H ).

Pada tahun 186H, Al-Shafi’i pulang ke Makkah membawa bersamanya hasil usahanya di Yaman dan Iraq dan beliau terus melibatkan dirinya di bidang pengajaran. Dari sini muncullah satu bintang baru yang berkerdipan di ruang langit Makkah membawa satu nafas baru di bidang fiqah, satu nafas yang bukan Hijazi, dan bukan pula Iraqi dan Yamani, tetapi ia adalah gabungan dari ke semua aliran itu. Sejak itu menurut pendapat setengah ulama, lahirlah satu Mazhab Fiqhi yang baru yang kemudiannya dikenali dengan Mazhab Al-Shafi’i.

Selama sembilan tahun (186 – 195H) Al-Shafi’i menghabiskan masanya di kota suci Makkah bersama-sama para ilmuan lainnya, membahas, mengajar, mengkaji di samping berusaha untuk melahirkan satu intisari dari beberapa aliran dan juga persoalan yang sering bertentangan yang beliau temui selama masa itu.


Al-Shafi’i di Baghdad ( 195H – 197H ).

Dalam tahun 195H, untuk kali keduanya Al-Shafi’i berangkat ke kota Baghdad. Keberangkatannya kali ini tidak lagi sebagai seorang yang tertuduh, tetapi sebagai seorang alim Makkah yang sudah mempunyai personalitas dan aliran fiqah yang tersendiri. Catatan perpindahan kali ini menunjukkan bahawa beliau telah menetap di negara itu selama dua tahun (195 – 197H).

Di dalam masa yang singkat ini beliau berjaya menyebarkan “Method Usuli” yang berbeza dari apa yang dikenali pada ketika itu. Penyebaran ini sudah tentu menimbulkan satu respon dan reaksi yang luarbiasa di kalangan para ilmuan yang kebanyakannya adalah terpengaruh dengan method Mazhab Hanafi yang disebarkan oleh tokoh utama Mazhab itu, iaitu Muhammad bin Al-Hasan Al-Shaibani.

Kata Al-Karabisi : “Kami sebelum ini tidak kenal apakah (istilah) Al-Kitab, Al- Sunnah dan Al-Ijma’, sehinggalah datangnya Al-Shafi’i, beliaulah yang menerangkan maksud Al-Kitab, Al-Sunnah dan Al-Ijma’”.

Kata Abu Thaur : “Kata Al-Shafi’i : Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyebut (di dalam kitab-Nya) mengenai sesuatu maksud yang umum tetapi Ia menghendaki maksudnya yang khas, dan Ia juga telah menyebut sesuatu maksud yang khas tetapi Ia menghendaki maksudnya yang umum, dan kami (pada ketika itu) belum lagi mengetahui perkara-perkara itu, lalu kami tanyakan beliau …”

Pada masa itu juga dikatakan beliau telah menulis kitab usulnya yang pertama atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, dan juga beberapa penulisan lain dalam bidang fiqah dan lain-lain.


Al-Shafi’i di Makkah dan Mesir ( 197H – 204H )

Sesudah dua tahun berada di Baghdad (197H) beliau kembali ke Makkah. Pada tahun 198H, beliau keluar semula ke Baghdad dan tinggal di sana hanya beberapa bulan sahaja. Pada awal tahun 199H, beliau berangkat ke Mesir dan sampai ke negara itu dalam tahun itu juga. Di negara baru ini beliau menetap sehingga ke akhir hayatnya pada tahun 204H.

Imam As-Shafi’i wafat pada tahun 204H. Asas Fiqih dan Ushul Fiqih kemudian disebar dan diusaha-kembangkan oleh para sahabatnya yang berada di Al-Hijaz, Iraq dan Mesir.


FATWA-FATWA IMAM AL-SHAFI’I

Perpindahan beliau ke Mesir mengakibatkan satu perubahan besar dalam Mazhabnya. Kesan perubahan ini melibatkan banyak fatwanya semasa beliau di Baghdad turut sama berubah. Banyak kandungan kitab-kitab fiqahnya yang beliau hasilkan di Baghdad disemak semula dan diubah. Dengan ini terdapat dua fatwa bagi As-Shafi’i, fatwa lama dan fatwa barunya. Fatwa lamanya ialah segala fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Iraq, fatwa barunya ialah fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Mesir. Kadang-kadang dipanggil fatwa lamanya dengan Mazhabnya yang lama atau Qaul Qadim dan fatwa barunya dinamakan dengan Mazhab barunya atau Qaul Jadid.

Di sini harus kita fahami bahawa tidak kesemua fatwa barunya menyalahi fatwa lamanya dan tidak pula kesemua fatwa lamanya dibatalkannya, malahan ada di antara fatwa barunya yang menyalahi fatwa lamanya dan ada juga yang bersamaan dengan yang lama. Kata Imam Al-Nawawi : “Sebenarnya sebab dikatakan kesemua fatwa lamanya itu ditarik kembali dan tidak diamalkannya hanyalah berdasarkan kepada ghalibnya sahaja”.


PARA SAHABAT IMAM AL-SHAFI’I

Di antara para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal di Al-Hijaz (Makkah dan Al-Madinah) ialah :
1. Abu Bakar Al-Hamidi, ‘Abdullah bun Al-Zubair Al-Makki yang wafat pada tahun 219H.
2. Abu Wahid Musa bin ‘Ali Al-Jarud Al-Makki yang banyak menyalin kitab-kitab Al-Shafi’i. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
3. Abu Ishak Ibrahim bin Muhammad bin Al-‘Abbasi bin ‘Uthman bin Shafi ‘Al-Muttalibi yang wafat pada tahun 237H.
4. Abu Bakar Muhammad bin Idris yang tidak diketahui tarikh wafatnya.

