MUDIK LEBARAN IBADAH ATAU ADAT?
Sebagian besar kaum Muslimin di negeri kita mengira, bahwa mudik lebaran ADA KAITANNYA DENGAN AJARAN ISLAM, karena TERKAIT DENGAN IBADAH BULAN RAMADHAN.
Sehingga banyak yang lebih antusias menyambut mudik lebaran daripada mengejar pahala puasa dan lailatul qadr. Dengan berbagai macam persiapan, baik tenaga, finansial, kendaraan, pakaian dan oleh-oleh perkotaan. Kadang dengan terpaksa harus menguras kocek secara berlebihan, bahkan sampai harus berhutang.
Karena tradisi ini sudah menjadi suatu yang lazim dan dipaksakan, serta diyakini sebagai bentuk kebiasaan yang memiliki kaitan dengan ajaran Islam, atau disebut dengan istilah tradisi Islami, maka demikian itu bisa menjadi bid’ah dan menciptakan tradisi yang batil dalam ajaran Islam.
Sebab seluruh macam tradisi dan kebiasaan yang tidak bersandar pada petunjuk syariat merupakan perkara bid’ah dan tertolak.
Memang orang mana sih yg mengatakan mudik lebaran itu terkait ibadah ramadhan???
Sesak, antre dan berdesak-desakan adalah pemandangan yang lazim kita lihat di terminal, stasiun dan bandara tiap menjelang hari raya Idul Fitri. Masyarakat yang merantau ke luar kota pulang kampung untuk merayakan hari kemenagan bersama keluarga dan sanak famili. Mudik menjadi tradisi yang selalu menarik dilakukan masyarakat perantau sekalipun harus menginap di stasiun dan antri berjam-jam di bawah terik matahari. Para pemudik sepertinya merasakan “kenikmatan” di atas kesengsaraan perjuangan demi mendapatkan selembar tiket untuk sampai ke kampung halaman.
Jika kita baca sejarah mudik, pulang kampung telah menjadi kebiasaan masyarakat perantau Jawa ratusan tahun yang lalu. Umar Kayam (2002) menjelaskan istilah mudik telah ada jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Pada awalnya kegiatan ini digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada dewa-dewa di Khayangan untuk mendapatkan berkah dan kemudahan dalam mencari rezeki.
Namun, seiring dengan perkembangan Islam di nusantara, para pejuang agama Islam memformulasi budaya mudik dengan nilai-nilai keislaman, sehingga mudik menyatu dengan lebaran. Pulang kampung yang semula di isi dengan ritual penyembahan dewa, oleh para ulama diubah menjadi budaya sungkem, saling bermaaf-maafan agar kembali suci (‘id ila al-fithri), silaturrahmi dengan sanak keluarga dan para sahabat dan berziarah ke makam leluhur.
Mudik yang ada saat ini adalah hasil akulturasi budaya Hindu-Jawa dan Islam, sehingga istilah pulang kampung (mudik) tidak ditemukan padanannya di negara lain, termasuk timur tengah.
Sekalipun mudik telah diformulasikan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, ada sebagian masyarakat yang masih mempersoalkan tradisi mudik. Menurut mereka mudik adalah perbuatan bid’ah dan sesat, sebab seluruh macam tradisi dan kebiasaan yang tidak bersandar pada petunjuk syariat (Islam) merupakan perkara bid’ah dan tertolak.
Mudik sebagai budaya memang tak ada rujukan secara eksplisit dan tegas yang menjelaskan tentang mudik dalam agama Islam, tapi ritual-ritual keagamaan dalam budaya pulang kampung tak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Silaturrahmi
Hampir setiap tahun tradisi pulang kampung untuk berlebaran dilakukan masyarakat Islam agar dapat bersilaturahmi dengan keluarga. Silaturrahmi adalah perintah agama yang tak hanya sebatas dilakukan pada seseorang yang masih punya hubungan nasab. Mengomentari hadits yang diriwayatkan Muslim (hadits no. 4.629), Imam Nawawi menjelaskan bahwa kawan baik orang tua juga mempunyai keutamaan untuk didatangi.
Terjalinnya hubungan silaturrahmi dapat memperbaiki dan memperkuat hubungan baik dengan orang lain, sehingga antara yang satu dengan yang lain dapat saling bertukar informasi dan saling memberi (ta’awanu). Pada giliran selanjutnya terciptalah persaudaraan nasionalisme (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan antar manusia (ukhuwah basyariyah).
Terjalinnya persaudaraan nasionalisme dan antar manusia dapat memperkokoh tegaknya sebuah negara untuk jadi bangsa yang makmur. Adanya jutaan orang yang mudik untuk bersilaturahmi bukan hanya menguntungkan jasa angkutan, tapi gerak laju perekonomian juga terdorong seperti banyaknya para pemudik yang memborong jajan sebagai oleh-oleh (hal. 111-112).
Halal Bihalal
Selain silaturrahmi, tradisi yang beredar di tengah masyarakat Indonesia setelah lebaran (Idul Fitri) adalah tradisi halal bihalal. Halal bihalal merupakan produk negeri ini yang unik. kenapa demikian..? karena istilahnya berasal dari bahasa Arab namun budaya tersebut tidak ditemukan di negara Arab, sehingga tradisi halal bihalal menuai kontroversi.
Dalam Al Qur’an dan hadits tak ada dalil yang secara jelas menjelaskan praktek halal bihalal, tapi landasan hukumnya tegas, seperti hadits perintah meminta halal ketika kita berbuat zalim (dosa) terhadap orang lain (riwayat Imam Bukhari no. 2.269, Tirmidzi no. 2.343 dan Muslim no. 2.342).
Saling bermaaf-maafan setelah lebaran merupakan momentum untuk mengembalikan diri kembali ke kesucian secara kaffah (‘id ila al-fithri) dari perbuatan dosa, baik yang ada kaitannya dengan hak Tuhan ataupun manusia (haq al-adami). Pemilihan bulan Syawal adalah agar dosa umat Islam yang berpuasa dan berhari raya benar-benar terhapus semuanya (hal. 136-137). Amin Ya Robbal ‘Alamin.
Yg penting waktu mau lebaran, apabila ingin mudik..kalau banyak kendala seperti tidak punya uang ya jangan dipaksakan.
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisa: 1)
Wallahu ‘Alam.
(Salafy/Wahabi-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar