Rabu, 30 Desember 2015

Antara Khawarijsme, Wahabisme dan Radikalisme


Oleh: Faisal Djindan

1400 tahun yang lalu, ketika sekelompok orang yang kemudian dikenal dengan nama Khawarij dikepung dan kemudian sebagian besar dari mereka terbunuh dan sebagian kecil lainnya melarikan diri dalam sebuah pertempuran di tepi sungai Nehrawan Irak. Komandan perang Islam saat itu Malik al-Asytar datang kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib menyampaikan laporan sekaligus kabar gembira dengan keberhasilan operasi mereka dalam menghadapi kelompok tersebut. Maka sang Khalifah pun berkata; “Demi Allah tidak dan belum, mereka masih berada dalam sulbi lelaki dan rahim wanita, bilamana seorang pemimpin muncul dari kalangan mereka maka ia akan dipancung sampai yang terakhir dari mereka akan menjadi pencuri dan perampok” (Nahj al-Balaghah, khotbah 59).

Kelompok Khawarij yang tersebut diatas adalah sebuah kelompok dengan ideologi keagamaan saat itu dengan sifat arogan, radikal serta tak memiliki belas kasih membunuh siapa saja yang dianggap memiliki perbedaan dengan faham dan penafsiran dari teks-teks keagamaan dari yang mereka yakini.

Salah satu syiar atau motto mereka adalah “tidak ada hukum (yg dipakai) kecuali hukum Allah”. Motto mereka ini tentunya mereka petik dari salah satu ayat dalam Alquran yang jika diterjemahkan secara parsial dan tekstual akan memiliki interprestasi tunggal sebagaimana yang mereka yakini. Alhasil penafsiran yang mereka buat lalu dilegalkan dalam sebuah praktek praktek yang kemudian berujung kepada sadisme dan brutalisme. Agama (baca:Islam) yang awalnya mengajak umat manusia kepada kasih sayang, akhlak & moral terpuji, membangun peradaban tinggi, menghargai hak-hak sesama kemudian berubah menjadi horor, sadisme, brutalisme, mudah tersulut emosi, anti peradaban, intoleran dan kaku.

Kelompok ini awalnya muncul di era kekhalifaan Ali bin Abi Thalib yang berada pada kurun 30-35H. Khalifah Ali pada saat melihat motto mereka yang diambil dari teks suci Alquran yang mampu menyihir dan mengelabui banyak dari orang awam dengan tegas mengatakan “Perkataan mereka benar tetapi maksudnya salah”, dengan kata lain beliau mengingatkan kepada umat saat itu bahwa teks-teks yang dipakai sebagai argumen adalah benar adanya karena bersumber pada kitab suci Alquran akan tetapi penafsiran yang mereka pakai adalah salah. Jadi era tersebut juga dikenal dengan istilah periode Takwil atau interprestation periode. Dimana saat Nabi saw berdakwa dinamakan periode Tanzil atau wahyu periode maka periode pasca Nabi adalah periode Takwil yang artinya semua sudah menerima Alquran sebagai wahyu tapi problematikanya kemudian bergeser pada interprestasi yang jika sebuah kelompok melakukan true claim dan mengaplikasikannya dalam arogansi dan radikal akan menjadi sebuah ancaman serius bahkan dapat menganulir ruh dari agama itu tersebut.

Menurut sejarawan Islam, pengkafiran paling awal dalam Islam gemar dilakukan oleh kelompok khawarij. Mereka mengkafirkan siapa pun yang berbeda sikap dan pandangan dari mereka. Jargon “hukum hanya milik Allah” telah mengesampingkan peran akal manusia dalam memahami pesan-pesan wahyu.

Aksi-aksi Khawarij ini telah menjadi preseden buruk bagi generasi muslim berikutnya. Dengan aksi-aksi kejam dan destruktifnya mereka tidak hanya mengacaukan stabilitas politik, tetapi juga mendistorsi logika berfikir umat islam dan ini terus di wariskan dari generasi ke generasi. Dewasa ini, para ulama lazim menyebut siapa pun yang mewarisi kebiasaan buruk khawarij sebagai neo-khawarij.

Perkataan Ali bin Thalib yang kami nukil diawal tulisan ini dapat memberikan kepada kita semacam gambaran bahkan ramalan akan sepak terjang mereka. Darinya kita memperoleh pemahaman bahwa radikalisme dan intoleranisme bukan hanya terjadi saat itu, walaupun kelompok Khawarij telah berhasil ditumpas saati itu sang khalifah berujar bahwa “mereka masih ada di sulbi lelaki dan rahim wanita” yang berarti akan lahir disetiap zaman dengan nama atau julukan yang berbeda. Jika saat itu mereka dikenal dengan khawarij maka saat ini mungkin saja mereka dikenal dengan Alqaedah, Taliban, Jabhat Nusra, Boko Haram, Asyabab atau ISIS. Jika dahulu syiar atau motto mereka adalah “tidak ada hukum kecuali milik Allah” maka saat ini syiar dan motto mereka adalah”mendirikan Syariat Allah”..... jadi sekali lagi mereka akan tetap ada di setiap zaman.

Faham Salafi-Wahabi

Pada tahun 1746 aliansi Wahabisme secara resmi memproklamasikan jihad terhadap siapa pun yang memiliki pemahaman Tauhid berbeda. Kampanye mereka biasanya dengan tuduhan Syirik, Bidah atau Khurafat. Siapa pun yang memiliki pemahaman yang tidak sepaham dengan mereka maka akan dianggap murtad dan diwajibkan memeranginya. Dengan demikian predikat muslim hanya merujuk secara eksklusif kepada para pengikut Salafi-Wahabi seperti yang digunakan dalam, buku ‘Unwan al-Majd fi Tarikh al-Najd yang merupakan salah satu buku sejarah resmi Wahabi

Pemahaman ekstrem, kaku, dan keras ala Salafi-Wahabi yang terus dipelihara dan diperjuaangkan oleh pengikutnya hingga saat ini adalah hasil pembacaan tekstual atas sumber sumber ajaran islam. Ini pula yang menyebabkan mereka menolak rasionalisme, tradisi dan berbagai khazanah intelektual islam yang sangat kaya.

Literarur Salafi-Wahabi telah membuat teks teks suci menjadi corpus dan tertutup terhadap pembacaan selain gaya tekstual ala mereka. Pemahaman ini telah memutus teks-teks suci dari konteks risalah maupun konteks masa kini. Islam yang semula sangat apresiatif dan penuh perasaan dalam merespon permasalahan umat tiba-tiba di tangan Salafi-Wahabi menjadi kaku, keras dan tidak berperasaan.

Beberapa tabiat buruk Khawarij pada awal abad pertama islam kini diwarisi kelompok Salafi-Wahabi. Wahabi memang tidak bisa dikatakan sebagai penerus khawarij, bahkan ia dianggap sebagai fenomena yng sama sekali baru dan tidak punya pendahulu sebelumya dalam sejarah islam (Hamid Algar, wahabism: A critical Essay- cet. New York, Islamic Publication International, 2002). Hal ini didasari pada kenyataan bahwa dalam sejarah pemikiran islam Salafi-Wahabi tidak menempati posisi penting apa pun bahkan secara intelektual marjinal. Jika hari ini Wahabisme menjadi signifikan bukan karena kekayaan pemikirannya tapi karena kekuasaan polituk Ibn Saud dan Reyalnya.

Dari perspektif Salafi-Wahabi, memahami agama secara tekstual dan indoktrinal mungkin untuk menghindari kompleksitas pemahaman dan praktik hukum, teologi dan tasawuf umat islam yang telah tumbuh sejak berakhirnya periode wahyu. Namun membayangkan setiap individu dan masyarakat akan mengamalkan islam secara harfiah dari kitab suci dan hadits, tanpa pengaruh tradisi dan budaya setempat tentu sangat tidak realistis dan merupakan mimpi belaka. Justru usaha memahami teks keagamaan secara harfiah ala wahabisme lebih disebabkan ketidakmampuan memahami kompleksitas realitas sosial dalam kaitannya dengan kompleksitas pesan-pesan luhur ajaran islam. Akibatnya semua direduksi sesuai dengan daya tampung atau daya paham si pembaca. Dengan kata lain, keluhuran dan keluasan pesan agama kandas oleh keterbatasan daya pikir mereka yang kaku.

Wahabisme dan Indonesia

Selama beberapa dekade, pelajaran dibangku sekolah sering menceritakan adanya sebuah perang di Sumatra barat yang terjadi di era kolonial yang dikenal dengan perang Padri. Hanya saja perang padri tersebut tidak penah diungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.

Gerakan Padri bermula dari perkenalan haji Miskin, Haji Abdrahman dan Haji Muhammad Arif dengan faham Wahabisme saat menunaikan ibadah haji pada awal abad ke 19, yang ketika itu Makkah dan Madinah sudah dikuasai Wahabi. Terpesona dengan gerakan faham Wahabisme ketiga tokoh tersebut dengan bantuan tokoh tokoh lainnya berusaha menularkannya ke tanah air dengan semangat baru yaitu gerakan pemurnian agama yang merupakan slogan gerakan Wahabi. Salah satu gerakan mereka saat itu adalah memberikan vonis sesat terhadap gerakan tasawwuf Tarekat Syatariyyah dan tarekat tarekat lain secara umum. Tuduhan bidah, khurafat dan syirik mereka layangkan kepada kelompok tasawwuf ini yang keberadaannya sudah ada sejak beberapa abad sebelumnya di Minangkabau.

Beberapa kekerasan yang dilakukan Padri selain mengikuti gerakan kegemaran Wahabisme seperti memusyrikkan, mengkafirkan, membidahkan atau memurtadkan siapapun yang berbeda dengan mereka, juga menerapkan hukun yang sama sekali asing dalam diktum hukun islam. Seperti kewajiban memelihara jenggot yang melanggar didenda dengan 2 Suku (setara dengan 2 Gulden), denda 2 Suku bagi laki laki yang terlihat bagian lututnya dan denda 3 Suku bagi wanita yang terlihat auratnya. Lalu ada denda 5 Suku bagi yang meninggalkan shalat fardhu untuk pertama kali dan hukuman mati bagi yang meninggalkan shalat fardhu untuk berikutnya (http://oman.uinjkt.ac.id/2007/11/kontroversi-kaum-paderi-jika-bukan.html).

Para padri juga melegalkan perbudakan, Tuanku Imam Bonjol seorang tokoh padri terkenal konon mempunyai tujuh puluh orang budak laki-laki dan perempuan. Budak-budak tersebut sebagian berasal dari pampasan perang yang mereka lancarkan kepada sesama muslim karena dianggap telah kafir. (Abdul A’la; genealogi Radikalisme Muslim Nusantara)

Adapun dewasa ini, faham Wahabisme sudah menjalar keseluruh bidang. Jika zaman terdahulu mereka hanya berada pada lingkup dakwah dan majelis ilmu maka sekarang ini mereka eksis dibidang sosial dan politik. Hanya kebanyakan umat islam Indonesia kerap tidak menyadari bahaya laten yang dibawa kelompok garis keras beserta fahamnya. Sebaliknya karena awamnya umat mereka cenderung melihat islam sebagai identik dengan Arab. Mungkin karena faktor inilah umat islam Indonesia tempak enggan mengkritisi Wahabisme yang merupakan faham resmi Kerajaan Arab Saudi dan tentunya faham resmi bagi semua kelompok radikal diseluruh negara-negara islam.

Dalam konteks kebangsaan faham Wahabisme adalah ancaman bagi disitegrasi bangsa. Praktek penyesatan dan pengkafiran dangan basis true claim sepihak ala mereka telah menjadi faktor yang selama ini terbukti menjadi pemicu intoleransi yang terjadi diberbagai tempat. Pemaksaan ajaran secara arogan juga ikut andil dalam menciptakan kekerasan dalam bingkai agama. Sementara dalam konteks politik munculnya ormas-ormas yang berhaluan Wahabisme dengan tegas dan terang-terangang menvonis pancasila dan system demokrasi sebagai Thoghut dan produk haram. Siapa saja dari umat silam yang mendukung ideologi pancasila dan mendukung diberlakukannya demokrasi maka mereka juga dianggap telah menjadi kafir. Maka tak heran ormas semacam HTI, JI dan JAT memiliki cita-cita untuk mengganti ideologi pancasila yang berbhineka dan mengayomi keberagaman dan perbedaan dengan ideologi Khilafah dan penerapan syariat islam yang tentunya sesuai dengan penafsiran tekstual dan indoktrinal mereka.

Sebenarnya, benih gerakan garis keras sudah hadir di Indonesia modern sejak dekade 1970-an, walaupun saat itu kehadirannya bermanis muka dan belum menunjukkan tujuan yang sebenarnya. Karena mereka sadar belum memiliki kekuatan yang memadai. Kekuatan mereka menjadi tampak saat kekuasaan orde baru runtuh. Lalu dengan memanfaatkan atmosfer demokrasi dan kebebasan mereka eksis dan berlindung dibalik legal hukum formal dengan tujuan yang sangat demokratis dan membungkam kebebasan. Ada diantaranya yang yang memilih aksi-aksi jalanan sebagai media pemaksaan ideologinya namun ada juga yang memilih jalur politik praktis dan parlementer.

Secara ringkas bisa dikemukakan bahwa agenda utama kelompok-kelompok garis keras adalah untuk meraih kekuasaan politik melalui formalisasi agama. Mereka beranggapan jika syariah diterapkan sebagai hukum positif dan jika khilafah ditegakkan maka seluruh permasalahan akan selesai.

Seperti diketahui, kelompok kelompok garis keras yang berfaham Wahabi memahami teks-teks keagamaan secara harfiah dan mengabaikan ayat-ayat dan hadist-hadist yang tidak mendukung kepentingan mereka. Maka akhirnya pesan agama pun direduksi sebatas makna atau pesan yang bisa disampaikan dalam rangkaian huruf-huruf saja sesuai dengan ideologi mereka. Ayat-ayat atau hadits-hadits tentang peminum khamr, pencuri atau pembunuh misalnya diturunkan kedalam diktum hukum yang sangat harfiah dan dengan sanksi bermotif dendam.


(Ikmal-Online/STI)

Analisa Penafian Sifat-sifat Tuhan dalam Perkataan Imam Ridha as


Oleh: Dr. Muhammad Nur Jabir

Pendahuluan

Persoalan Tuhan tak pernah surut untuk dikaji. Bagi mereka yang tak meyakini Tuhan berusaha membuktikan penafian keberadaan Tuhan sebagaimana yang kita saksikan dalam argumentasi-argumentasi mereka. Sebaliknya, bagi mereka yang meyakini Tuhan senantiasa memperbaharui argumentasi-argumentasi tentang Tuhan, baik itu berkenaan dengan keberadaan-Nya maupun berkenaan dengan sifat-sifat-Nya. Namun usaha kaum ateis selalu saja gagal dalam membunuh Tuhan, mereka lupa bahwa jalan menuju Tuhan sebanyak nafas manusia. Jalan terbaik menuju Tuhan adalah jalan fitrah karena tak lagi butuh pembuktian dan tak butuh argumentasi karena dapat dirasakan secara langsung. Fitrah manusia berpotensi merasakan langsung kehadiran Tuhan, khususnya fitrah yang belum terkontaminasi dengan hal-hal yang negatif.

Selain pembahasan pembuktian keberadaan Tuhan, persoalan mengenai sifat-sifat Tuhan termasuk persoalan yang menarik dan penting untuk disuguhkan kembali. Akhir-akhir ini masyarakat kembali menyorot pernyataan yang ‘menghebohkan’ yaitu ‘tuhan membusuk’ yang diangkat oleh salah satu kampus negeri islam dalam acara ospek mahasiswa. Kami tidak akan membahas persoalan ini. Kami hanya ingin mengingatkan, meskipun persoalan Tuhan dapat dipahami secara fitrah yang tak begitu membutuhkan argumentasi dan pembuktian, namun perlu memahamkan dengan baik konsep-konsep tentang Tuhan sehingga tidak terjebak dalam persoalan seperti itu. Pemahaman ini tentu membutuhkan sebuah pendekatan dan pendekatan yang terbaik adalah melalui pendekatan filosofi karena hanya dengan pendekatan filosofi mampu menjawab beragam keeambiguan mengenai persoalan konsep Tuhan.


Perkataan Imam Ridha Tentang Sifat Tuhan

Sebagaimana dipahami bahwa Tuhan adalah hakekat yang tak terbatas, tak terhingga, tanpa akhir, tak ada bagi-Nya ruang dan waktu, tak disifatkan pada-Nya ‘mana’ dan ‘kapan’, bahkan pertanyaan mengenai ‘kebagaimanaan’ tak lagi bermakna bagi-Nya. Tak ada pertanyaan tentang ‘awal’ dan ‘akhir’. Dia adalah wujud yang tak terbatas dan meliputi segala realitas serta hadir dalam segala ruang dan waktu.

Salah satu hadits yang menarik dari Imam Ridha as berkenaan dengan penafian sifat-sifat pada Tuhan. Dalam kitab Tauhid Syekh Shoduq Imam Ridha as menjelaskan,’sistem tauhid Allah adalah dengan menafikan sifat-sifat atas-Nya’. Pertanyaannya adalah bagaimana kita memaknai pernyataan Imam berkenaan dengan penafian sifat-sifat Tuhan. Bukankah Tuhan disifatkan dengan sifat-sifat MahaPencipta, MahaPemberi rezeki, MahaPengampun, dan sifat-sifat lainnya ?

Dalam Nahjul Balaghah Imam Ali as juga menjelaskan hal yang sama berkenaan dengan penafian sifat Tuhan. Dalam khotbah pertama Imam Ali as menjelaskan, ‘. . . dan kesempurnaan kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya . . . .

Baik Imam Ali as maupun Imam Ridha as menjelaskan tentang penafian sifat-sifat Tuhan. Dalam menjelaskan persoalan ini, sebelumnya perlu dipahami bahwa hakekat Tuhan itu tak terbatas. Ketidakterbatasan Tuhan tersebut sekaligus menjelaskan kepada kita bahwa terdapat satu maqam dimana hakekat-Nya tak mungkin digapai. Dalam Nahjul Balaghah khotbah pertama juga dijelaskan, ‘. . . orang yang tinggi kemampuan akalnya tak dapat menilai, dan penyelaman pengertian tak dapat mencapai-Nya . . . . Hakekat yang tak mungkin diraih ini oleh para teolog, filsuf, dan arif menyebutnya dengan maqam zat. Imam Ridha as menjelaskan, ‘adapun pelarangan sifat-sifat tersebut ialah pada zat-Nya’


Penafian Sifat-Sifat Tuhan pada Maqam Zat

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, penafian sifat Tuhan ini tidak bersifat mutlak. Maksudnya penafian sifat Tuhan tersebut tidak berlaku pada seluruh maqam Tuhan. Hanya pada maqam zat saja penafian sifat-sifat kepada Tuhan tersebut dibenarkan. Oleh karenanya seluruh sifat-sifat yang disifatkan kepada Tuhan adalah setelah maqam zat, bukan pada maqam zat. Dalam kata lain, Tuhan pada maqam zat hanya bisa dipahami dalam bentuk negasi (salbī). Berdasarkan hal ini, gagasan teologi negasi (ilahiyah salbīyah) dapat dibenarkan jika persoalannya dibatasi pada maqam zat. Karena maqam setelah zat dapat dipahami sifat-sifat-Nya sebagaimana Quran sendiri memperkenalkan sifat-sifat Tuhan kepada kita dan tak mungkin Quran memperkenalkan kepada manusia jika manusia tak mampu memahaminya.

Terdapat beberapa dalil dalam membuktikan bahwa zat Tuhan bukan lokus penyifatan berbagai sifat:

1. Dalam kitab Ushūl Kāfī Imam Ridha as memaparkan alasan mengapa tidak diperkenankan menyifatkan sifat-sifat kepada zat Tuhan. Kesimpulannya bahwa jika kita menyifatkan satu sifat tertentu kepada zat Tuhan maka akan meniscayakan pembatasan terhadap zat Tuhan yang tak terbatas. Qadhi Sa’id Qummi dalam mengomentari pernyataan Imam Ridha as menjelaskan, ‘sifat-sifat tersebut tidak bisa dipredikatkan kepada zat Tuhan karena jika sifat-sifat dilekatkan kepada-Nya, Dia yang tak terbatas menjadi terbatas disebabkan mempersepsi sifat-sifat-Nya. karena ‘zat sebagaimana zat’ lebih dahulu dari sifat, baik itu sifat dalam pengertian zat itu sendiri, maupun sifat dalam pengertian diluar dari zat. Dan juga akan melazimkan bahwa meskipun sifat berada setelah maqam zat namun terbatas, tentu hal ini bertentangan ketidakterbatasan-Nya dan ketakterhinggaan-Nya’.

2. Argumentasi selanjutnya dari Imam Ridha as, ‘oleh karena penyaksian akal bahwa segala sifat dan yang disifatkan adalah makhluk’. Segala sifat dan yang disifatkan adalah makhluk dan makhluk ini mumkin wujud. Jika Tuhan adalah wajibul wujud maka tak mungkin ‘mumkin wujud’ disematkan kepada diri-Nya. Oleh karena itu sifat yang dimaksud disini adalah sifat yang tidak sepadan disematkan kepada subjek yang disifatkan. Maksudnya sifat-sifat makhluk tidak mungkin disematkan kepada Tuhan. Imam Ali as dalam lanjutan khotbahnya mengatakan, ‘. . . dan kesempurnaan kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa sifat itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan setiap sesuatu yang kepadanya sesuatu disifatkan berbeda dengan sifat itu . . .’.

Dari dua argumentasi diatas dapat dipahami bahwa pada maqam zat Tuhan, bagaimana pun bentuk sifat tersebut, baik itu sifat adalah zat itu sendiri maupun sifat diluar zat Tuhan, tak mungkin disematkan kepada zat Tuhan dengan alasan-alasan tersebut. Apalagi menyifatkan sifat-sifat makhluk kepada Tuhan, sebab jika demikian, maka subjek yang menjadi wadah penyifatan bukan Tuhan akan tetapi makhluk.

Mulla Sadra yang terilhami dari perkataan maksumin mengatakan, ‘sesungguhnya tak ada konsep apapun yang menyertai wajibul wujud’. Mulla Sadra meyakini jika zat Tuhan dipahami sebagai wujud murni yang tak bercampur dengan apapun, maka tak bisa kita menarik satu konsep tertentu darinya. Karena jika kita bisa menarik satu sifat tertentu, konsekwensinya sifat-sifat tersebut sudah terpisah satu sama lain sehingga terjadi pembedaan, dan pembedaan ini tentunya akan meniscayakan bilangan dan huduts (kebaruan).

Oleh karenya Mulla Sadra meyakini bahwa zat Tuhan itu basith (sederhana). Maksudnya bahwa zat Tuhan tidak memiliki rangkapan sama sekali. Jadi semua sifat Tuhan satu sama lain tidak berbeda pada zat Tuhan karena peleburan sifat-sifat tersebut pada maqam zat. Oleh karenanya pada zat Tuhan dapat kita katakan ilmu-Nya adalah qudrah-Nya dan qudrah-Nya adalah ilmu-Nya, dan begitu juga dengan sifat-sifat zat lainnya.

Kesimpulan:
Penafian sifat-sifat kepada Tuhan tidak berlaku pada seluruh tingkatan. Penafian sifat ini hanya berlaku pada zat Tuhan. Oleh karenanya, penyifatan sifat-sifat kepada Tuhan pada maqam setelah zat, bukan pada maqam zat.

Penafian sifat-sifat pada zat Tuhan, bukan dalam pengertian bahwa zat Tuhan tidak memiliki sifat sama sekali. Namun seluruh sifat-sifat tersebut tenggelam dalam zat Tuhan sehingga antara satu sifat dan sifat yang lainnya identik satu sama lain. Semunya eksis dengan satu wujud Tuhan. Inilah yang dimaksudkan Sadra dengan kebashitan wujud Tuhan.

(Ikmal-Online/STI)

Dari Ghadir Sampai Asyura


Oleh: Ahmad Hafidz Alkaff, MA

Mungkin tak ada hari seindah hari itu, kala seratus ribu orang lebih datang silih barganti untuk membaiat Ali bin Abi Thalib, disaksikan oleh Sang Pemimpin Agung, Rasulullah Saw. Semua datang untuk memenuhi seruan Nabawi, “Man kuntu maulahu fa’aliyyun maulahu”, “Siapa yang menjadikan aku pemimpinnya maka Ali juga pemimpinnya”. Terasa lega di hati banyak orang yang mempertanyakan nasib Islam dan kepemimpinan umat Islam setelah kepergian Rasul Saw. Umat sudah menunaikan kewajiban yang semestinya mereka laksanakan. Masalah kepemimpinan sudah terselesaikan.

Itulah gambaran sederhana dari peristiwa Ghadir Khum yang terjadi pada tanggal 18 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah. Di balik peristiwa Ghadir Khum dan pengangkatan Ali (as) secara resmi sebagai penerus dan ‘calon’ pengganti kepemimpinan Rasulullah ada banyak hakikat yang mesti dicermati.