Sementara di Iraq pula kita menemui ramai para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal, di antara mereka ialah :
1. Abu ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal, Imam Mazhab yang keempat. Beliau wafat pada tahun 241H.
2. Abu ‘Ali Al-Hasan bin Muhammad Al-Za’farani yang wafat pada tahun 249H.
3. Abu Thaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi yang wafat pada tahun 240H.
4. Al-Harith bin Suraij Al-Naqqal, Abu ‘Umar. Beliau wafat pada tahun 236H.
5. Abu ‘Ali Al-Husain bin ‘Ali Al-Karabisi yang wafat pada tahun 245H.
6. Abu ‘Abdul RahmanAhmad bin Yahya Al-Mutakallim. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
7. Abu Zaid ‘Abdul Hamid bin Al-Walid Al-Misri yang wafat pada tahun 211H.
8. Al-Husain Al-Qallas. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
9. ‘Abdul ‘Aziz bin Yahya Al-Kannani yang wafat pada tahun 240H.
10. ‘Ali bin ‘Abdullah Al-Mudaiyini.

Di Mesir pula terdapat sebilangan tokoh ulama yang kesemua mereka adalah sahabat Imam Al-Shafi’i, seperti :
1. Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin ‘Amru bin Ishak Al-Mudhani yang wafat pada tahun 264H.
2. Abu Muhammad Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi yang wafat pada tahun 270H.
3. Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya Al-Misri Al-Buwaiti yang wafat pada tahun 232H.
4. Abu Najib Harmalah bin Yahya Al-Tajibi yang wafat pada tahun 243H.
5. Abu Musa Yunus bin ‘Abdul A’la Al-Sadaghi yang wafat pada tahun 264H.
6. Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam Al-Misri yang wafat pada tahun 268H.
7. Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Jizi yang wafat pada tahun 256H.

Dari usaha gigih mereka, Mazhab Al-Shafi’i tersebar dan berkembang luas di seluruh rantau Islam di zaman-zaman berikutnya.


PERKEMBANGAN MAZHAB IMAM AL-SHAFI’I

Menurut Ibn Al-Subki bahawa Mazhab Al-Shafi’I telah berkembang dan menjalar pengaruhnya di merata-rata tempat, di kota dan di desa, di seluruh rantau negara Islam. Pengikut-pengikutnya terdapat di Iraq dan kawasan-kawasan sekitarnya, di Naisabur, Khurasan, Muru, Syria, Mesir, Yaman, Hijaz, Iran dan di negara-negara timur lainnya hingga ke India dan sempadan negara China. Penyebaran yang sebegini meluas setidak-tidaknya membayangkan kepada kita sejauh mana kewibawaan peribadi Imam Al-Shafi’i sebagai seorang tokoh ulama dan keunggulan Mazhabnya sebagai satu-satunya aliran fiqah yang mencabar aliran zamannya.


IMAM AL-SHAFI’I DAN KITABNYA

Permulaan Mazhabnya

Sebenarnya penulisan Imam Al-Shafi’i secara umumnya mempunyai pertalian yang rapat dengan pembentukan Mazhabnya. Menurut Muhammad Abu Zahrah bahawa pembentukan Mazhabnya hanya bermula sejak sekembalinya dari kunjungan ke Baghdad pada tahun 186H. Sebelum itu Al-Shafi’i adalah salah seorang pengikut Imam Malik yang sering mempertahankan pendapatnya dan juga pendapat fuqaha’ Al-Madinah lainnya dari kecaman dan kritikan fuqaha’ Ahl Al-Ra’y. Sikapnya yang sebegini meyebabkan beliau terkenal dengan panggilan “Nasir Al-Hadith”.

Detik terawal Mazhabnya bermula apabila beliau membuka tempat pengajarannya (halqah) di Masjid Al-Haram. Usaha beliau dalam memperkembangkan Mazhabnya itu bolehlah dibahagikan kepada tiga peringkat :
1. Peringkat Makkah (186 – 195H)
2. Peringkat Baghdad (195 – 197H)
3. Peringkat Mesir (199 – 204H)

Dalam setiap peringkat diatas beliau mempunyai ramai murid dan para pengikut yang telah menerima dan menyebar segala pendapat ijtihad dan juga hasil kajiannya.


Penulisan Pertamanya

Memang agak sulit untuk menentukan apakah kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i dan di mana dan selanjutnya apakah kitab pertama yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah dan di mana? Kesulitan ini adalah berpunca dari tidak adanya keterangan yang jelas mengenai kedua-dua perkara tersebut. Pengembaraannya dari satu tempat ke satu tempat yang lain dan pulangnya semula ke tempat awalnya tambah menyulitkan lagi untuk kita menentukan di tempat mana beliau mulakan usaha penulisannya.

Apa yang kita temui – sesudah kita menyemak beberapa buah kitab lama dan baru yang menyentuh sejarah hidupnya, hanya beberapa tanda yang menunjukkan bahawa kitabnya “Al-Risalah” adalah ditulis atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, iaitu sebuah kitab di dalam Ilmu Usul, pun keterangan ini tidak juga menyebut apakah kitab ini merupakan hasil penulisannya yang pertama atau sebelumnya sudah ada kitab lain yang dihasilkannya. Di samping adanya pertelingkahan pendapat di kalangan ‘ulama berhubung dengan tempat di mana beliau menghasilkan penulisan kitabnya itu. Ada pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya sewaktu beliau berada di Makkah dan ada juga pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya ketika berada di Iraq.

