Oleh: Srie Muldrianto MPd.
Kalimat kunci : Ketidak sejalanan konsep kebebasan beragama dengan praktik kebebasan beragama menunjukkan kegagalan pendidikan di Indonesia.
Pancasila merupakan falsafah negara, pandangan hidup dan ideologi nasional dalam kehidupan berbangsa bernegara. Sebagai sebuah falsafah negara, Pancasila bersifat rasional, terbuka, sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan sesuai jati diri bangsa serta ilmiah. Sebagai falsafah bangsa Pancasila hendaknya memiliki ciri-ciri pengetahuan filsafat yang kritis, rasional, Komprehensip, konseptual, replektif, radikal, spekulatif, integral dan lain sebagainya(Syamsudin, 2009: 67). Sedangkan sebagai ideologi nasional Pancasila merupakan sumber hukum bagi ditetapkannya suatu Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan Presiden, peraturan Mentri, peraturan Gubernur, peraturan Bupati dan keputusan lain yang berkenaan dengan hidup berbangsa dan bernegara. Setiap peraturan dan ketentuan yang bertentangan dengan Pancasila batal secara hukum.Indonesia sebagai negara yang memiliki paham Negara Persatuan yang merujuk pada teori persatuan yang diajarkan oleh Benedict de Spinoza(1632-1677), Adam Muller(1779-1829), George Friedrich Wilhelm Hegel(1770-1831), dan lain-lain(Kansil, 2006: 14). Dalam negara persatuan negara tidak memihak kepada golongan kuat atau golongan paling besar, melainkan menjamin keselamatan berbangsa dan bernegara secara utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
Sebagai negara demokrasi yang bernilai Pancasila, Indonesia adalah negara demokrasi yang mengutamakan asas musyawarah untuk mufakat sebelum diambil suara terbanyak. Musyawarah menjadi penting untuk dikedepankan karena dengan musyawarah kaum minoritas dan lemah dapat terlindungi. Musyawarah didasarkan pada asas Pancasila yang bersifat rasional, terbuka dan ilmiah.
Dalam kehidupan beragama, Indonesia menganut paham KeTuhanan Yang Maha Esa, yang artinya setiap penganut yang meyakini keberadaan Tuhan Yang Esa dilindungi oleh Pancasila. Walaupun secara administrasi negara ada beberapa agama resmi negara seperti Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Khong Hu Cu. Namun secara konstitusional agama lain juga memperoleh hak yang sama. Sebagaimana diatur UUD 1945 Pasal 29(2), “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”(Latif,2011:111).
Pada dasarnya konsep kehidupan beragama dan bernegara sudah cukup kondusif dalam praktek kehidupan di Indonesia. Toleransi keagamaan di Indonesia masih lebih baik dibanding dengan negara tetangga. Seperti di Thailand konflik bersenjata masih terus terjadi Beberapa kejadian di Narathiwat,Yala, dan Pattani. Di Myanmar juga demikian Suku Rohingnya menjadi korban pembantaian, di Filiphina konflik bersenjata antara Moro dan kaum komunis dengan aparat negara belum bisa dipadamkan. Demikian juga di Malaysia mazhab syiah dilarang tampil di depan umum, bahkan pernah terjadi penggerebegan pengajian oleh pihak aparat keamanan. Hal ini tidak pernah terjadi di Indonesia, yang terjadi adalah tindakan anarkis yang dilakukan oknum anggota masyarakat.
Secara umum kehidupan beragama di Indonesia telah diatur oleh Undang-undang, Namun pada tataran praktik keagamaan yang berkenaan dengan teknis pelaksanaan keagamaan kadang sering dibarengi oleh perbedaan yang berakhir pada konflik dan tindakkan kekerasan seperti pembunuhan, pembakaran, dan perusakkan berbagai sarana umum dan sosial. Perbedaan ritual keagamaan sering ditunggangi oleh kepentingan politik dan ekonomi sehingga masalah sesungguhnya bukanlah pada masalah keagamaan, tapi karena tokoh masyarakat yang berpengaruh dengan ketamakan berusaha untuk melibas lawan politik atau lawan ekomoninya untuk ditaklukkan dengan berbagai macam cara.
Tindakkan kekerasan yang kerap terjadi di tanah air sering pula dilakukan oleh kalangan terdidik seperti mahasiswa, pelajar dan bahkan anggota dewan. Coba saja tengok kekerasan yang sering terjadi di Salemba antar mahasiswa, di Makasar, dan di sekolah menengah lainnya di Jakarta dan kota lainnya. Padahal selaku manusia terdidik mahasiswa dan pelajar tak pantas menggunakan kekerasan sebagai bahasa protes. Sebagai manusia terdidik mahasiswa, pelajar dituntut sebagai insan terdidik yang dewasa dan menjadi suri teladan bagi manusia lain.
Tindakkan kekerasan seolah-olah telah menjadi biasa dalam menyelesaikan masalah. Mungkin untuk membuktikan sebab-sebab munculnya tindakkan kekerasan kita dapat melakukan penelitian lebih mendalam. Jika merunut pada beberapa kasus tindakkan kekerasan menunjukkan pada kita bahwa tindakkan kekerasan terjadi tidak mengenal tingkat pendidikan dan hanya pada alasan tertentu. Pelaku kekerasan terdiri dari kalangan terdidik seperti yang terjadi di STPDN, di Salemba antar mahasiswa, tawuran antar pelajar, kerusuhan PILKADA, atau bahkan tindakan kekerasan antar aparat dan lain sebagainya. Namun yang perlu kita sesalkan adalah tindakkan kekerasan atas nama agama. Beberapa kasus telah terjadi, baik berupa tindakkan terorisme maupun tindakkan main hakim sendiri, seperti kasus bom bunuh diri Bali, pemboman kantor polisi di Cirebon, pemboman gereja, kasus di Cikeusik (pembunuhan terhadap warga Ahmadiah), kasus Sampang, Lampung, Sumbawa dan lain sebagainya.
Kita sebagai warga sering memaklumi tindakkan kekerasan jika tindakkan kekerasan tersebut tidak mengancam eksistensi kita, golongan kita atau kepentingan kita. Jika tindakkan kekerasan menimpa kelompok di luar kita, kita sering tak hirau dan membiarkan begitu saja bahkan tak jarang sebagian dengan nada acuh mencibir. Sebut saja tindakkan kekerasan yang sering dilakukan FPI, organisasi masa FPI sering melakukan tindakkan yang melanggar hukum tetapi sebagian dari kita sering berujar ya wajar saja FPI melakukan tersebut karena yang di tindak melanggar syariat Islam dan lain-lain. Padahal jika kita jujur pada diri kita sendiri bahwa perusakan pada apapun dan pada siapapun akan mencederai nilai-nilai kemanusiaan.
Kalau tindakkan kekerasan yang sering terjadi terus dibiarkan dan diselesaikan dengan cara yang tidak sistematis maka akan terus berulang dengan berbagai ribuan alasan. Ada dua cara penyelesaian yang dapat dilakukan yaitu dengan penyelesaian jangka pendek dan penyelesaian jangka panjang. Penyelesaian jangka pendek dengan cara memberi efek jera bagi pelaku kerusuhan dengan cara penegakkan hukum. Sedangkan penyelesaian jangka panjang dengan pola pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Penegakkan hukum di negri kita sering mengalami berbagai kendala teknis karena sering kali para penegak hukum dibelenggu oleh berbagai kepentingan politik dan ekonomi. Para penegak hukum sering lebih mendengar tekanan mayoritas walaupun bertolak belakang dengan nilai-nilai kebenaran universal. Padahal jika kita merujuk pada dasar negara Pancasila maka jelaslah bahwa nilai kebenaran bukan berdasarkan suara terbanyak tetapi pada nilai kebenaran rasional. Makanya dalam Pancasila untuk mengambil keputusan mengutamakan musyawarah mufakat, baru kemudian berdasarkan suara terbanyak jika musyawarah mufakat tidak tercapai.