Pertama, Ghadir menunjukkan pentingnya masalah pemerintahan dan kepemimpinan untuk membimbing umat dan menghadiahkan kesejahteraan di bawah naungan ajaran Ilahi. Dengan menyebut Ali sebagai maula untuk umat Islam berarti Nabi Saw telah menyadarkan mereka bahwa masyarakat tidak mungkin bisa hidup tanpa pemimpin. Kepemimpinan bagi sebuah masyarakat ibarat kepala bagi tubuh. Bahkan, dalam sejumlah riwayat disebutkan jika harus memilih memiliki pemimpin yang bejad atau tidak memiliki pemimpin maka alternatif pertamalah yang mesti dipilih.

Kedua, dengan diangkatnya Ali oleh Rasul Saw sebagai pemimpin umat atas perintah Allah berarti Islam telah menggariskan ketentuan syarat yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin. Tanpa syarat-syarat itu, orang tidak layak duduk sebagai pemimpin umat, apalagi menyandang gelar penerus misi risalah. Keimanan, ketaqwaan, keberanian, ilmu yang dalam, kearifan, keadilan, kejujuran, dan sederet sifat-sifat mulia lain yang ada pada diri Ali adalah sifat-sifat dan karakter yang mesi dimiliki oleh seorang pemimpin bagi masyarakat Muslim.

Ketiga, pengangkatan Ali sebagai pemimpin oleh Nabi Saw di Ghadir Khum menunjukkan bahwa masalah kepemimpinan, pemerintahan, dan kekuasaan tak terpisahkan dari masalah agama. Dengan kata lain, Islam menolak sekularisme dan pemikiran yang memisahkan politik, sosial dan pemerintahan dari agama. Islam bukan agama yang hanya berurusan dengan hubungan manusia dengan Tuhan di sudut mihrab. Dalam Islam, ada serangkaian hukum seperti jihad, qisas, rajam dan lainnya yang tak mungkin dilaksanakan kecuali oleh tangan penguasa. Karena itu, penguasa dalam Islam harus memiliki sederet sifat yang menunjukkan jatidiri keislaman yang sesungguhnya.

Keempat, antusiasme umat untuk membaiat Ali (as) di Ghadir Khum dan menyambut seruan Nabi Saw dengan sepenuh jiwa adalah sebuah kondisi umum kaum muslimin. Sebab, hal itu merupakan bukti keislaman dan kepatuhan mereka kepada agama ini. Mereka cenderung menaati ajaran agama yang sudah mereka terima. Akan tetapi, kondisi ini terkadang redup, terkubur dan tak nampak saat ada suara nyaring yang menggiring ke arah lain. Walaupun, tentunya suara senyaring apapun jika bertentangan dengan apa yang dipandang sebagai inti dari agama, seperti tauhid dan risalah, tak akan pernah didengar.

Tentunya masih banyak hal lain yang bisa dicermati dari balik peristiwa Ghadir Khum. Para sahabat tentunya masih ingat senyum indah yang tersungging di bibir suci beliau kala menyaksikan mereka berbaiat kepada Ali (as). Walaupun dalam hati, beliau sedih karena mengetahui kelak umat akan menyia-nyiakan pemimpin yang telah dipersiapkan ini. Ketika terdengar suara sumbang yang sangat nyaring, umat seakan melupakan bahwa mereka pernah berbaiat kepada Sang Haidar, penakluk benteng Khaibar. Seakan suara Rasul di Ghadir yang memanggil mereka redup di tengah bisingnya suara sumbang, dan Ali-pun dicampakkan.

Berpuluh tahun berlalu, hingga tiba masa ketika suara sumbang itu tak lagi nyaring. Umat tergugah untuk melaksanakan dan kembali kepada apa yang diajarkan oleh Nabi Saw. Itu terjadi saat Muawiyah bin Abi Sufyan menyeru kaum muslimin untuk berbaiat kepada anaknya yang bernama Yazid. Umat sadar, bahwa mereka memerlukan pemimpin. Tapi sosok yang ditawarkan bukanlah pemimpin yang bisa diikuti. Mereka sadar, bahwa khalifah umat Islam harus menghiasi diri dengan ajaran Islam, dan Yazid bukan orangnya. Mereka sadar, bahwa masalah kepemimpinan dan kekuasaan tak bisa dipisahkan dari agama.

Kelompok demi kelompok mengirimkan surat dan kurir kepada Abu Abdillah al-Husain (as) yang berisi pernyataan janji setia jika sang Imam bersedia memimpin mereka. Ribuan surat diterima oleh Imam Husein hanya dalam waktu yang singkat. Beliau lantas mengirim utusannya, Muslim bin Aqil untuk melihat kondisi di Kufah. Antusiasme besar dari masyarakat untuk berbaiat kepada utusan al-Husain menjadi pemandangan yang sangat indah. Ada kemiripan dengan pemandangan yang terjadi di Ghadir Khum 18 Dhulhijjah tahun 10 Hijriyah. Muslim melaporkan apa yang disaksikannya. Imam pun lantas membulatkan tekad untuk menjadikan Kufah sebagai pusat kegiatannya menegakkan kembali ajaran Nabi Saw.

Namun, ketulusan dan keinginan untuk kembali ke jalan Islam yang sesungguhnya terhalang oleh munculnya suara sumbang yang sangat nyaring. Suara Ibnu Ziyad yang beraroma pedang dan darah telah menghalangi kembalinya kekuasaan dan kepemimpinan atas umat ini kepada yang berhak. Dan untuk menyelamatkan agama ini, al-Husain, Sang Pelita Hidayah rela mengorbankan jiwanya.

(Ikmal-Online/STI)

Perayaan Asyura di Mancanegara


Oleh: Fajruddin Mukhtar

Tanggal 10 Muharram menjadi puncak dari perayaan muharram untuk memperingati syahadahnya Imam Husein as beserta para keluarga dan sahabatnya. Para pencinta ahlu bait Nabi di berbagai tempat di Manca Negara melakukan berbagai cara untuk memperingati hari yang sangat penting ini.

Di Iran, sebagaimana dilaporkan oleh Kantor berita IRNA, Perayaan Asyura ini juga disandingkan dengan Hari Perlawanan terhadap Imperialisme Global, yang jatuh pada tanggal 13 Aban [bertepatan dengan 4 November]. Perayaan tahun ini selain diisi renungan perjuangan Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya, dilanjutkan pula dengan demonstrasi anti Amerika dan Israel di depan bangunan bekas kedutaan besar AS di Tehran.

Dalam peristiwa sejarah Iran, tanggal 13 Aban (4 November) memiliki makna tersendiri . Pada hari tersebut para mahasiswa Iran menduduki kedutaan besar AS di Tehran yang telah berubah fungsi menjadi markas spionase dan propaganda anti-Revolusi Islam Iran.

Di London Ummat Islam juga memperingati hari yang sangat penting dan bersejarah ini. Hawzah News Agency melaporkan bahwa para pencinta Al Husein as sudah berkumpul di Islamic Center London. Peringatan Asyura ini dimulai dengan shalat Dzhuhur yang diimami oleh Hujjatul Islam wal Muslimin Dr. Syumali yang merupakan Ketua dari Islamic Center London.

Setelah itu, acara dilanjutkan dengan Tausiyah, pembacaan maqtal huseini dan ziarah Asyura. Dalam tausiahnya, Dr. Syumali mengingatkan akan pelajaran-pelajaran dan tujuan-tujuan penting perjuangan Imam Husein as.

Dr. Syumali mengatakan bahwa tujuan perjuangan agung Al Husein adalah menjaga kesucian Al Qur’an agama dan menegakan amar makruf nahi munkar. Dr. Syumali juga menekankan arti penting mengikuti perjuangan Imam Husein as. Di masa seperti ini.

Al Ghadeer Channel melaporkan juga kegiatan-kegiatan Asyura yang dilaksanakan di beberapa Negara Eropa seperti Prancis, Belgia, ukraina dan Spanyol. Dikabarkan bahwa perayaan asyura diisi dengan pembacaan maqtal huseini dan ditutup dengan ziarah asyura.

Sementara di beberapa Negara perayaan Asyura berjalan aman, di Irak justru perayaan Asyura bersimbah darah. Sebuah bom meletus di tengah tengah peziarah huseini. Letusan bom ini mengakibatkan syahidnya 39 orang peziarah.

Diperkirakan sekitar dua juta orang berkumpul di Karbala, tempat makam Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad, yang tewas di tangan tentara Yazid pada 680 AD, di puncak perpecahan agama Islam.

Peristiwa pemboman ini terjadi di saat puluhan ribu peziarah memasuki kota Karbala untuk merayakan puncak ritual Asyura. Pelaku bom bunuh diri beraksi di kawasan berpenduduk mayoritas Syiah di provinsi Diyala, sebelah utara Baghdad. Kejadian ini adalah serangan ketiga dengan sasaran umat Syiah sepanjang hari asyura ini.

Sebelumnya, sebuah serangan bom terjadi di kota Hafriyah, sebelah selatan Baghdad, yang menewaskan sembilan orang. Di Kikruk yang merupakan konsentrasi kaum syiah dan merupakan kota minyak dua buah bom meledak dan mencederai lima orang peziarah.

Di Pakistan sebuah bom juga meledak di arena Asyura. Peristiwa itu mengakibatkan 7 orang meninggal dunia, beberapa di antaranya adalah anak-anak. Sumber kepolisian Distrik Banun Syuranj di kawasan Ismail Khan mengatakan bahwa bom diletakan persis di tempat lewat rombongan peziarah Asyura.

Sementara itu dilaporkan oleh Al Alam, bahwa telah terjadi pemboman di wilayah Bobby Utara< Nigeria. Kejadian ini telah menyebabkan 23 orang syahid dan lebih dari 50 orang terluka parah. Saksi mata mengatakan bahwa para penyerang bom ini menjadikan orang-orang yang sedang shalat dan mengikuti kegiatan Asyura sebagai targetnya.

(Ikmal-Online/STI)

Berkatalah dengan perbuatan untuk menuju Indonesia Emas (Pelajaran berharga dari Ali bin Abi Thalib)


Oleh: Dr. Nano Warno

Pelajaran berharga dari Ali bin Abi Thalib
Apa yang bisa dicermati dari gaya komunikasi Ahok dan gaya protes rakyat FPI adalah pentingnya seorang pemimpin meyakinkan rakyatnya dengan perbuatan dan bukan sekedar mengobral kata-kata yang dianggap arogan. Begitu juga sekelompok orang di negeri ini tidak bisa seenaknya melakukan tindakan yang anarkis, melawan konstitusi karena akan mencoreng citra rakyat negeri ini yang toleran.

Dan apa yang bisa dikatakan untuk Jokowi dan JK adalah harus secepat mungkin bekerja keras, maksimal dan menggerakan menteri-menterinya untuk bekerja sepuluh kali lipat dengan melibatkan seluruh elemen. Indonesia tidak membutuhkan akrobatik blusukan, pencitraan sederhana atau kata-kata yang bombastis. Indonesia membutuhkan stablitas yang kuat, ekonomi yang kuat, pengusaha yang amanah dan rakyat yang cerdas.

Menjadi pemimpin baik itu lokal, daerah, kota, ibukota atau di negeri ini membutuhkan kualitas dan karakter pemimpin sejati. Pemimpin sejati tidak hanya lahir dari rakyat tapi juga memang memiliki karakter seorang pemimpin ideal. Kualitas seorang pemimpin itu hanya bisa dibuktikan oleh tindakan yang istimewa, yang bisa mengubah keadaan yang ada menjadi lebih baik dan lebih sempurna, yang bisa mengurai konflik dengan bijak,

Indonesia masih kekurangan dengan pemimpin-pemimpin yang terbaik. Indonesia yang majemuk dan dengan segala masalahnya yang komplek membutuhkan seorang pemimpin visioner, yang berani melakukan tindakan-tindakan yang tepat dengan pendekatan yang bijak, terobosan-terobosan yang bermanfaat untuk kepentingan rakyat dari segala dimensinya.

Imam Ali telah memberikan contoh yang baik dalam hal perhatiannya kepada umat. Seperti halnya Rasulullah juga yang sangat menyayangi dan selalu memberikan perhatian kepada umatnya. Karena hukumah islamiyah itu sendiri baru bisa berjalan dengan baik jika mendapatkan dukungan umat. Sebab islam itu hanya untuk umat.

Umat itu berbeda tingkatan pengetahuan satu dengan yang lain. Karena itu ketika Abu Sufyan menawarkan jalan untuk merebut kekhilafahan─yang akan menimbulkan fitnah besar di tengah-tengah umatnya, Imam Ali mengatakan demikian :
Wahai orang-orang pecahkan gelombang fitnah dengan perahu-perahu keselamatan dan bendunglah jalan perpecahan dan penggalah mahkota ketakaburan! .

Hal ini juga dijelaskan oleh Imam Shadiq mengapa Amirul Mukminin tidak mendakwahkan dirinya sebagai khalifah di saat-saat itu, beliau menjawab karena khawatir orang-orang akan menjadi murtad dan tidak lagi mau mengucapkan syahadat Muhammad itu utusan Allah swt.