Kata Ahmad Muhammad Shakir : “Al-Shafi’I telah mengarang beberapa buah kitab yang jumlahnya agak besar, sebahagiannya beliau sendiri yang menulisnya, lalu dibacakannya kepada orang ramai. Sebahagiannya pula beliau merencanakannya sahaja kepada para sahabatnya. Untuk mengira bilangan kitab-kitabnya itu memanglah sukar kerana sebahagian besarnya telahpun hilang. Kitab-kitab itu telah dihasilkan penulisannya ketika beliau berada di Makkah, di Baghdad dan di Mesir”.

Kalaulah keterangan di atas boleh dipertanggungjawabkan maka dapatlah kita membuat satu kesimpulan bahawa Al-Shafi’i telah memulakan siri penulisannya sewaktu beliau di Makkah lagi, dan kemungkinan kitabnya yang pertama yang dihasilkannya ialah kitab “Al-Risalah”.


Al-Hujjah Dan Kitab-kitab Mazhab Qadim

Di samping “Al-Risalah” terdapat sebuah kitab lagi yang sering disebut-sebut oleh para ulama sebagai sebuah kitab yang mengandungi fatwa Mazhab Qadimnya iaitu “Al-Hujjah”. Pun keterangan mengenai kitab ini tidak menunjukkan bahawa ia adalah kitab pertama yang di tulis di dala bidang Ilmu Fiqah semasa beliau berada di Iraq, dan masa penulisannya pun tidak begitu jelas. Menurut beberapa keterangan, beliau menghasilkannya sewaktu beliau berpindah ke negara itu pada kali keduanya, iaitu di antara tahun-tahun 195 – 197H.

Bersama-sama “Al-Hujjah” itu terdapat beberapa buah kitab lain di dalam Ilmu Fiqah yang beliau hasilkan sendiri penulisannya atau beliau merencanakannya kepada para sahabatnya di Iraq, antaranya seperti kitab-kitab berikut :
1. Al-Amali
2. Majma’ al-Kafi
3. ‘Uyun al-Masa’il
4. Al-Bahr al-Muhit
5. Kitab al-Sunan
6. Kitab al-Taharah
7. Kitab al-Solah
8. Kitab al-Zakah
9. Kitab al-Siam
10. Kitab al-Haj
11. Bitab al-I’tikaf
12. Kitab al-Buyu’
13. Kitab al-Rahn
14. Kitab al-Ijarah
15. Kitab al-Nikah
16. Kitab al-Talaq
17. Kitab al-Sadaq
18. Kitab al-Zihar
19. Kitab al-Ila’
20. Kitab al-Li’an
21. Kitab al-Jirahat
22. Kitab al-Hudud
23. Kitab al-Siyar
24. Kitab al-Qadaya
25. Kitab Qital ahl al-Baghyi
26. Kitab al-‘Itq dan lain-lain.

Setengah perawi pula telah menyebut bahwa kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i adalah di dalam bentuk jawaban dan perdebatan, iaitu satu penulisan yang dituju khas kepada fuqaha’ ahl al-Ra’y sebagai menjawab kecaman-kecaman mereka terhadap Malik dan fuqaha’ Al-Madinah. Kenyataan mereka ini berdasarkan kepada riwayat Al-Buwaiti : “Kata Al-Shafi’i : Ashab Al-Hadith (pengikut Imam Malik) telah berhimpun bersama-sama saya. Mereka telah meminta saya menulis satu jawaban terhadap kitab Abu Hanifah. Saya menjawab bahawa saya belum lagi mengetahui pendapat mereka, berilah peluang supaya dapat saya melihat kitab-kitab mereka. Lantas saya meminta supaya disalinkan kitab-kitab itu.Lalu disalin kitab-kitab Muhammad bin Al-Hasan untuk (bacaan) saya. Saya membacanya selama setahun sehingga saya dapat menghafazkan kesemuanya. Kemudian barulah saya menulis kitab saya di Baghdad.

Kalaulah berdasarkan kepada keterangan di atas, maka kita pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i semasa beliau di Iraq ialah sebuah kitab dalam bentuk jawaban dan perdebatan, dan cara penulisannya adalah sama dengan cara penulisan ahl al-Ra’y. Ini juga menunjukkan bahawa masa penulisannya itu lebih awal dari masa penulisan kitab “Al-Risalah”, iaitu di antara tahun-tahun 184 – 186H.


Method Penulisan Kitab-Kitab Qadim

Berhubung dengan method penulisan kitab “Al-Hujjah” dan lain-lain belum dapat kita pastikan dengan yakin kerana sikap asalnya tida kita temui, kemungkinan masih lagi ada naskah asalnya dan kemungkinan juga ianya sudah hilang atau rosak dimakan zaman. Walaubagaimanapun ia tidak terkeluar – ini hanya satu kemungkinan sahaja – dari method penulisan zamannya yang dipengaruhi dengan aliran pertentangan mazhab-mazhab fuqaha’ di dalam beberapa masalah, umpamanya pertentangan yang berlaku di antara mazhab beliau dengan Mazhab Hanafi da juga Mazhab Maliki. Keadaan ini dapat kita lihat dalam penulisan kitab “Al-Um” yang pada asalnya adalah kumpulan dari beberapa buah kitab Mazhab Qadimnya. Setiap kitab itu masing-masing membawa tajuknya yang tersendiri, kemudian kita itu pula dipecahkan kepada bab-bab kecil yang juga mempunyai tajuk-tajuk yang tersendiri. Di dalam setiap bab ini dimuatkan dengan segala macam masalah fiqah yang tunduk kepada tajuk besar iaitu tajuk bagi sesuatu kitab, umpamanya kitab “Al-Taharah”, ia mengandungi tiga puluh tujuh tajuk bab kecil, kesemua kandungan bab-bab itu ada kaitannya dengan Kitab “Al-Taharah”.