Sering juga polisi dan aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa, hakim dan pengacara gamang dalam menghadapi persoalan yang berkenaan dengan agama. Karena agama merupakan faktor penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sesuai dengan tradisi timur bahwa agama merupakan unsur terpenting setiap pengambilan keputusan. Lebih-lebih agama seringkali dijadikan alat atau kedok untuk tujuan politik. Sebenarnya Gusdur seringkali mengkritik para agamawan atau para tokoh agar melepaskan dari tirani yang mengatasnamakan agama. Kita masih ingat ketika ICMI didirikan, Gusdur malah menentang dengan mendirikan forum demokrasi. Gusdur juga mendirikan PKB dengan asas Pancasila (Efendi, 2005: 29) bukan agama. Saya pikir Gusdur tokoh harismatik yang dapat meredam masalah kekerasan atas nama agama dengan baik jika saja dia masih ada. Tokoh sekarakter Gusdur sungguh diperlukan di negri tercinta.
Penegakkan hukum di negri kita belum bisa diandalkan karena yang jadi panglima bukan hukum tapi politik. Coba kita tengok pada isu pendidikan, Lembaga pendidikan yang seharusnya independent malah menjadi lembaga dibawah lembaga politik. Lembaga pendidikan yang bertujuan untuk mencapai tujuan pendidikan sering kali dimanfaatkan oleh kepentingan politisi seperti Bupati, Gubernur atau mungkin Presiden. Tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia(Driyarkara, 2006: 413). Tetapi tujuan politik merebut dan mempertahankan kekuasaan. Tugas kepala dinas pendidikan tidak fokus pada tujuan pendidikan tapi malah bagaimana agar mampu memenangkan calon yang diunggulkannya, atau menjadi lembaga yang membantu mendapatkan dana kampanye dari berbagai proyek yang dimilikinya. Oleh karena itu sudah saatnya lembaga pendidikan dipisahkan dari lembaga politik. Bukan kah lembaga tinggi hukum saja setara dengan lembaga Presiden, DPR, BPK, MK, KY. Sudah selayaknya dewan pendidikan disetarakan dengan lembaga politik agar kiprahnya lebih independent dan berwibawa. Tentunya pendidikan tidak hanya meliputi wilayah pendidikan sekolah saja sebagaimana yang dikatakan Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat merupakan wilayah pendidikan. Sudah saatnya ada upaya kekuatan, para politisi mesti diawasi dan dikendalikan sedemikian rupa agar tidak merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Lembaga pendidikan merupakan pabrik tempat lahirnya eksekutif, legislatif dan yudikatif. Oleh karena itu sudah selayaknya lembaga pendidikan dan pendidik mendapat perhatian yang lebih dalam mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Tidak ada bangsa yang maju dan berbudaya adi luhung tanpa pendidikan yang maju.
Aktivitas politik kyai dan agamawan(pendidik) serta para penegak hukum perlu dibingkai dengan bingkai yang sesuai dan layak. Kesadaran untuk menjauhkan politik praktis dan agama perlu terus ditingkatkan. MUI sebagai lembaga yang menaungi ulama perlu distandarkan atau jika perlu ada sertifikasi kelayakan bagi para anggotanya. Seorang guru saja disyaratkan memiliki empat standard kompetensi seperti kompetensi profesionalitas, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi akademik. Guru sebagai profesi juga memiliki kode etik. Apalagi Ulama yang perannya lebih besar dan lebih berpengaruh bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan sampai keputusan atau fatwa bukan malah membawa pada kebenaran malah menyesatkan dan menjadi pemicu kekerasan.
Perlu dibangun upaya yang lebih mendidik bahwa agama atau simbol agama dilarang dibawa pada ranah politik praktis. Seorang ulama atau mubaligh yang aktif dalam politik praktis harus bersikap rasional dan ilmiah dalam mengambil keputusan politik, jangan mudah mengeluarkan dalil-dalil al Qur’an atau hadits sesuai tafsir dan kepentingan kelompoknya. Atau aturan keterlibatan agamawan harus mulai dibenahi oleh organisasi ulama. Hal ini perlu dilakukan karena untuk daerah-daerah tertentu di Indonesia ulama menjadi figur pendidik yang dominan seolah-olah pendapatnya adalah titah Tuhan.