“Aku tidak memberikan tanganku selama aku mengkhawatirkan orang-orang akan meninggalkan Islam dan agama Muhammad saw ini akan menjadi hancur. Aku khawatir jika aku tidak membantu kaum muslimin akan muncul perpecahan atau akar agama ini akan berantakan. “

“Aku tahu bahwa diriku lebih berhak menjadi khalifah dari yang lain, dan demi Allah aku lebih memilih keselamatan kaum muslimin dan jika aku yang menerima ketidak adilan, maka aku lebih mendahulukan kesabaran dan diam, karena mengharapkan pahala orang-orang sabar dan lillah ta’ala dan karena menjauhi kekuasaan yang diperebutkan orang-orang.”


Tidak adat satupun yang kukhawatirkan kecuali gelombang manusia yang datang kepadaku seperti binatang rubah sehingga Hasan dan dan Husain terinjak dan kedua ujung bahuku sobek . Mereka berkumpul di sekitarku bagaikan kawanan kambing. Ketika aku ingin bangkit, satu kelompok menghianatiku dan kelompok lain meninggalkaku dan membangkang diriku, seolah-olah mereka tidak pernah mendengar firman Allah yang mengatakan :
Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.

Dalam kesempatan lain imam Ali as menjelaskan tentang prinsip yang sangat penting yaitu :

Ya Allah, Engkau maha tahu jihad dan perjuangan kami itu bukan untuk mendapatkan kekuasaan, pemerintahan atau untuk harta benda. namun kami ingin menghidupkan kembali ajaran-ajaran agama-Mu, kami ingin memperbaiki negeri-Mu, sehingga orang yang teraniaya menjadi aman dan hukum-hukum yang diabaikan dijalankan kembali.

Demi Allah aku lebih menyukai sendal yang tak berharga ini ketimbang kecuali dengan itu aku dapat menegakkan keadilan dan menolak kebatilan!

Demi Allah, aku akan bersabar selama itu tidak mengganggu kesejahteraan kaum muslimin dan bukan sebuah kezaliman kecuali kepada diriku sendiri.

Dalam kesempatan lain Imam Ali menyatakan bahwa kalau orang lain itu tidak seagama denganmu maka mereka juga masih saudara sesama manusia. dalam hadis lain dikatakan bahwa makhluk-makhluk itu adalah ‘iyal-lullah (keluarga Allah). Jika terhadap yang berbeda saja kita dituntut untuk menghormati martabat manusiawinya maka apalagi jika itu sesama muslim.

al-Quran yang mengatakan :
Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat,

..........Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa.......

Ali bin Abi Thalib sebagai imam tidak hanya memberikan keberkatan kepada yang mengikutinya tapi juga kepada yang tidak mengikutinya. dan imam itu adalah wasilah bagi siapa saja untuk meraih kedekatan dengan Allah secara maksimal. Imam tidak hanya memberikan pengetahuan dan bimbingan yang benar tapi juga memberikan teladan dan contoh untuk siapa saja.

Imam Ali mengatakan tamtsil diriku adalah seperti pelita yang menerangi kegelapan yang ada di tengah-tengah kalian. Siapa mendapatkan cahayanya akan menemukan jalan. Aku telah mengarahkan kalian pada jalan yang jelas yang tidak akan membinasakannya kecuali orang yang sudah binasa.

Menurut pensyarah Nahjul Balaghah, Din Parwar :
“Hal penting dari peristiwa di atas adalah yaitu tentang kelayakan dalam menangani tugas dan kepantasan . Imam Ali dengan tegas tidak akan menyerahkan sebuah urusan kepada orang yang tidak layak sekalipun itu akan memperkuat posisinya. Ia tidak memilih orang-orang yang tidak pantas untuk menjadi bagian dari pemerintahnya, tapi di saat yang sama beliau juga tidak ingin menghilangkan kebebasan para penentangnya karena itu beliau membiarkan para penentangnya selama tidak mengganggu stabilitas masyarakat.

Imam Ali telah memberikan contoh terbaik tentang toleransi, kebebasan beragama, perhatian terhadap umat siapapun dengan latar belakang apapun, dan yang lebih penting lagi Imam juga mengajarkan agar siapapun yang ingin menjadi pengikutnya harus berusaha lebih keras untuk menjadi jembatan keberkatan bagi umat. Islam ini bukan hanya untuk kepentingan segelintir kelompok dan mazhab, bukan hanya untuk kepentingan kaum muslimin saja dan juga bukan hanya untuk orang-orang shalih saja, tapi islam adalah rahmat dan keberkatan untuk seluruh manusia, seluruh makhluk, hewan-hewan, pepohonan dan benda-benda yang lain. Marilah kita berdoa sebagaian doa Imam Ali Zainal Abidin yang mengatakan, “Ya Allah aku mohon agar aku bisa mencintai-Mu dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu.”

(Ikmal-Online/STI)

Di Balik Makna Kematian


Oleh: Hasyim Adnan, MA

Selama ini manusia belum bisa memastikan esensi sebuah kematian. Selama ini mereka hanya mendefinisikan semata. Secara umum, kematian adalah keluarnya ruh dari jasad atau tubuh. Namun kematian bagi sebagian ulama didefinisikan sebagai ketiadaan kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa kematian adalah antonim dari kehidupan.

Kemudian menurut M. Quraisy Syihab, agama-agama samawi menyebutkan bahwa kematian adalah awal dari satu perjalanan panjang dalam evolusi manusia, dimana selanjutnya ia akan memperoleh kehidupan dengan segala macam kenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan.

Ragib Isyfahani dikutip oleh M. Quraisy Syihab dalam buku Membumikan Al-Qur’an:

“Kematian merupakan tangga menuju kebahagiaan abadi. Ia merupakan perpindahan dari tempat ke tempat lain, sehingga dengan demikian ia merupakan kelahiran baru bagi manusia. Manusia dalam kehidupannya di dunia ini, dan dalam kematiannya, mirip dengan keadaan telur dan anak ayam. Kesempurnaan wujud anak ayam adalah menetasnya telur tersebut dan keluarnya anak ayam tadi meninggalkan tempatnya selama di dalam telur. Demikian pula manusia, kesempurnaan hidupnya hanya dapat dicapai melalui perpindahannya dari tempat ia hidup di dunia ini, sehingga dengan demikian kematian adalah pintu menuju kesempurnaan, kebahagiaan, syurga yang abadi.”

Lalu Muhammad bin Ali (Al-Baqir) as berpendapat mengenai esensi kematian. Ia berkata: “Ali bin Husain suatu saat pernah ditanya mengenai hakikat kematian. Dia berkata: Bagi yang beriman (kematian itu) seperti melepas pakaian kotor yang dipenuhi serangga kecil seperti melepas pakaian kotor yang dipenuhi serangga kecil serta melepas rantai dan belenggu berat, kemudian menggantinya dengan pakaian paling mewah dan harum serta kendaraan dan rumah yang paling nyaman dan teduh. Bagi kafir, (kematian) ibarat melepas pakaian mewah dengan pakaian paling kotor, kasar, dan pindah dari rumah yang nyaman menuju rumah yang amat sepi serta siksa yang paling pedih.

Dahulu, Imam Muhammad bin Ali (Al-Baqir) as pernah ditanya, “Apakah kematian itu?” Ia menjawab, “Kematian adalah tidur yang kalian alami setiap malam. Hanya saja, yang ini waktunya berlangsung lama. Orang yang tertidur semacam ini baru akan terbangun di hari kiamat.” Hal ini selaras dengan Qs. az-Zumar (39) ayat 42:

“Allah memegang jiwa orang ketika matinya dan memegang jiwa orang yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa orang yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.”

Jadi, esensi kematian adalah suatu keadaan yang menunjukkan keberlanjutan kehidupan. Ia tidak berarti musnah dan hilang, melainkan selalu hidup berlanjut dalam alam yang berbeda. Walaupun mati, kita tetap ada dan hidup, meski di alam yang berbeda. alam yang berbeda inilah yang sering disebut dengan alam barzakh. Sebuah alam medium antara alam dunia dan alam akhirat. Alam ini tentunya memiliki karakteristik dan keadaan yang berbeda dengan alam dunia.

Mulla Shadra mengungkapkan, “Kematian tidak berarti lenyapnya kehidupan. Kehidupan akan terus berlangsung karena kematian hanyalah proses alami pemisah antara kehidupan pada tingkat duniawi dengan kehidupan pada tingkat berikutnya.

Ada sebuah kisah dari Imam Ali. Suatu ketika, ia menjenguk salah seorang sahabatnya yang sedang sakit keras. Sahabatnya itu sungguh ketakutan dan gelisah karena kematian yang akan menjemput dirinya. Imam Ali dengan bijak berbicara kepadanya:

“Wahai sahabatku, sungguh kamu takut mati karena kamu tidak memahami dengan benar. Jika tubuhmu masih berlumuran tanah maka kamu akan merasa sakit, tidak bahagia dan dipenuhi dengan luka, dan kamu telah mengetahui bahwa mencuci di kolam pemandian akan menghilangkan semua kotoran dan rasa sakitmu, lantas apakah kamu tidak ingin membantu dirimu sendiri pergi ke kolam pemandian supaya kotoranmu menjadi bersih?”

Kemudian sahabat yang sedang sakit itu menjawab, “Wahai saudara Nabi, saya lebih memilih mencuci diri saya agar menjadi bersih.”

Imam Ali pun melanjutkan perkataannya, “Ketahuilah bahwa kematian itu adalah laksana kolam pemandian. Ia merepresentasikan kesempatan terakhirmu untuk membersihkan dirimu dari dosa, dan menyucikanmu dari sifat-sifat buruk. Jika kematian datang kepadamu sekarang, pasti kamu akan terbebas dari kesusahan dan rasa sakit, dan mencapai kebahagiaan serta kesenangan abadi.”

Mendengar perkataan imam Ali, sahabat itu berubah menjadi tenang dan bahagia. Bahkan ia menunggu moment-moment agar cepat bisa memandikan diri melalui kematian. Ia pun bertaubat dan berpasrah kepada Allah, kematiannya kian mendekat. Tak lama berselang, ia pun menghembuskan nafas terakhir. Dan ia pun menempati tempat tinggal abadi.

Jadi kematian sebenarnya adalah gerbang yang harus dilalui oleh setiap manusia bahkan oleh setiap makhluk dalam menuju kesempurnaannya.

Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat : bahwa kematian adalah pintu gerbang menuju alam akhirat ( alam keabadian ). Karena alam dunia sesuai dengan asal katanya yadhna yadhnu dunu yang berarti pendek dan dekat ini menunjukkan bahwa dunia bukan kampung keabadian. Karenanya semua kenikmatan apapun yang ada didunia ini tidak akan pernah sempurna dan penderitaan apapun didunia ini tidak akan pernah abadi.

(Ikmal-Online/STI)

Sayyidah Zainab al-Kubra: Kesabarannya seperti permata yang menghiasi jiwanya


Oleh: Wahyu Hidayat

Sayyidah Zainab al-Kubra tumbuh dan berkembang di rumah tempat para malaikat berlalu lalang. Di rumah yang nama-nama suci Allah selalu dikumandangkan, yang para penghuninya merupakan pengejawantahan segala kesempurnaan, kezuhudan, keberanian, kedermawanan, ahklak mulia, penghambaan, keadilan dan segala sifat sempurna lainnya. Kakeknya Rasulullah SAW yang merupakan manusia paling sempurna di alam semesta dan penghulu para nabi , cukup memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan kepribadian beliau. Nabi Muhammad SAW senantiasa memperhatikan para putra dan putri Sayyidah Fatimah Zahra dengan sepenuhnya serta mengasihi mereka.

Sayyidah Zainab al-Kubra demikian Rasulullah SAW memberi Gelar kepada cucunya dengan al-Kubra yang berarti yang besar atau agung merupakan anak dari Sayyidah Fatimah Az-Zahra (Putri Rasulullah SAW) dan Sayyidina Ali Karramallah Wajhah, saudara -saudara Sayyidah Zaenab bernama Sayyidina Hasan dan Sayyidana Husain.

Wanita Mulia yang Lahir tanggal 5 Jumadil Awal tahun 6 Hijriyah ini senantiasa selalu dibawa oleh Rasulullah SAW. Suatu hari sang nabi Rasulullah SAW menggendong Zainab sambil menangis hingga bercucuran air matanya sambil berkata : “Wahai putriku Fatimah ketahuilah bahwa cucuku ini akan ditimpa berbagai musibah dan menghadapi banyak cobaan”, begitupun sewaktu Malaikat Jibril berkunjung ke rumah Rasulullah SAW dan melihat Zainab cucu Rasulullah SAW, Malaikat jibril pun ikut menangis “Aku sedih melihat anak ini yang akan menyaksikan dan menghadapi berbagai macam cobaan dan musibah.” kata Jibril as. Demikianlah Ramalan yang telah digambarkan Rasulullah SAW.