Perawi Mazhab Qadim

Ramai di antara para sahabatnya di Iraq yang meriwayat fatwa qadimnya, di antara mereka yang termasyhur hanya empat orang sahaja :
1. Abu Thaur, Ibrahim bin Khalid yang wafat pada tahun 240H.
2. Al-Za’farani, Al-Hasan bin Muhammad bin Sabah yang wafat pada tahun 260H.
3. Al-Karabisi, Al-Husain bin ‘Ali bin Yazid, Abu ‘Ali yang wafat pada tahun 245H.
4. Ahmad bin Hanbal yang wafat pada tahun 241H.

Menurut Al-Asnawi, Al-Shafi’i adalah ‘ulama’ pertama yang hasil penulisannya meliputi banyak bab di dalam Ilmu Fiqah.


Perombakan Semula Kitab-kitab Qadim

Perpindahan beliau ke Mesir pada tahun 199H menyebabkan berlakunya satu rombakan besar terhadap fatwa lamanya. Perombakan ini adalah berpuncak dari penemuan beliau dengan dalil-dalil baru yang belum ditemuinya selama ini, atau kerana beliau mendapati hadis-hadis yang sahih yang tidak sampai ke pengetahuannya ketika beliau menulis kitab-kitab qadimnya, atau kerana hadis-hadis itu terbukti sahihnya sewaktu beliau berada di Mesir sesudah kesahihannya selama ini tidak beliau ketahui. Lalu dengan kerana itu beliau telah menolak sebahagian besar fatwa lamanya dengan berdasarkan kepada prinsipnya : “Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih maka itulah Mazhab saya”.

Di dalam kitab “Manaqib Al-Shafi’i”, Al-Baihaqi telah menyentuh nama beberapa buah kitab lama (Mazhab Qadim) yang disemak semula oleh Al-Shafi’i dan diubah sebahagian fatwanya, di antara kitab-kitab itu ialah :
1. Al-Risalah
2. Kitab al-Siyam
3. Kitab al-Sadaq
4. Kitab al-Hudud
5. Kitab al-Rahn al-Saghir
6. Kitab al-Ijarah
7. Kitab al-Jana’iz

Menurut Al-Baihaqi lagi Al-shafi’i telah menyuruh supaya dibakar kitab-kitab lamanya yang mana fatwa ijtihadnya telah diubah. Catatan Al-Baihaqi itu menunjukkan bahawa Al-Shafi’i melarang para sahabatnya meriwayat pendapat-pendapat lamanya yang ditolak kepada orang ramai. Walaupun begitu kita masih menemui pendapat-pendapat itu berkecamuk di sana-sini di dalam kitab-kitab fuqaha’ mazhabnya samada kitab-kitab yang ditulis fuqaha’ yang terdahulu atau pun fuqaha’ yang terkemudian.

Kemungkinan hal ini berlaku dengan kerana kitab-kitab lamanya yang diriwayatkan oleh Al-Za’farani, Al-Karabisi dan lain-lain sudah tersebar dengan luasnya di Iraq dan diketahui umum, terutamanya di kalangan ulama dan mereka yang menerima pendapat-pendapatnya itu tidak mengetahui larangan beliau itu.

Para fuqaha’ itu bukan sahaja mencatat pendapat-pendapat lamanya di dalam penulisan mereka, malah menurut Al-Nawawi ada di antara mereka yang berani mentarjihkan pendapat-pendapat itu apabila mereka mendapatinya disokong oleh hadis-hadis yang sahih.

Pentarjihan mereka ini tidak pula dianggap menentangi kehendak Al-Shafi’i, malahan itulah pendapat mazhabnya yang berdasarkan kepada prinsipnya : “Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih maka itulah mazhab saya”.

Tetapi apabila sesuatu pendapat lamanya itu tidak disokong oleh hadis yang sahih kita akan menemui dua sikap di kalangan fuqaha’ Mazhab Al-Shafi’i :-

Pertamanya : Pendapat itu harus dipilih dan digunakan oleh seseorang mujtahid Mazhab Al-Shafi’i atas dasar ia adalah pendapat Al-Shafi’i yang tidak dimansuhkan olehnya, kerana seseorang mujtahid (seperti Al-Shafi’i) apabila ia mengeluarkan pendapat barumya yang bercanggah dengan pendapat lamanya tidaklah bererti bahawa ia telah menarik pendapat pertamanya, bahkan di dalam masalah itu dianggap mempunyai dua pendapatnya.

Keduanya : Tidak harus ia memilih pendapat lama itu. Inilah pendapat jumhur fuqaha’ Mazhab Al-Shafi’i kerana pendapat lama dan baru adalah dua pendapatnya yang bertentangan yang mustahil dapat diselaraskan kedua-duanya.