Kasus yang terjadi di sampang merupakan gambaran sebagian kondisi yang ada di Indonesia. Entah latar belakang apa sehingga kasus Sampang dua kali terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Tapi yang jelas ketika era Gusdur kasus perbedaan mazhab tidak begitu bermasalah. Walaupun konflik pernah terjadi tapi tampaknya tokoh masyarakat Madura segan dalam menghadapi Gusdur sehingga kejadiannya tidak separah yang terjadi pada akhir Desember 2011 dan pada awal 2012.
Meskipun para tokoh NU mengutuk tapi gejolak masih terus terjadi. Malah anehnya korban menjadi terdakwa. Seperti yang pernah diungkapkan Kh.Hasyim Muzadi dalam wawancaranya dengan TVOne, dia mengatakan “akar permasalahannya ada pada Kyai atau Ulama setempat”. Dalam wawancara tersebut dia bersedia menjadi mediator untuk menyelesaikan masalah dengan turun ke Jawa-Timur untuk berbicara dengan Ulama setempat khususnya Ulama Madura. Tapi apa yang terjadi Fatwa syiah sesat menyesatkan kemudian dikeluarkan oleh MUI Jawa Timur No.Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012. Ketua umum NU Kh. Agil Syiraz juga pernah mengutuk dan mengecam tindakkan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat desa Nanggrenang Sampang terhadap warga Syiah Sampang. Tapi faktanya kerusuhan kedua tetap terjadi.
Para tokoh mengatakan bahwa konflik Sampang bukan kasus perbedaan mazhab tapi masalah keluarga atau perebutan pengaruh dan lain-lain. Tapi anehnya kalau bukan masalah perbedaan isu Suni dan Syiah lantas mengapa keluar fatwa MUI Jawa-Timur? Atau mungkin saja kasus antara Kyai Tajul Muluk dan adiknya kemudian ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu? Wallahu a’lam. Yang jelas kejadian Sampang tidak boleh terjadi lagi baik di Sampang atau di tempat lain.
Tampaknya para tokoh ingin mencari aman saja bukan ingin menegakkan keadilan. Coba kita renungkan Hukum apa yang membiarkan korban dijadikan terdakwa? Tapi pelaku kejahatan masih bebas berkeliaran. Kebenaran atas dasar apa? para pembakar dan provokator dibiarkan sehingga timbul kajadian kedua, konflik Sampang ke dua menyebabkan korban meninggal. Korban Sampang hingga kini masih menderita dan nasibnya terlunta-lunta. Lantas dimana nilai luhur yang kita agung-agungkan? Siapa yang berkewajiban memelihara para korban, jika saja aparat PEMDA setempat membiarkan korban? Dimana peran negara? Sampai kapan kita menunggu korban berikutnya? Sampai kapan kekerasan berhenti? Akal mana yang bisa menerima bahwa penegakkan keadilan cukup ditimpakan pada korban. Bukan hanya pada korban Sampang saja hal ini berlaku, tapi pada korban Cikeusik juga demikian. Ingat negara kita negara Pancasila bukan negara liar dan bar-bar.
Penegakkan hukum belum dapat kita andalkan sebagai alat untuk mencari keadilan. Tidak ada jalan lain yang lebih efektif adalah lewat jalur pendidikan. Walaupun memerlukan waktu yang panjang dan dana yang cukup besar tapi upaya untuk terus mendidik merupakan solusi paling efektif dalam menegakkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.
Sekali lagi solusinya benahi Pendidikan. Kasus kejahatan, kekerasan, korupsi, disorientasi merupakan masalah pendidikan yang harus segera dibenahi. Pendidikan bukan hanya kewajiban sekolah tapi yang lebih pokok dan utama adalah kewajiban orang tua dan masyarakat. Untuk mencetak hakim, jaksa, dan polisi yang jujur adalah lewat pendidikan. Pendidikan bukan hanya mentransfer pengetahuan tentang nilai-nilai kemanusian yang universal tetapi lebih jauh pendidikan harus dapat menyentuh aspek afeksi dan psikomotorik peserta didik.
Alangkah indahnya jika saja penganut suatu mazhab atau suatu agama tidak saja dikenal sebagai orang cerdas saja tapi juga berbudi pekerti luhur, jujur dan bermanfaat buat lingkungan dan alam sekitarnya(rahmatan lil aa’lamiin). Pendidikan sejati harus dapat menghasilkan manusia cerdas akalnya, lembut hatinya dan baik perilakunya.