Salah satu gelar termasyhur beliau ialah ‘Aqiilah’. Ibnu Duraid dalam karyanya ‘Jamharotul Loghah’ berkata: “Fulanah Aqiilatul qaum berarti perempuan itu ialah perempuan paling mulia dari kaumnya.” Terdapat kisah tentang Sayyidah Zainab dalam berbagai sumber yang mengisyaratkan tentang kesempurnaan akal beliau. Dalam sejarah disebutkan bahwa pada suatu hari Sayyidah Zainab yang masih kecil bertanya kepada ayahnya, “Ayahku sayang, apakah engkau mencintaiku?” Kemudian Imam Ali menjawab: “Bagaimana mungkin aku tidak mencintaimu, kau adalah buah hatiku”. Lantas beliau berkata lagi: “Ayahku sayang, kecintaan hanyalah untuk Allah SWT sementara kasih sayang untuk kita”.

Dalam riwayat lain pula dijelaskan bahwa suatu hari Imam Ali mendudukkan putrinya Zainab al-Kubra dipangkuannya lalu beliau mengelus-ngelus kepalanya seraya berkata: “Putriku sayang, katakan satu.”“Satu,” timpal beliau. Kemudian Imam Ali melanjutkan ucapannya: “Putriku sayang, katakan dua”. Namun Sayyidah Zainab diam tidak menjawabnya. Lalu Imam Ali mengulangi ucapannya seraya berkata: “Berkatalah wahai cahaya mataku”. Sayyidah Zainab menjawab: “Ayahku sayang, aku tidak dapat mengatakan dua dengan lidahku yang dengannya aku katakan satu.” Mendengar hal itu lantas Imam Ali memeluknya dan menciumnya dengan penuh rasa haru. Kisah di atas menunjukkan kematangan dan kemampuan daya pikir lebih yang dimiliki oleh Sayyidah Zainab . Padahal beliau kala itu masih kanak-kanak. Dalam usia dini beliau dapat memahami bahwa ketika beliau telah mengatakan Tuhan itu Esa maka beliau tidak dapat mengatakan Tuhan itu dua. Dengan kata lain beliau telah memahami kontradiksi antara konsep monoteisme dengan dualisme. Inilah salah satu perwujudan gelar ‘aqiilah (sangat berakal)’ yang disandang Sayyidah Zainab al-Kubra, berupa kematangan dan kecerdasan akal tinggi.

Keutamaan lain yang dimiliki Sayyidah Zainab ialah beliau memiliki ilmu tanpa ada yang mengajari. Imam Ali Zainal Abidin berkata: “Wahai bibiku… engkau berilmu tanpa ada yang mengajarimu dan memahami sesuatu permasalahan, tanpa ada yang memahamkannya/menerangkannya.”

Ilmu merupakan salah satu sumber kesempurnaan, kemuliaan, derajat tinggi bagi manusia sehingga Islam selalu memerintahkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu. Beliau merupakan salah satu perwujudan hadis Rasulullah SAW yang berbunyi: “Ilmu adalah cahaya yang disematkan Allah SWT pada hati orang-orang yang dikehendaki-Nya

Derajat keilmuan beliaupun telah terbukti ketika beliau berdebat dan berdialog dengan Ibnu Ziyad di Kufah. Beliau menjawab dengan tangkas segala pernyataan Ibnu Ziyad. Sampai akhirnya Ibnu Ziyad marah kepadanya, karena setiap ia berkata Sayyidah Zainab dengan tangkas akan mematahkan segala argumennya. Sampai akhirnya Ibnu Ziyad tidak mampu lagi berdialog dengannya dan berkata;“Sumpah demi Tuhan, perempuan ini penyair dan pandai berbicara seperti ayahnya”.

Sejarah juga telah mencatat ibadah beliau digelari dengan (‘Abiidah) yang artinya banyak beribadah. Ibadah wajib maupun nafilah yang tidak pernah beliau tinggalkan meskipun dalam kondisi sulit. Bahkan pada malam Asyura beliau menghabiskan waktunya dengan shalat malam dan bermunajat kepada kekasih sejatinya, Allah SWT. Ketika menggambarkan maqam ubudiyyah Sayyidah Zainab, Imam Ali Zainal Abidin berkata: “Sesungguhnya bibiku Zainab telah mendirikan shalat wajib dan nafilahnya dalam keadaan berdiri. Namun kadang-kadang di sebagian rumah beliau lakukan dalam keadaan duduk. Ketika aku menanyakan sebabnya beliau menjawab: Aku melaksanakan shalat sambil duduk karena rasa lapar dan lemah yang amat sangat. Sebab selama tiga malam aku telah memberikan bagian makananku kepada anak-anak. Dalam sehari semalam, mereka hanya memakan sepotong roti”.

Peristiwa ini terjadi ketika Sayyidah Zainab berada dalam kondisi tertawan dan diarak dari Kufah menuju Syam. Teriknya matahari dan dinginnya malam telah menyiksa beliau dan rombongan tetapi beliau tidak meninggalkan shalat malamnya dalam kondisi sesulit itu.Para ahli sejarah Islamsepakat bahwa Sayyidah Zainab adalah wanita pertama dalam Islam yang ikut berperan dalam panggung politik. Namanya selalu disebut bersamaan dengan tragedi Karbala, salah satu peperangan yang sangat mengerikan dalam sejarah Islam. Tidak ada seorangpun yang mengingkari posisi Sayyidah Zainab dalam tragedi tersebut. Bahkan ada yang menamakannya sebagai Pahlawan Karbala, karena ia adalah satu-satunya wanita yang melindungi para tawanan yang terdiri dari keluarga Bani Hasyim. Dalam posisi genting tersebut, ia siap mengorbankan jiwanya demi membela seorang anak kecil yang sedang menderita, Ali Zainal Abidin bin Husain. Dari peristiwa inilah ia disebut sebagai Ummu Hasyim. Bahkan sebagian sejarawan menambahkan bahwa sikap Sayyidah Zainab setelah peperangan itulah yang menjadikan Karbala sebagai tragedi yang terus dikenang.

Demikianlah, perjalanan hidup Sayyidah Zainab dilalui dengan kesedihan, karena kematian dua orang yang paling ia cintai. Dan pada waktu yang sama, ia harus bertanggung jawab atas saudara-saudaranya, Hasan, Husain dan Ummu Kultsum, sehingga ia pun berposisi sebagai ibu pengganti bagi mereka.

Sayyidah Zainab pernah mendengar dari ayahnya Imam Ali bahwa “Manusia tidak akan pernah mampu mengenal hakikat iman tanpa memiliki tiga hal dalam dirinya; pengetahuan akan agama, kesabaran di tengah kesulitan dan pengelolaan yang baik urusan kehidupannya.” Wanita mulia ini menerima tanggung jawab berat dan sulit, namun kesabarannya seperti permata yang menghiasi jiwanya. Sungguh Sayyidah Zaenab sosok wanita tabah dan teguh yang patut diteladani.

(Ikmal-Online/STI)

Namaku Jihad Mughniyah


Oleh: Dina Y. Sulaeman*

Di era twitter dan facebook, mobilisasi opini publik kerap dilakukan dengan menggunakan tagar (tanda #) yang menunjukkan “kebersamaan”. Ketika ISIS menandai rumah-rumah warga Kristen di Mosul dengan huruf nun (N), muncul gerakan #WeAreN atau “Kami Semua Nasrani”. Gerakan ini menyebar di berbagai negara, diikuti oleh manusia berbagai agama.

Ketika anggota Al Qaida/ISIS membunuh para kartunis di majalah Charlie Hebdo yang kerap menghina Rasulullah, muncul aksi protes besar-besaran mengecam aksi “terorisme atas nama Islam”. Tagar #JeSuisCharlie pun menjadi sangat populer. Bahkan banyak Muslim yang menggunakan tagar itu atau foto bertuliskan Je Suis Charlie (Saya Charlie).

Ketika seorang anak muda bernama Jihad Mughniyah gugur syahid dibom Israel, dari Lebanon muncul gerakan tagar ‪#‎JeSuisJihadMoughniye atau ‏انا_جهاد_عماد_مغنية # (Saya Jihad Mughniyah). Gemanya tidak terlalu besar. Media massa juga tidak ikut membesarkan gerakan ini, sebagaimana mereka secara masif memberitakan #JeSuisCharlie atau #WeAreN.

Hal ini terasa ironis. Jihad yang dilakukan Jihad Mughniyah adalah antitesis dari jihad ala Al Qaida/ISIS. Bila ISIS “berjuang” dengan membantai sesama muslim, Jihad Mughniyah bergabung dalam sebuah jihad yang hakiki. Jihad, ayahnya, dan dua pamannya adalah para pejuang Hizbullah yang gugur syahid dalam perjuangan mengamankan tanah air mereka dari serangan Israel.

Hizbullah dibentuk pada tahun 1982 sebagai organisasi militer perlawanan terhadap Israel yang telah menduduki Lebanon selatan sejak 1978. Pada tahun 2000, akhirnya Hizbullah berhasil mengusir Israel meski hanya dengan bekal senjata minim dan tanpa dukungan dari pemerintah Lebanon sendiri. Tahun 2006, Israel berusaha kembali memasuki wilayah Lebanon selatan. Setelah berperang 34 hari, Israel kembali takluk.

Sejak tiga tahun terakhir, ‘permainan’ berubah. Israel, AS, negara-negara besar Eropa, dan negara-negara Arab, beramai-ramai memberikan dukungan kepada kelompok teroris yang membawa bendera jihad. Para teroris (sebagian media menyebut mereka “jihadis”) itu muncul dalam banyak nama, antara lain ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), Jabhah al Nusra, dan Free Syrian Army. Meski punya banyak nama, dan di antara mereka juga saling berseteru, bahkan saling membantai, semua kelompok teror ini memiliki kesamaan, yaitu: menghendaki tumbangnya rezim Assad; mengeskalasi kebencian terhadap Syiah untuk mencari dukungan publik di seluruh dunia; mendapat dukungan dana, senjata, dan training dari Amerika Serikat (AS), Eropa dan negara Teluk; dan tidak pernah menyerang Israel.

Anggota pasukan “jihadis” sebagian besar justru bukan orang Suriah, melainkan datang dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia dan negara-negara Eropa. Kelompok-kelompok teror itu berafiliasi dengan Al Qaida dan memiliki ideologi yang sama yaitu takfiri-Wahabi, yang menghalalkan pembunuhan terhadap orang-orang yang berbeda dengan mereka. Baik Muslim Syiah, Muslim Sunni, Kristen, Druze, maupun suku Kurdi di Irak dan Suriah tak luput dari aksi bom bunuh diri dan pembantaian yang mereka lakukan secara brutal.

Meskipun awalnya wilayah operasi “jihad” mereka adalah Suriah, namun tak urung Hizbullah terpaksa terlibat. Alasannya jelas, jika Suriah sampai jatuh ke tangan para teroris, target selanjutnya adalah mengacaukan Lebanon dan Iran. Suriah, Hizbullah-Lebanon, dan Iran adalah tiga kekuatan di kawasan yang konsisten melakukan perlawanan baik langsung maupun tidak langsung terhadap Israel; serta memberikan dukungan kepada Palestina.

Tahun 2006 Hizbullah disanjung-sanjung oleh kaum muslimin, baik Sunni maupun Syiah, karena dengan sendirian mampu mengalahkan Israel yang didukung peralatan tempur paling canggih buatan AS. Tahun 2006 Hizbullah disebut-sebut ‘menyelamatkan muka kaum Arab’ karena hanya dalam 34 hari, mampu memukul mundur Israel. Namun sejak Perang Suriah, Hizbullah dikecam habis-habisan oleh publik pro-teroris (yang berkedok jihadis).

Yang dihadapi Hizbullah di Suriah secara lahiriah memang muslim yang mengaku bermazhab Sunni. Namun sejatinya mereka bukan Sunni, melainkan kaum takfiri – Wahabi yang sedang menari bersama genderang Israel. Sudah terlalu banyak bukti foto dan video yang memperlihatkan para teroris sedang dirawat di rumah sakit Israel, bahkan bersalaman dengan Netanyahu, adanya ulama-ulama Wahabi yang menyatakan berterima kasih kepada Israel, adanya politisi dan jenderal AS yang melakukan pertemuan dengan para pemimpin kelompok teror, dan suplai senjata dari AS, Israel dan Eropa, dan yang terbaru, AS dan Perancis terang-terangan mengirimkan ratusan tentaranya ke Suriah.