Kitab-kitab Mazhab Jadid

Di antara kitab-kitab yang beliau hasilkan penulisannya di Mesir atau beliau merencanakannya kepada para sahabatnya di sana ialah :
i. Al-Risalah. Kitab ini telah ditulis buat pertama kalinya sebelum beliau berpindah ke Mesir.
ii. Beberapa buah kitab di dalam hukum-hukum furu’ yang terkandung di dalam kitab “Al-Um”, seperti :-
a) Di dalam bab Taharah :
1. Kitab al-Wudu’
2. Kitab al-Tayammum
3. Kitab al-Taharah
4. Kitab Masalah al-Mani
5. Kitab al-Haid
B) Di dalam bab Solah :
6. Kitab Istiqbal al-Qiblah
7. Kitab al-Imamah
8. Kitab al-Jum’ah
9. Kitab Solat al-Khauf
10. Kitab Solat al-‘Aidain
11. Kitab al-Khusuf
12. Kitab al-Istisqa’
13. Kitab Solat al-Tatawu’
14. Al-Hukm fi Tarik al-Solah
15. Kitab al-Jana’iz
16. Kitab Ghasl al-Mayyit
c) Di dalam bab Zakat :
17. Kitab al-Zakah
18. Kitab Zakat Mal al-Yatim
19. Kitab Zakat al-Fitr
20. Kitab Fard al-Zakah
21. Kitab Qasm al-Sadaqat
d) Di dalam bab Siyam (Puasa) :
22. Kitab al-Siyam al-Kabir
23. Kitab Saum al-Tatawu’
24. Kitab al-I’tikaf
e) Di dalam bab Haji :
25. Kitab al-Manasik al-Kabir
26. Mukhtasar al-Haj al-Kabir
27. Mukhtasar al-Haj al-Saghir
f) Di dalam bab Mu’amalat :
28. Kitab al-Buyu’
29. Kitab al-Sarf
30. Kitab al-Salam
31. Kitab al-Rahn al-Kabir
32. Kitab al-Rahn al-Saghir
33. Kitab al-Taflis
34. Kitab al-Hajr wa Bulugh al-Saghir
35. Kitab al-Sulh
36. Kitab al-Istihqaq
37. Kitab al-Himalah wa al-Kafalah
38. Kitab al-Himalah wa al-Wakalah wa al-Sharikah
39. Kitab al-Iqrar wa al-Mawahib
40. Kitab al-Iqrar bi al-Hukm al-Zahir
41. Kitab al-Iqrar al-Akh bi Akhihi
42. Kitab al-‘Ariah
43. Kitab al-Ghasb
44. Kitab al-Shaf’ah
g) Di dalam bab Ijarat (Sewa-menyewa) :
45. Kitab al-Ijarah
46. Kitab al-Ausat fi al-Ijarah
47. Kitab al-Kara’ wa al-Ijarat
48. Ikhtilaf al-Ajir wa al-Musta’jir
49. Kitab Kara’ al-Ard
50. Kara’ al-Dawab
51. Kitab al-Muzara’ah
52. Kitab al-Musaqah
53. Kitab al-Qirad
54. Kitab ‘Imarat al-Aradin wa Ihya’ al-Mawat
h) Di dalam bab ‘Ataya (Hadiah-menghadiah) :
55. Kitab al-Mawahib
56. Kitab al-Ahbas
57. Kitab al-‘Umra wa al-Ruqba
i) Di dalam bab Wasaya (Wasiat) :
58. Kitab al-Wasiat li al-Warith
59. Kitab al-Wasaya fi al-‘Itq
60. Kitab Taghyir al-Wasiah
61. Kitab Sadaqat al-Hay’an al-Mayyit
62. Kitab Wasiyat al-Hamil
j) Di dalam bab Faraid dan lain-lain :
63. Kitab al-Mawarith
64. Kitab al-Wadi’ah
65. Kitab al-Luqatah
66. Kitab al-Laqit
k) Di dalam bab Nikah :
67. Kitab al-Ta’rid bi al-Khitbah
68. Kitab Tahrim al-Jam’i
69. Kitab al-Shighar
70. Kitab al-Sadaq
71. Kitab al-Walimah
72. Kitab al-Qism
73. Kitab Ibahat al-Talaq
74. Kitab al-Raj’ah
75. Kitab al-Khulu’ wa al-Nushuz
76. Kitab al-Ila’
77. Kitab al-Zihar
78. Kitab al-Li’an
79. Kitab al-‘Adad
80. Kitab al-Istibra’
81. Kitab al-Rada’
82. Kitab al-Nafaqat
l) Di dalam bab Jirah (Jenayah) :
83. Kitab Jirah al-‘Amd
84. Kitab Jirah al-Khata’ wa al-Diyat
85. Kitab Istidam al-Safinatain
86. Al-Jinayat ‘ala al-Janin
87. Al-Jinayat ‘ala al-Walad
88. Khata’ al-Tabib
89. Jinayat al-Mu’allim
90. Jinayat al-Baitar wa al-Hujjam
91. Kitab al-Qasamah
92. Saul al-Fuhl
m) Di dalam bab Hudud :
93. Kitab al-Hudud
94. Kitab al-Qat’u fi al-Sariqah
95. Qutta’ al-Tariq
96. Sifat al-Nafy
97. Kitab al-Murtad al-Kabir
98. Kitab al-Murtad al-Saghir
99. Al-Hukm fi al-Sahir
100. Kitab Qital ahl al-Baghy
n) Di dalam bab Siar dan Jihad :
101. Kitab al-Jizyah
102. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Auza’i
103. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Waqidi
104. Kitab Qital al-Mushrikin
105. Kitab al-Asara wa al-Ghulul
106. Kitab al-Sabq wa al-Ramy
107. Kitab Qasm al-Fai’ wa al-Ghanimah
o) Di dalam bab At’imah (Makan-makanan) :
108. Kitab al-Ta’am wa al-Sharab
109. Kitab al-Dahaya al-Kabir
110. Kitab al-Dahaya al-Saghir
111. Kitab al-Said wa al-Dhabaih
112. Kitab Dhabaih Bani Israil
113. Kitab al-Ashribah
p) Di dalam bab Qadaya (Kehakiman) :
114. Kitab Adab al-Qadi
115. Kitab al-Shahadat
116. Kitab al-Qada’ bi al-Yamin ma’a al-Shahid
117. Kitab al-Da’wa wa al-Bayyinat
118. Kitab al-Aqdiah
119. Kitab al-Aiman wa al-Nudhur
q) Di dalam bab ‘Itq (Pembebasan) dan lain-lain :
120. Kitab al-‘Itq
121. Kitab al-Qur’ah
122. Kitab al-Bahirah wa al-Sa’ibah
123. Kitab al-Wala’ wa al-Half
124. Kitab al-Wala’ al-Saghir
125. Kitab al-Mudabbir
126. Kitab al-Mukatab
127. Kitab ‘Itq Ummahat al-Aulad
128. Kitab al-Shurut