Kesimpulan:
Konsep kebebasan beragama di Indonesia cukup kondusif bahkan cukup baik jika dibanding dengan negara tetangga.Pancasila sebagai falsafah bangsa dianggap tepat karena dapat menyatukan bangsa yang multi kultur dan multi religion. Namun sayangnya dalam praktek kehidupan beragama sering terjadi konflik yang berdarah-darah antar penganut agama di Indonesia. Pemerintah masih belum mampu meredam gejolak dengan baik. Ketidak mampuan ini berkenaan dengan mentalitas penyelenggara negara atau pemerintah yang tidak tegas dan cenderung memenangkan kaum mayoritas.
Ketidak sejalanan konsep kebebasan beragama dan praktek kebebasan beragama tidak lain dan tidak bukan karena lemahnya konsep dan praktek pendidikan yang dijalankan di Indonesia. Terbukti kemudian pemerintah merevisi sistem kurikulum yang ada dengan kurikulum baru tahun 2013. Namun sayangnya Kesadaran membangun sistem pendidikan yang integral dan komprehensip belum dapat dirasakan. Ketimpangan pendidikan sekolah, pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat belum menemukan solusinya. Padahal jika saja peserta didik mendapat pendidikan yang baik di sekolah selama 6 jam sehari lantas selama 18 jam berikutnya peserta didik mendapat didikan yang berbeda, apa jadinya generasi muda Indonesia?
Televisi,koran, Internet, para pendidik masyarakat seperti Ustadz, Kyai, tokoh masyarakat dan para orang tua adalah bertanggung jawab terhadap keberlangsungan pendidikan generasi muda Indonesia. Wartawan memiliki kewajiban menegakkan kode etik jurnalistiknya. Fungsi media tidak hanya to inform dan to entertain tapi juga memiliki fungsi to educate. Apalagi Kyai, Ustadz, dan Ulama disamping harus memenuhi standard keilmuan yang baik, juga harus memahami kontek sosial masyarakat dan menjadi panutan. Ing ngarso sing tulado ing madyo mangun karso tut wuri handayani. Seorang Kyai, Ustadz atau Ulama harus dapat menjalankan empat utama ahlaq Rosul yaitu sidiq, amanah, fatonah dan tabligh.
Praktek buruknya hubungan kehidupan beragama, maraknya korupsi, banyaknya kejahatan, dan maraknya kasus kekerasan menunjukkan gagalnya pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang manusiawi dan didasarkan pada nilai-nilai luhur Pancasila yang filosofis belum dapat dianggap berhasil jika saja kehidupan berbangsa dan bernegara selalu di penuhi konflik berdarah antar penganut agama, antar penganut mazhab dan antar suku bangsa dan ras.
Kegagalan sistem pendidikan mungkin saja diakibatkan terlalu fokusnya pembangunan pendidikan peserta didik pada kemampuan kognitif siswa atau mungkin kurang sinkronnya antar tujuan pendidikan yang bersifat ilahiah (UU SISDIKNAS No.20 Tahun 2003 tentang tujuan pendidikan nasional) pada turunan konsep kurikulum dan praktik pendidikan yang sangat materialistik yang lebih mengacu pada praktik pendidikan pragmatik atau pada praktik pendidikan behavioristik. Wallahu A’lam bishowab.
Penulis alumni SPS Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, jurusan Pendidikan Umum, Pernah belajar di Al Musthafa University(Hujatieh dan AlMahdy) selama empat tahun
Daftar Pustaka:
1. Dryarkara(2006), Karya Lengkap Dryarkara, Jakarta: Gramedia
2. Effendy, Bahtiar(2005), Gus Dur dan pupusnya dwitunggal, Jakarta: UshulPress
3. Kansil, Cst(2005), Modul Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta: Pradnya Paramita
4. Syamsudin, M dkk.(2009), Pendidikan Pancasila, Jakarta : Totalmedia
5. Latif, Yudi(2011), Negara Paripurna: Historis, rasionalitas dan aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia
(Ikmal-Online/STI)
0 komentar:
Posting Komentar