Nama Jihad Mughniyah mulai dikenal publik pada tahun 2009. Dia muncul di hadapan ratusan ribu orang yang menghadiri peringatan satu tahun gugurnya Imad Mughniyah akibat bom Israel. Berikut kutipan orasi Jihad:
“Aku Jihad Imad Mughniyah, anak komandan dan mujahid besar. ...Sejak aku membuka mata, yang kulihat adalah senjatanya. Sejak aku dalam dekapannya, aku harus berpindah dari satu bunker pertahanan ke bunker yang lain. Aku melalui masa kecilku bersama ayahku, bersama bahaya yang selalu mengintai. Namun ayahku adalah simbol kasih sayang. Sekalipun ia memiliki banyak beban, ia selalu melimpahi kami kasih sayang. ...Aku nyatakan, aku adalah bagian dari keluarga syuhada. Dua orang pamanku, Fuad dan Jihad, telah lama menjadi bagian dari syuhada. Kini, ayahku pun mendapat kehormatan sebagai syahid.”

Lalu, tibalah hari duka cita itu. Pada tanggal 18 Januari 2015, Jihad bersama enam orang lainnya, termasuk seorang jenderal Iran, Mohammad Ali Allahdadi, gugur syahid akibat dibombardir sebuah helikopter Israel. Saat itu mereka berada di dalam sebuah konvoi di Quneitra, sebuah wilayah di Suriah, dekat Gola. Mengapa mereka harus berada di Suriah? Tentu saja, dalam rangka berjuang menumpas ISIS, yang kini sedang dimusuhi dunia gara-gara membunuh sejumlah kartunis di Paris.

Jihad Mughniyah adalah korban ISIS. Sama seperti para kartunis Charlie Hebdo. Namun beda di antara mereka bagaikan langit dan bumi. Jihad berjuang untuk mengamankan tanah airnya dan membela rakyat Suriah yang sedang dihancurleburkan oleh ISIS. Sementara Charlie meraih popularitas karena mengolok-ngolok Nabi Muhammad. Meskipun kaum Muslim yang berakal sehat memang harus mengecam pembantaian terhadap Charlie Hebdo, namun pembelaan yang lebih hakiki seharusnya diberikan kepada Jihad. Mari katakan, Je Suis Jihad Mughniyah.

*kandidat doktor Hubungan Internasional Unpad

(Ikmal-Online/STI)

Mendidik Anak Usia 0-7 Tahun Berdasarkan Riwayat Ahlul Bait


Oleh: Ustadzah Euis Daryati, M.A.

Diriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, "Seorang anak adalah tuan pada usia 7 tahun pertama, hamba sahaya pada usia 7 tahun kedua, dan menteri pada usia 7 tahun ketiga. Jika engkau merasa puas (sesuai harapan) pada akhlaknya pada usia 21 tahun, jika tidak (sesuai harapan akhlaknya) maka pukullah bagian samping tubuhnya, dengan itu engkau telah menyampaikan uzur di hadapan Allah SWT."

Dalam kesempatan ini saya akan menjelaskan mengenai pendidikan anak usia 7 tahun pertama. Anak-anak usia 7 tahun pertama itu karena faktor kematangan fisik, mental, dan lain-lain, memang harus banyak dilayani. Dari sisi ini, memang ia bagaikan seorang tuan. Tak heran bila anak kecil ‘memerintah’ ibunya, “Ummi, mau makan!”

Tapi apa seorang 'tuan' diperbolehkan berbuat sewenang-wenang? Apakah kita harus memanjakan anak dan membiarkannya melakukan apa saja yang dikehendakinya? Bila kita melihat kepada riwayat-riwayat Ahlul Bait, kita akan menemukan jawaban dari pertanyaan ini.

Seseorang mengadukan perihal anaknya kepada Imam Kadzim as. Beliau berkata, "Janganlah engkau memukulnya, diamkanlah (tidak diajak bicara sebagai hukumannya), tapi jangan berlama-lama mendiamkannya."

Diriwayatkan oleh Ali bin Atsbat, yang mengatakan bahwa Rasulullah melarang mendidik dalam keadaan marah.

Artinya, orang tua tidak boleh mendidik anak dengan kemarahan, apalagi kekerasan. Namun, juga tidak berarti membiarkan saja perilaku buruk anak. Seperti diceritakan seorang akhwat, dalam sebuah majelis, ada anak kecil yang ‘nakal’, dia melakukan berbagai ulah yang membuat kotor ruangan. Si ibu terlihat kalem saja dan sama sekali tidak menegur anaknya. Rupanya ibu itu merasa sedang mematuhi hadis Nabi tentang "memperlakukan anak usia 7 tahun pertama sebagai tuan". Tentu ini tidak tepat. Ortu tetap harus mengenalkan ‘hukuman’ saat anak melakukan kesalahan. Namun hukumannya bukan pukulan, melainkan dengan ‘mendiamkan’-nya. Ibu bisa mengatakan, “Adek, Ummi nggak mau main sama Adek kalau Adek terus membuang-buang makanan.”

Mendidik Akhlak Sejak Dini

Imam Ali as berkata kepada Imam Hasan as, "Sesungguhnya hati anak itu seperti tanah yang kosong, apa saja yang dilemparkan ke dalamnya akan menerimanya. Karen itu aku bersegera mndidikmu dengan adab, sebelum hatimu mengeras dan akalmu menjadi sibuk karena berbagai urusan (Nahjul Balaghah).

Hadis ini juga bisa menjadi pegangan bahwa menyegerakan untuk menanamkan nilai-nilai dan aturan-aturan kepada anak sejak dini. Karena, mendapatkan anak yang berkarakter baik, sholeh atau sholehah itu tidak instan. Perlu proses secara perlahan dan konsisten sejak dini, sebelum dipengaruhi oleh nilai-nilai buruk dari lingkungan. Namun tentu metode dan cara menanamkan nilai dan aturan itu berbeda-beda sesuai tuntutan usia. Contohnya saja, apakah mendidik anak usia 4 tahun untuk sholat tentu berbeda dengan anak usia 8 tahun. Anak usia 4 tahun harus diajak sholat dengan berbagai teknik yang kreatif dari ibu dan ayah. Misalnya, untuk anak perempuan, belikan mukena dan sajadah yang lucu, dijanjikan akan didongengi setelah sholat, dll.

Selain itu, ada kata mutiara yang masyhur "belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu." Yang dimaksud belajar di sini tentunya bukan belajar formal saja, tapi termasuk juga penanaman nilai dan akhlak. Jika kita mendidik karakter anak sejak kecil, insya Allah akan berbekas hingga dewasa. Sebaliknya, karakter buruk yang dipelajarinya sejak kecil, juga akan menempel hingga dewasa. Itulah sebabnya orang tua perlu sangat waspada dalam mendidik anak pada usia dini. Jangan sampai anak dibiarkan tanpa pengarahan, karena akibatnya akan membekas sampai tua.

Selain itu, anak usia 7 tahun pertama harus dididik sesuai kondisi kejiwaan anak pada usia itu, yaitu jiwa bermain yang sangat dominan. Masa kecil adalah masa di mana anak harus bermain. Melalui bermain-lah dia mempelajari banyak hal. Jadi, orang tua dalam mengajari anaknya, penting sekali menggunakan media bermain. Misalnya, menghafal Quran sambil bermain tebak-tebakan: “Hayo surah apa yang diawali huruf qaf?” Anak yang tidak dibiarkan bermain, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang hatinya kering. Tak heran bila ada julukan “masa kecil kurang bahagia" terhadap orang-orang dewasa yang tingkahnya bak anak-anak, misalnya sikut-sikutan karena berebut jabatan duniawiah, atau tak bertanggung jawab atas urusan keluarganya.

Pentingnya bermain bagi anak, juga disampaikan Imam Shadiq as. Beliau berkata,"Anak itu biarkan bermain pada usia 7 tahun pertama.”

Ayatullah Jawadi Amuli memberikan penafsiran menarik atas surat Al Hadid ayat 20. Beliau menafsirkan ayat berikut sebagai fase-fase kehidupan manusia secara kejiwaan, "Sesungguhnya kehidupan dunia itu permainan (laibun), hura-hura (lahwun), perhiasan(zinatun), saling membanggakan (tafakhur), mengumpulkan harta dan anak.”

Dengan kata lain, dalam ayat ini dijelaskan faktor-faktor apa yang mendominasi kejiwaan manusia pada setiap fase hidupnya:
Laibun: masa kanak-kanak adalah masa bermain. Kita melihat mereka main masak-masakan, bermain peran sebagi ibu dan ayah, perang-perangan, dll. Jangan dianggap ini semua sia-sia. Justru, permainan merupakan pembelajaran hidup bagi anak-anak.

Lahwu : masa remaja, dimana secara kejiwaan mereka cenderung hura-hura.

Zinatun : peralihan masa remaja ke dewasa, dimana mereka lebih cnderung ingin menonjolkan penampilan fisik dan kecantikan.

Tafakhur : adalah ketika manusia berumah tangga, satu sama lain saling membanggakan benda-benda, anak, dan harta yang dimiliki

Fase terakhir adalah ketika manusia menjadi tua, dan ia telah mengumpulkan anak-cucu dan harta.
Tentu saja, manusia yang selamat adalah mereka yang tidak akan membiarkan jiwanya didominasi oleh hal-hal buruk.

Khusus tentang masa bermain, mari kita ingat hadis Rasulullah. Beliau bersabda,"Barangsiapa yang punya anak kecil maka berperilakulah seperti ank kecil."

Rasulullah juga pernah bersabda, "Kelincahan (kenakalan) di waktu kecil menunjukkan kebijaksanaa di waktu dewasa.”

Hadis ini bisa dimaknai bahwa ketika berinteraksi dengan anak, ortu perlu bersikap lincah, penuh canda tawa, dan gemar bermain, seperti layaknya anak-anak. Ortu juga harus memandang ‘kenakalan’ anak sebagai bentuk kecerdasan. Jangan marah ketika anak mencoret dinding. Justru saat itu dia sedang berkreasi. Arahkan saja agar anak mencoret di kerta yang disediakan, atau tempellah dinding dengan kertas supaya anak leluasa mencoret dan berkreasi. Imam Khomeni pernah berkata bahwa aturlah rumahmu sedemikian rupa hingga tidak mengekang rasa ingin tahu anak. Maksudnya, jauhkan barang-barang yang berbahaya, atau barang mahal yang mudah rusak. Jangan sampai hanya karena kuatir atas keselamatan barang, lalu anak dilarang melakukan ini-itu dan berkreativitas.[]

(Ikmal-Online/STI)

Kepemimpinan Nasional: Harapan dan Kekecewaan


Oleh: Husein Alkaff

Merenungkan masalah bangsa memerlukan kearifan dan menuntut disiplin berpikir sistemik. Tak ada satu pun persoalan bangsa yang terlepas dari persoalan yang lain. Hubungan antar perkara itu dapat bersifat positif (membawa perbaikan) atau negative (memperparah keadaan). Karena itulah kecermatan bekerja dan keluasan wawasan pada segenap komponen bangsa diperlukan. Jangan sampai para pemimpin bangsa terjebak pada sikap parsial atau sektoral, bukan memecahkan keseluruhan masalah, malah menanam bom waktu yang suatu saat bisa meledak dengan dahsyat.

Ada sebuah adagium yang berbunyi “pemimpin adalah produk masyarakatnya “.Perlakuan rakyat terhadap pemimpinnya adalah refleksi sikap budaya itu. Karena warisan budaya yang kuat, masyarakat kita sangat bergantung pada pemimpinnya. Pemimpin menjadi tumpuan dan harapan mereka satu-satunya. Sering kali masyarakat berharap munculnya ratu adil (satrio piningit) di tengah mereka yang dapat membebaskan mereka dari keterpurukan dan kesulitan. Pemimpin nasional dipaksa menjadi setengah dewa sehingga tercerabut dari bingkai kemanusiaannya. Karena itu, kharisma dan harapan setinggi langit disandangkan kepadanya. Ketika aspek kemanusiaan dari seorang pemimpin itu muncul dan keterpurukan tidak kunjung hilang, maka caci-maki dan sumpah-serapah dilontarkan kepadanya. Siapa menabur harapan maka akan menuai kecewa. Sesungguhnya pemimpin nasional bukan datang dari langit dengan kekuatan superanatural bukan pula ratu adil. Pemimpin nasional muncul dari sistem sosial-politik yang ada dengan mekanisme dan aturan main tersendiri. Pemimpin adalah bagian dari masyarakat dan muncul dari dalam masyarakat dengan segenap konteksnya.