Di samping kitab-kitab di atas ada lagi kitab-kitab lain yang disenaraikan oleh al-Baihaqi sebagai kitab-kitab usul, tetapi ia juga mengandungi hukum-hukum furu’, seperti :
1. Kitab Ikhtilaf al-Ahadith
2. Kitab Jima’ al-Ilm
3. Kitab Ibtal al-Istihsan
4. Kitan Ahkam al-Qur’an
5. Kitab Bayan Fard al-Lah, ‘Azza wa Jalla
6. Kitab Sifat al-Amr wa al-Nahy
7. Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Shafi’i
8. Kitab Ikhtilaf al-‘Iraqiyin
9. Kitab al-Rad ‘ala Muhammad bin al-Hasan
10. Kitab ‘Ali wa ‘Abdullah
11. Kitab Fada’il Quraysh


Ada sebuah lagi kitab al-Shafi’i yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah iaitu “al-Mabsut”. Kitab ini diperkenalkan oleh al-Baihaqi dan beliau menamakannya dengan “al-Mukhtasar al-Kabir wa al-Manthurat”, tetapi pada pendapat setengah ulama kemungkinan ia adalah kitab “al-Um”.

(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sekilas Biografi Imam An Nasa'i


Pertumbuhan beliau

Nama: Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr.

Kuniyah beliau: Abu Abdirrahman.

Nasab beliau: An Nasa`i dan An Nasawi, yaitu nisbah kepada negri asal beliau, tempat beliau di lahirkan. Satu kota bagian dari Khurasan.

Tanggal lahir: tahun 215 hijriah.

Sifat-sifat beliau: An Nasa`i merupakan seorang lelaki yang ganteng, berwajah bersih dan segar, wajahnya seakan-akan lampu yang menyala. Beliau adalah sosok yang karismatik dan tenang, berpenampilan yang sangat menarik.

Kondisi itu karena beberapa faktor, diantaranya; dia sangat memperhatikan keseimbangan dirinya dari segi makanan, pakaian, dan kesenangan, minum sari buah yang halal dan banyak makan ayam.



Aktifitas beliau dalam menimba ilmu

Imam Nasa`i memulai menuntut ilmu lebih dini, karena beliau mengadakan perjalanan ke Qutaibah bin Sa’id pada tahun 230 hijriah, pada saat itu beliau berumur 15 tahun. Beliau tinggal di samping Qutaibah di negrinya Baghlan selama setahun dua bulan, sehingga beliau dapat menimba ilmu darinya begitu banyak dan dapat meriwayatkan hadits-haditsnya.

Imam Nasa`i mempunyai hafalan dan kepahaman yang jarang di miliki oleh orang-orang pada zamannya, sebagaimana beliau memiliki kejelian dan keteliatian yang sangat mendalam. maka beliau dapat meriwayatkan hadits-hadits dari ulama-ulama kibar, berjumpa dengan para imam huffazh dan yang lainnya, sehingga beliau dapat menghafal banyak hadits, mengumpulkannya dan menuliskannya, sampai akhirnya beliau memperoleh derajat yang pantas dalam disiplin ilmu ini.

Beliau telah menulis hadits-hadits dla’if, sebagaimana beliaupun telah menulis hadits-hadits shahih, padahal pekerjaan ini hanya di lakukan oleh ulama pengkritik hadits, tetapi imam Nasa`i mampu untuk melakukan pekerjaan ini, bahkan beliau memiliki kekuatan kritik yang detail dan akurat, sebagaimana yang di gambarkan oleh al Hafizh Abu Thalib Ahmad bin Sazhr; ‘ siapa yang dapat bersabar sebagaimana kesabaran An Nasa`i? dia memiliki hadits Ibnu Lahi’ah dengan terperinci - yaitu dari Qutaibah dari Ibnu Lahi’ah-, maka dia tidak meriwayatkan hadits darinya.’ Maksudnya karena kondisi Ibnu Lahi’ah yang dla’if.

Dengan ini menunjukkan, bahwa tendensi beliau bukan hanya memperbanyak riwayat hadits semata, akan tetapi beliau berkeinginan untuk memberikan nasehat dan menseterilkan syarea’at (dari bid’ah dan hal-hal yang diada-adakan).

Sebagaimana imam Nasa`i selalu berhati-hati dalam mendengar hadits dan selalu selektif dalam meriwayatkannya. Maka ketika beliau mendengar dari Al Harits bin Miskin, dan banyak meriwayatkan darinya, akan tetapi beliau tidak mengatakan; ‘telah menceritakan kepada kami,’ atau ‘telah mengabarkan kepada kami,’ secara serampangan, akan tetapi dia selalu berkata; ‘dengan cara membacakan kepadanya dan aku mendengar.’ Para ulama menyebutkan, bahwa faktor imam Nasa`i melakukan hal tersebut karena terdapat kerenggangan antara imam Nasa`i dengan Al Harits, dan tidak memungkinkan baginya untuk menghadiri majlis Al Harits, kecuali beliau mendengar dari belakang pintu atau lokasi yang memungkinkan baginya untuk mendengar bacaan qari` dan beliau tidak dapat melihatnya.


Risalah beliau

Imam Nasa`i mempunyai lawatan ilmiah cukup luas, beliau berkeliling kenegri-negri Islam, baik di timur maupun di barat, sehingga beliau dapat mendengar dari banyak orang yang mendengar hadits dari para hafizh dan syaikh. Diantara negri yang beliau kunjungi adalah sebagai berikut;
1. Khurasan.
2. Iraq; Baghdad, Kufah dan Bashrah.
3. Al Jazirah; yaitu Haran, Maushil dan sekitarnya.
4. Syam.
5. Perbatasan; yaitu perbatasan wilayah negri islam dengan kekuasaan Ramawi.
6. Hijaz.
7. Mesir.