Dalam konteks kepemimpinan nasional dewasa ini dan dari sejak bergulirnya roda reformasi pada tahun 1998 telah terjadi pergantian beberapa kali kepemimpinan nasional di Indonesia; mulai dari Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan sekarang presiden Joko Widodo. Reformasi yang sejatinya memberikan harapan bagi rakyat Indonesia yang telah hidup lelah dan bosan dengan gaya ORBA ternyata belum mampu mewujudkan harapan mereka kecuali dalam kebebasan berpolitik. Namun secara umum, kemunculan pemimpin nasional di era reformasi ini masih jauh dari harapan mereka. Hal ini dikarenakan berbagai permasalahan yang masih menggelanyut pemerintahan Indonesia yang sangat komplek, bak benang kusut yang sulit diurai. Dan itu merupakan warisan dari era kepemimpinan ORBA yang sangat panjang, tiga puluh dua tahun.

Belum genap seratus hari Jokowi berkuasa sudah mulai muncul tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dia tidak seperti yang diharapkan oleh para pemilihnya. Rakyat yang memilihnya siap-siap untuk kecewa. Dari kasus-kasus yang berkaitan dengan penegakan hukum ( Misalnya, KPK vs POLRI) masalah ekonomi yang cukup menyengsarakan rakyat kecil (Misalnya, kenaikan BBM dan listrik), kenyamanan dalam berbangsa dan kerukanan sosial ( Misalnya, kenakalan remaja dan arogansi kelompok atas kelompok yang lain) dan NARKOBA. Meskipun demikian, harus diakui bahwa terdapat beberapa kebijakan dan sikap pemerintahan Jokowi yang patut diacungi jempol dan telah mewujudkan sebagian harapan rakyat.

Bagaimanapu juga, baik Habibie maupun Jokowi serta pemimpin-pemimpin lainnya adalah manusia yang dipilih oleh rakyat. Mereka bukan dewa yang turun dari langit. Mereka adalah produk kita, rakyat Indonesia dan bagian dari kita serta cermin dari kita. Para pemimpin nasional tidak bekerja sendirian. Mereka dibantu oleh para menteri beserta bawahan-bawahan mereka, juga dilengkapi oleh dewan legislative sebagai pengontrol. Kebaikan mereka adalah kebaikan kita, dan kejelekan mereka adalan kejelekan kita. Dengan kata lain, kebaikan dan kejelekan mereka adalah kebaikan dan kejelakan rakyat yang mereka pimpin, karena presiden dan para wakil rakyat dipilih oleh rakyat. Rakyat telah melakukan pilihannya, dan itu sebuah karunia yang besar, tapi mereka belum melakukannya dengan baik. Selama rakyat ini belum pandai memilih presiden, pemimpin daerah dan wakilnya, maka selama itu pula harapan mereka jauh dari kenyataan.

Sebagai komunitas yang kecil dan pemilik suara yang sedikit, para pengikut Ahlul Bait boleh-boleh saja menggunakan hak suara mereka dan menentukan pilihan yang menurut mereka baik, tapi tidak perlu berharap banyak dari siapapun yang terpilih; meskipun dia itu pilihan mereka. Kalau saja suara mereka berpengaruh, maka suara mereka pasti menguntungkan kontestan. Setelah kontestan mereka terpilih belum tentu dia melakukan apa yang diharapkan oleh mereka. Kata orang, dalam dunia politik tidak ada lawan dan teman abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi. Kontestan yang terpilih sudah mendapatkan keuntungan dari suara mereka, sementara mereka belum tentu mendapatkan apa-apa darinya;baik kepentingan komunitas maupun kepentingan bangsa secara umum. Lebih dari itu, dukungan yang berlebihan pada pilihan mereka bisa menjadi sebab tumbuhnya permusuhan sektarian dari pihak-pihak yang berseberangan dengan pilihan mereka. Mungkin ucapan Imam Ali as. cocok untuk kondisi mereka dalam ranah politik, “ Dalam kekalutan yang penuh fitnah jangan lah seperti anak unta yang belum mempuyai punggung yang dapat dinaiki dan susu yang dapat diperah “.

Menurut hemat saya, komunitas kecil ini tidak perlu terlibat secara serius dalam kancah politik praktis dan menaruh harapan secara berlebihan pada siapapun yang akan menakhodai negeri ini. Yang terpenting bagi mereka adalah apa yang bisa mereka lakukan demi kebaikan negeri ini meski dalam ruang lingkup yang terbatas. Banyak ladang kebaikan yang dapat digarap untuk memajukan negeri ini sekaligus menguntungkan mereka; kebaikan yang bisa menjadi benteng mereka dari pihak-pihak yang selalu meniupkan kebencian dan permusuhan sektarian, seperti pendidikan, layanan sosial, bantuan hukum, ekonomi kerakyatan dan lain sebagainya. Berkiprah dalam ladang-ladang seperti ini dalam jangka panjang akan membantu negeri ini dari keterpurukan moral, politik dan ekonomi. Melalui pendidikan yang benar dan baik, rakyat menjadi cerdas dan bersikap rasional sehingga dengan sendirinya dan lambat laun akan muncul pemimpin harapan bangsa.

Wallahu a’lam

(Ikmal-Online/STI)

Sirah Perdebatan Imam Ali bin Musa al-Ridha as


Hari kelahiran Imam Ali bin Musa al-Ridha as, cucu suci Rasulullah Saw. Seorang pemimpin yang lebih dari 1.000 tahun lalu telah menginjakkan kaki ke Persia dan kehadirannya membanjiri hati hari pecinta Rasulullah Saw dan Ahlul Bait Nabi as dengan suka cita dan kegembiraan.

Gelombang manusia yang berziarah ke makam Imam Ali al-ridha as, mengingatkan masa-masa ketika beliau bergerak dari Madinah menuju Marv, salah satu wilayah Persia (Iran saat ini). Warga kota Marv telah beberapa hari sebelumnya mempersiapkan diri menyambut kedatangan manusia mulia itu.

Ketika rombongan Imam Ali al-ridha as tiba di Marv, suka cita bercampur dengan air mata kerinduan masyarakat tidak dapat terbendung lagi. Masing-masing orang menyampaikan kerinduan dan kecintaan meeka dengan berbagai cara. Sambutan masyarakat sedemikian rupa sehingga membuat rombongan Imam Ali al-ridha as terpaksa berhenti. Semua orang ingin menatap wajah cucu Rasulullah Saw itu dan mendengarkan suaranya. Kesempatan itu pun tidak disia-siakan Imam untuk berpidato.

Dalam suasana yang mendadak hening, Imam Ali al-ridha menyampaikan hadis qudsi di mana Allah Swt berfirman kepada Rasulullah Saw, dan berkata: “Kalimat tauhid yaitu tiada tuhan selain Allah (Swt) adalah benteng-ku dan barang siapa yang memasuki benteng-Ku, maka akan terjaga dari azab-Ku.”

Setelah mengutip hadis tersebut, Imam Ridho as memperkenalkan diri sebagai syarat untuk masuk dalam benteng itu dan mengatakan, “Namun dengan memperhatikan syarat-syaratnya dan aku termasuk di antara persyaratan itu.” Dengan demikian, Imam Ali al-ridha as telah menjelaskan peran poros Ahlul Bait as dalam kepemimpinan umat Islam.

Imam Ali al-ridha as lahir pada tahun 148 hijriah di kota Madinah. Di bawah binbingan ayah beliau, Imam Musa al-Kadzim as, beliau siap memikul tanggung jawab berat itu. Imam Ali al-ridha as, adalah mata air ilmu dan keutamaan. Amal dan kata-kata beliau penuh dengan keridhoan atas Allah Swt. Oleh karena itu, beliau diberi gelar al-Rhido.

Beliau memikul tanggung jawab imamah selama 20 tahun yang sebagian besarnya dihabiskan di Madinah dan tiga setengah tahun terakhir masa hidupnya di kota Marv, Khurasan (Iran saat ini). Beliau meninggalkan Madinah atas paksaan penguasa Bani Abbasiah kala itu, Ma’mun.

Kala itu Marv merupakan pusat ilmiah di tanah Khurasan. Imam Ali al-ridha as menggunakan keunggulan tersebut untuk meningkatkan gerakan ilmiah. Di lain pihak, Ma’mun berusaha tampil dekat dengan Imam Ali al-ridha demi kepentingan politiknya. Namun pada saat yang sama, dia selalu berusaha mencoreng keutamaan ilmu Imam Ali al-ridha as dengan menggelar berbagai acara debat. Akan tetapi Imam dalam setiap sesi perdebatan, selalu menang dan bahkan mempengaruhi para ilmuwan yang hadir, dengan argumentasinya yang kokoh.

Islam adalah agama yang menyambut berbagai pertanyaan dan tidak pernah tercatat dalam sejarah bahwa para imam Ahlul Bait as tidak menjawab pertanyaan yang dikemukakan kepada mereka. Imam Ali al-ridha as, berperan penting dalam perluasan budaya Islam. Dalam berbagai acara debat, Imam selalu mempertimbangkan hidayah dan bimbingan untuk lawan dan tidak berusaha untuk selalu menang. Beliau membuktikan kebenaran keyakinan Islam dengan menggunakan argumentasi logis yang kokoh. Imam berkata, “Jika masyarakat memahami keindahan ungkapan kami maka mereka pasti akan mengikuti kami.” Dan terbukti betapa banyak musuh-musuh yang akhirnya menjadi teman di akhir acara perdebatan.

Imam Ali al-ridha as yang menguasai teknik-teknik argumentasi, selalu mempertimbangkan setiap dimensi. Pertimbangan atas tingkat budaya di masa itu dan penyesuaian istilah-istilah yang digunakan, semuanya harus sesuai dengan kemampuan logika dan pemikiran lawan debat.

Terkadang dalam berdebat dengan para ilmuwan Imam Ali al-ridha as, menekankan pada berbagai sisi dan argumentasi yang juga diterima oleh lawan debat. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah soal debat antara Imam Ali al-ridha as dan para tokoh Kristen dengan menggunakan argumentasi kitab Injil dan juga dalam pembahasan dengan tokoh Yahudi dan menggunakan argumentasi dari kitab Taurat.

Meski memiliki tingkat keilmuwan tinggi, akan tetapi Imam tidak merendahkan lawan debat beliau. Imam selalu menjaga kehormatan pihak seberang meski sebagiannya tidak beragama. Jika perdebatan sampai pada titik di mana pihak lawan tidak lagi bisa menjawab, beliau membimbingnya atau mengutarakan sebuah pertanyaan sehingga pembahasan mereka menghasilkan. Bahkan terkadang beliau menjawab pertanyaan lawan dengan mengatakan, “Jika kau bertanya seperti ini maka pendapat kamu sendiri akan tertolak.”

Di antara lawan debat Imam Ali al-ridha as, adalah seseorang bernama Amran Sabi, yang tidak meyakini adanya Allah Swt, di mana setelah menyaksikan sikap dan argumentasi Imam, dia beriman kepada Allah Swt dan memeluk agama Islam. Sepanjang perdebatan, Imam memanggil Amran dengan nama kecilnya sehingga dengan demikian terjalin keakraban dan tercipta suasana santai. Selama tanya jawab berlangsung, Imam ketika menjawab pertanyaan Amran Sabi beliau mengatakan, “Wahai Amran, apakah kau paham?” Sikap itu sedemikian rupa sehingga Amran juga memberikan jawaban secara terhormat dan mengatakan, “Iya, tuanku.”

Tujuan dan maksud para pendebat adalah harus sampai pada hakikat yang jelas dan tak tergoyahkan. Itu hanya dapat tercapai ketika perdebatan jauh dari fanatisme dan permusuhan. Imam Ali al-ridha as dengan akhlak yang mulia, tidak menuding lawan beliau telah berbohong dan juga tidak pernah menistakan atau merendahkan mereka. Melainkan beliau selalu mengingatkan titik kekeliruan dan penyimpangan mereka. Beilau tidak pernah mengkritisi individu melainkan mengkritisi masalah pembahasan.

Perdebatan Imam Ali al-ridha as, membawa banyak berkah untuk dunia Islam termasuk di antaranya adalah menunjukkan citra kebebasan dalam Islam. Imam telah mematahkan klaim dan kebohongan banyak pihak bahwa Islam memaksakan kehendak dan menghunuskan pedang kepada para penentangnya. Namun tampilnya Imam Ali al-ridha as, telah jelas bagi semua orang bahwa Islam menyambut perbedaan pendapat bahkan meski dari pihak yang menafikan tauhid dan menentang Islam.

Termasuk di antara berkah dan manfaat perdebatan Imam al-ridha as, adalah membuka lahan yang kondusif bagi penyebaran risalah Islam dan perluasan khazanah ilmu Islam, serta jawaban tegas secara ilmiah kepada para penentang Islam. Metode-metode dakwah Imam Ali al-ridha as dalam berbagai acara perdebatan memiliki pengaruh yang luar biasa untuk menyingkap penyimpangan anti-Islam dalam masyarakat, sekaligus menjelaskan posisi luhur Ahlul Bait as.