Guru-guru beliau

Kemampuan intelektual Imam Nasa’i menjadi matang dan berisi dalam masa lawatan ilmiahnya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan intelektual, sementara masa lawatan ilmiahnya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.

Diantara guru-guru beliau, yang teradapat didalam kitab sunannya adalah sebagai berikut;
1. Qutaibah bin Sa’id.
2. Ishaq bin Ibrahim.
3. Hisyam bin ‘Ammar.
4. Suwaid bin Nashr.
5. Ahmad bin ‘Abdah Adl Dabbi.
6. Abu Thahir bin as Sarh.
7. Yusuf bin ‘Isa Az Zuhri.
8. Ishaq bin Rahawaih.
9. Al Harits bin Miskin.
10. Ali bin Kasyram.
11. Imam Abu Dawud.
12. Imam Abu Isa at Tirmidzi.
Dan yang lainnya.


Murid-murid beliau

Murid-murid yang mendengarkan majlis beliau dan pelajaran hadits beliau adalah;
1. Abu al Qasim al Thabarani.
2. Ahmad bin Muhammad bin Isma’il An Nahhas an Nahwi.
3. Hamzah bin Muhammad Al Kinani.
4. Muhammad bin Ahmad bin Al Haddad asy Syafi’i.
5. Al Hasan bin Rasyiq.
6. Muhmmad bin Abdullah bin Hayuyah An Naisaburi.
7. Abu Ja’far al Thahawi.
8. Al Hasan bin al Khadir Al Asyuti.
9. Muhammad bin Muawiyah bin al Ahmar al Andalusi.
10. Abu Basyar ad Dulabi.
11. Abu Bakr Ahmad bin Muhammad as Sunni.
Dan yang lainnya.


Persaksian para ulama terhadap beliau

Dari kalangan ulama seperiode beliau dan murid-muridnya banyak yang memberikan pujian dan sanjungan kepada beliau, diantara mereka yang memberikan pujian kepada beliau adalah;
1. Abu ‘Ali An Naisaburi menuturkan; ‘beliau adalah tergolong dari kalangan imam kaum muslimin.’ Sekali waktu dia menuturkan; beliau adalah imam dalam bidang hadits dengan tidak ada pertentangan.’.
2. Abu Bakr Al Haddad Asy Syafi’I menuturkan; ‘aku ridla dia sebagai hujjah antara aku dengan Allah Ta’ala.’.
3. Manshur bin Isma’il dan At Thahawi menuturkan; ‘beliau adalah salah seorang imam kaum muslimin.’.
4. Abu Sa’id bin yunus menuturkan; ‘ beliau adalah seorang imam dalam bidang hadits, tsiqah, tsabat dan hafizh.’.
5. Al Qasim Al Muththarriz menuturkan; ‘beliau adalah seorang imam, atau berhak mendapat gelar imam.’.
6. Ad Daruquthni menuturkan; ‘Abu Abdirrahman lebih di dahulukan dari semua orang yang di sebutkan dalam disiplin ilmu ini pada masanya.’.
7. Al Khalili menuturkan; ‘beliau adalah seorang hafizh yang kapabel, di ridlai oleh para hafidzh, para ulama sepakat atas kekuatan hafalannya, ketekunannya, dan perkataannya bisa dijadikan sebagai sandaran dalam masalah jarhu wa ta’dil.’.
8. Ibnu Nuqthah menuturkan; ‘beliau adalah seorang imam dalam disiplin ilmu ini.’.
9. Al Mizzi menuturkan; ‘beliau adalah seorang imam yang menonjol, dari kalangan para hafizh, dan para tokoh yang terkenal.’.


Hasil karya beliau

Imam Nasa`i mempunyai beberapa hasil karya, diantaranya adalah;
1. As Sunan Ash Shughra.
2. As Sunan Al Kubra.
3. Al Kuna.
4. Khasha`isu ‘Ali.
5. ‘Amalu Al Yaum wa Al Lailah.
6. At Tafsir.
7. Adl Dlu’afa wa al Matrukin.
8. Tasmiyatu Fuqaha`i Al Amshar.
9. Tasmiyatu man lam yarwi ‘anhu ghaira rajulin wahid.
10. Dzikru man haddatsa ‘anhu Ibnu Abi Arubah.
11. Musnad ‘Ali bin Abi Thalib.
12. Musnad Hadits Malik.
13. Asma`u ar ruwah wa at tamyiz bainahum.
14. Al Ikhwah.
15. Al Ighrab.
16. Musnad Manshur bin Zadzan.
17. Al Jarhu wa ta’dil.


Wafatnya beliau

Setahun menjelang kemangkatannya, beliau pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni mengatakan, beliau di Makkah dan dikebumikan diantara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Mishri.

Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (murid al-Nasa’i) dan Abu Bakar al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat Rasullullah guna menyebarluaskan hadis mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah. Amiiin.

(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sekilas Biografi Ibnu Majah


Pertumbuhan beliau

Nama: Muhammad bin Yazid bin Mâjah al Qazwînî.

Nama yang lebih familiar adalah Ibnu Mâjah yaitu laqab bapaknya (Yazîd). Bukan nama kakek beliau.
Kuniyah beliau: Abu ‘Abdullâh

Nasab beliau:
1. Ar Rib’I; merupakan nisbah wala` kepada Rabi’ah, yaitu satu kabilah arab.
2. al Qazwînî adalah nisbah kepada Qazwîn yaitu nisbah kepada salah satu kota yang terkenal di kawasan ‘Iraq.