Dalam acara-acara perdebatan itu dan di antara para penentang Islam, Imam Ali al-ridha as menggalang sahabat yang setia, seperti Amran Sabi, yang juga pada akhirnya menjadi pembela agama Allah Swt. Sirah perdebatan Imam Ali al-Ridha as merupakan teladan dalam dialog konstruktif yang merefleksikan nilai-nilai akhlak, rasionalitas dan argumentasi untuk mencapai hasil yang lebih baik dan lebih efektif. (IRIB Indonesia)

(IRIB-Indonesia/Ikmal-Online/STI)

Penyalahgunaan Media Oleh Kelompok-Kelompok Radikal


Disampaikan dalam Seminar ; KEMENTRIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

"Persatuan dan Kebersamaan: Solusi Menanggulangi Radikalisme”
ASPEK REGULASI
  1. 1. Amandemen ke empat UUD 1945  memberikan kebebasan akan tetapi hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan.
Pada Pasal 28 J ayat (1) diatur bahwa setiap orang wajib menghormati ha asasi orang lain
Pasal 28 J ayat (2) selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam Undang-Undang.

  1. 2. UU No: 36 Tahun 199 tentang Telekomunikasi
Pasal 21 : “Penyelenggara Telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan atau ketertiban umum”
  1. 3. UU No: 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Pasal 40 ayat (2) : “Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”
  1. 4. PERATURAN MENTERI No: 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif
Peratuan ini secara progressive dilakukan perbaikan misalnya dengan adanya Panel Penilai
KRONOLOGIS PEMBLOKIRAN
□        Kominfo melaksanakan pemblokiran pertama kali sejak kasus video porno artis pada tahun 2010.
□        Sejak tahun 2011, Kominfo menerima aduan dari masyarakat terkait dengan konten/situs internet bermuatan negatif.
□        Mulai pada tahun 2012, Kementerian/Lembaga negara mulai mengirimkan aduan terkait situs internet bermuatan negatif sesuai dengan sektor-nya untuk dilakukan pemblokiran oleh Kominfo. Kementerian/Lembaga yang pernah mengirimkan aduannya antara lain:
  • Kepolisian melaporkan situs-situs perjudian dan penipuan serta pornografi;
  • BPOM melaporkan situs-situs penjualan obat ilegal;
  • Bapebbti dan OJK melaporkan situs-situs investasi ilegal;
  • BNP2TKI melaporkan situs palsu BNP2TKI;
  • BNPT melaporkan situs-situs terorisme dan SARA.
  • Sampai saat ini Kominfo sudah melakukan pemblokiran sebanyak 814.594 situs.
  • Pada tahun 2015, hingga kini sudah dilakukan pemblokiran berdasarkan laporan dari masyarakat dan Kementerian/Lembaga sebanyak 78 situs (termasuk situs yang dilaporkan oleh BNPT terkait terorisme dan SARA) dan 78 video (di youtube) terkait ISIS/IS, dan melakukan normalisasi terhadap 13 situs.
PROSEDUR PENANGANAN SITUS NEGATIF
PERMEN KOMINFO NO.19 Tahun 2014
Pasal 4
(1)    Jenis situs internet bermuatan negatif yang ditangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, yaitu:
  1. Pornografi; dan
  2. Kegiatan ilegal lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(2) Kegiatan ilegal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 5
(1)    Masyarakat dapat mengajukan pelaporan untuk meminta pemblokiran atas muatan negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a kepada Direktur Jenderal.
(2)    Kementerian atau Lembaga Pemerintah dapat meminta pemblokiran situs internet bermuatan negatif yang sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 kepada Direktur Jenderal.
(3)    Lembaga Penegak Hukum dan atau Lembaga Peradilan dapat meminta pemblokiran situs bermuatan negatif sesuai dengan kewenangannya kepada Direktur Jenderal.
(4)    Masyarakat dapat melaporkan situs internet bermuatan negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4ayat (1) huruf b kepada kementerian atau lembaga pemerintah terkait.
Pasal 10
Pelaporan dari masyarakat dapat dikategorikan sebagai pelaporan mendesak apabila menyangkut:
  1. Privasi;
  2. Pornografi anak;
  3. Kekerasan;
  4. Suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA); dan/atau
  5. Muatan lainnya yang berdampak negatif yang menjadi keresahan masyarakatsecara luas.
Pasal 11
(1)    Permintaan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) harus telah melalui penilaian di kementerian atau lembaga terkait dengan memuat alamat situs, jenis muatan negatif, jenis pelanggaran dan keterangan;
(2)    Permintaan pemblokiransebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pejabat berwenang kepada Direktur Jenderal, dengan dilampiri daftar alamat situs dan hasil penilaian;
FORUM PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF
  • Dengan melihat potensi dan eskalasi semakin banyaknya dan maraknya muatan internet yang bersifat negative, maka Kementerian Kominfo sejak awal Januari 2015 telah merencanakan pembentukan Forum Penanganan Situs Internet yang di dalam nya terdapat Panel-Panel Penilai.
  • Forum ini dibentuk dengan mengedepankan .
    • meningkatkan governance
    • meningkatkan partisipasi masyarakat
    • Meningkatkan perlindungan kekayaan interlektual khususnya hak cipta
    • Keterlbatan dalam menilai, mempertimbangkan dan memberikan rekomendasi/keputusan penilaian.
    • Pada tanggal 31 Maret 2015 Pembentukan Forum telah disahkan melalui Keputusan Menteri No. 290 tentang Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif
    • Pertemuan awal forum telah dilaksanakan pada tanggal 6 April 2015.
    • Forum melibatkan prominent persons di bidangnya baik dari masyarakat maupaun dari lembaga terkait.
    • Pertemuan awal memberikan pandangan pentingnya adanya Forum ini
    • serta terdapat beberapa yang menjadi kesimpulan yaitu Keterlibatan dalam menilai, mempertimbangkan dan memberikan rekomendasi/keputusan penilaian.
    • Kesimpulan dalam pertemuan Forum yaitu
      • Apapun kegiatan dalam pelaksanaan pemblokiran harus dilakukan dangan pendekatan hukum
      • Kriteria-kriteria kategori konten negatif  akan dibahas di setiap Panel
      • Kriteria yang dimaksud emergensi (mendesak) akan dibahas secepatnya oleh Panel-Panel.
      • Terkait dengan Permen 19, bahwa permen ini masih berlaku meskipun perbaikan governance nya ditingkatkan.
      • Penambahan anggota Forum sesuai dengan keterlibatan yang dibutuhkan.
PANEL TERORISME, SARA, DAN KEBENCIAN
  • Salah satu panel adalah Panel 2: Terorisme, SARA, dan Kebencian
  • Panel ini terdiri dari para pakar dibidang sosial budaya, tokoh kerukunan antar umat beragama, instansi terkait, dan lembaga non pemerintah terkait (kalangan jurnalis, lembaga swadaya masyarakat).
  • Panel telah melakukan pertemuan untuk membahas lingkup, kriteria, dan mekanisme
  • Beberapa pertimbangan yang dikedepankan:
    • Mengacu kepada aturan hukum yang jelas dan aturan hukum tersebut dapat diakses semua orang
    • Mengacu pada penghormatan pada hak-hak asasi manusia, misalnya perlindungan nama baik, keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau moral masyarakat
    • Propaganda yang merangsang peperangan, menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama  sebagai hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan.
    • Seyogyanya bisa membuktikan bahwa pemblokiran dilakukan dengan cara yang seminimal mungkin sepanjang memungkinkan
    • Adanya mekanisme pengajuan keberatan atas pemblokiran
Dari setiap situs yang dibahas dan dinilai untuk konten negatif tertentu perlu dikaitkan terhadap peraturan perundang-undangan yang mendasari pelanggarannya.
Terdapat 3 (tiga) tingkatan berkenaan dengan isu Terorisme, SARA, dan Kebencian, yaitu:
  1. Menyebarkan berita bohong terhadap kelompok tertentu, masih merupakan kategori HIJAU
  2. Ajakan pada sikap tertentu, provokasi, merupakan kategori KUNING
  3. Ajakan pada tindakan tertentu, mobilisasi dana, orang, merupakan kategori MERAH
Situs Emergency
  • Situs yang termasuk emergency adalah situs yang masuk kategori MERAH
Mekanisme Kerja
  • Permintaan emergency akan dibahas / diinformasikan melalui grup anggota Panel, kemudian akan dilakukan pertemuan jika memang diperlukan
  • Mekanisme kerja Panel lain disertakan sebagai referensi
  • Tim manajemen menyiapkan bahan untuk dianalisis
(Ikmal-Online/STI)

Benang Merah di Balik Berita-Berita Internasional


Oleh: Salman Fadhlullah, MA

Tragedi Mina-Arab Saudi, bergabungnya beruang merah dalam perang Suriah, serangan brutal Israel, kekejaman ISIS, depresi mata uang Yuan, ketidak pastian suku bunga Bank Sentral As (The Fed), Tragedi 11 september dan berita lain yang mengguncang dunia memiliki tingkat kesamaan dalam mempengaruhi psikologi manusia. Dunia adalah global village yang terkoneksi satu sama lain dengan cepat dan mudah. Apapun yang terjadi di belahan dunia lain akan menjadi perhatian negara manapun jika itu memenuhi syarat-syarat untuk menjadi sebuah news yang menarik perhatian dunia. Peristiwa itu selalu berubah-ubah namun memiliki tingkat kejutan yang sama kuat terhadap psikologi manusia.

Sangat banyak sekali kejadian di dunia, tapi yang naik kelas menjadi berita dunia memiliki ciri-ciri yang khas dan khusus, yaitu: menguncang perasaan manusia seperti tragedi kematian, perang berkepanjangan, kelaparan yang menistakan kaum pengungsi, skandal tokoh-tokoh penting, mutasi virus mematikan, atau bisa saja terjadi pada orang kecil tapi itu adalah ekspresi yang panjang dan mendalam dari sebuah kezaliman; tragedi penistaan dan ketidakadilan seperti yang terjadi dalam Arab Spring. Berita-berita tentang ilmu dan teknologi juga menjadi menarik perhatian karena hasrat yang besar dari manusia terhadap masa depan tempat tinggal, dan keyakinan bahwa ilmu dan teknologi dapat memberikan berbagai peluang yang baik bagi dunia. Demikian juga dengan berita-berita isu HAM, korupsi atau hadiah nobel.

Berita-berita yang positif atau yang negatif jika dicermati selalu terkait dengan manusia itu sendiri, nasib manusia, mengguncang nalar dan emosi, harapan manusia akan kemajuan ilmu dan teknologi demi kebaikan-kebaikan manusia seperti kemudahan hidup, kesehatan, perbaikan kualitas hidup. Peristiwa-peristiwa buruk akan menarik manusia karena isu itu di luar dugaan dan manusia perlu mengantisipasi dan mencari solusi agar peristiwa itu tidak terulang lagi. Perhatian akan nasib diri, nasib sesama, tempat tinggalnya. Demikian juga manusia akan memperhatikan sesuatu yang menjadi hobinya seperti perhelatan sepak bola dunia atau pertandigan-pertandingan tingkat dunia, harga minyak dunia, saham dan investasi global karena terkait dengan kenyamanan hidup manusia. Peristiwa-peristiwa internasional adalah peristiwa-peristiwa yang merefleksikan emosi, kekhawatiran, harapan, kebanggaan, ketakutan, impian, dambaan dan juga merambah segala khayalan, imajinasi sebagian besar manusia jika tidak dikatakan seluruh manusia. Perisitwa depresi mata uang Yuan dan Ketidakpastian suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) menjadi penting karena itu akan menimbulkan gejolak, membebani pemulihan sebuah negara. Hancurnya jaringan teroris dunia adalah harapan dari lubuk manusia yang ingin kedamaian dan keamanan. Hancurnya jaringan narkoba atau perdagangan dunia adalah impian manusia karena muak dan benci penistaan dan kejahatan akan species seperti dirinya. Yang layak menjadi berita adalah yang terjadi tanpa rekayasa, bergulir secara alamiah. Peristiwa-peristiwa politik bisa saja di format oleh kekuatan media-media besar atau di distorsi oleh tangan-tangan licik, tapi itu tidak akan bertahan lama, kepalsuan akan terbongkar cepat atau lambat. Tangan-tangan kapitalis atau agen-agen yang dibutakan oleh ideologi tertentu bisa saja menyuplai berita-berita palsu (hoax) atau berita-berita yang tidak benar seperti yang marak di media sosial, namun lambat laun kejernihan akan bersinar dan kebohongan akan menghantam sang pemicunya. Kekuatan global tidak bisa menutup peristiwa-peristiwa penting tapi mungkin saja dapat membuat dunia menjadi amnesia.

(Ikmal-Online/STI)