Tanggal lahir

Ibnu Majah menuturkan tentang dirinya; “aku dilahirkan pada tahun 209 hijirah. Referensi-referensi yang ada tidak memberikan ketetapan yang pasti, di mana Ibnu Majah di lahirkan, akan tetapi masa pertumbuhan beliau beradaA di Qazwin. Maka bisa jadi Qazwin merupakan tempat tinggal beliau.


Aktifitas beliau dalam menimba ilmu

Ibnu majah memulai aktifitas menuntut ilmunya di negri tempat tinggalnya Qazwin. Akan tetapi sekali lagi referensi-referensi yang ada sementara tidak menyebutkan kapan beliau memulai menuntut ilmunya. Di Qazwin beliau berguru kepada Ali bin Muhammad at Thanafusi, dia adalah seorang yang tsiqah, berwibawa dan banyak meriwayatkan hadits. Maka Ibnu Majah tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia memperbanyak mendengar dan berguru kepadanya. Ath Thanafusi meninggal pada tahun 233 hijriah, ketika itu Ibnu Majah berumur sekitar 24 tahun. Maka bisa di tarik kesimpulan bahwa permulaan Ibnu Majah menuntut ilmu adalah ketika dia berumur dua puluh tahunan.

Ibnu Majah termotivasi untuk menuntut ilmu, dan dia tidak puas dengan hanya tinggal di negrinya, maka beliaupun mengadakan rihlah ilmiahnya ke sekitar negri yang berdampingan dengan negrinya, dan beliau mendengar hadits dari negri-negri tersebut.


Risalah beliau

Ibnu Majah meniti jalan ahli ilmu pada zaman tersebut, yaitu mengadakan rihlah dalam rangka menuntut ilmu. Maka beliau pun keluar meninggalkan negrinya untuk mendengar hadits dan menghafal ilmu. Berkeliling mengitari negri-negri islam yang menyimpan mutiara hadits. Bakat dan minatnya di bidang Hadis makin besar. Hal inilah yang membuat Ibnu Majah berkelana ke beberapa daerah dan negri guna mencari, mengumpulkan, dan menulis Hadis.


Puluhan negri telah ia kunjungi, antara lain:

Khurasan; Naisabur dan yang lainnya:
1. Ar Ray Iraq; Baghdad,
2. Kufah, Wasith dan Bashrah Hijaz;
3. Makkah dan Madinah Syam;
4. damasqus dan Himsh Mesir.


Guru-guru beliau

Ibnu Majah sama dengan ulama-ulama pengumpul hadits lainnya, beliau mempunyai guru yang sangat banyak sekali. Diantara guru beliau adalah;
1. ‘Ali bin Muhammad ath Thanâfusî
2. Jabbarah bin AL Mughallas
3. Mush’ab bin ‘Abdullah az Zubair
4. Suwaid bin Sa’îd
5. Abdullâh bin Muawiyah al Jumahî
6. Muhammad bin Ramh
7. Ibrahîm bin Mundzir al Hizâmi
8. Muhammad bin Abdullah bin Numair
9. Abu Bakr bin Abi Syaibah
10. Hisyam bin ‘Ammar
11. Abu Sa’id Al Asyaj
Dan yang lainnya.


Murid-murid beliau

Keluasan ‘ilmu Ibnu Majah membuat para penuntut ilmu yang haus akan ilmu berkeliling dalam majlis yang beliau dirikan. Maka sangat banyak sekali murid yang mengambil ilmu darinya, diantara mereka adalah;
1. Muhammad bin ‘Isa al Abharî
2. Abu Thayyib Ahmad al Baghdadî
3. Sulaiman bin Yazid al Fami
4. ‘Ali bin Ibrahim al Qaththan
5. Ishaq bin Muhammad
6. Muhammad bin ‘Isa ash Shiffar
7. ‘Ali bin Sa’îd al ‘Askari
8. Ibnu Sibuyah
9. Wajdî Ahmad bin Ibrahîm
Dan yang lainnya.


Persaksian para ulama terhadap beliau

1. Al HafizhAl Khalili menuturkan; “(Ibnu Majah) adalah seorang yang tsiqah kabir, muttafaq ‘alaih, dapat di jadikan sebagai hujjah, memiliki pengetahuan yang mendalam dalam masalah hadits, dan hafalan.” .
2. Al Hafizh Adz Dzahabi menuturkan; “(Ibnu Majah) adalah seorang hafizh yang agung, hujjah dan ahli tafsir.” .
3. Al Mizzi menuturkan; “(Ibnu Majah) adalah seorang hafizh, pemilik kitab as sunan dan beberapa hasil karya yang bermanfa’at.” .
4.Ibnu Katsîr menuturkan: “Ibnu Majah adalah pemilik kitab as Sunnan yang Masyhur. Ini menunjukkan ‘amalnya, ‘ilmunya, keluasan pengetahuannya dan kedalamannya dalam hadits serta ittibâ’nya terhadap Sunnah dalam hal perkara-perakra dasar maupun cabang.


Hasil karya beliau

Ibnu Majah adalah seorang ulama penyusun buku, dan hasil karya beliau cukuplah banyak. Akan tetapi sangat di sayangkan, bahwa buku-buku tersebut tidak sampai ke kita. Adapun diantara hasil karya beliau yang dapat di ketahui sekarang ini adalah:

1. Kitab as-Sunan yang masyhur.
2. Tafsîr al Qurân al Karîm.
3. Kitab at Tarîkh yang berisi sejarah mulai dari masa ash-Shahâbah sampai masa beliau.


Wafatnya beliau

Beliau meninggal pada hari senin, tanggal duapuluh satu ramadlan tahun dua ratus tujuh puluh tiga hijriah. Di kuburkan esok harinya pada hari selasa. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan keridlaan-Nya kepada beliau.

(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)