Dalam buku panduan MUI yang berjudul "Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi'ah di Indonesia" tertulis :
“Di Indonesia, berbagai publikasi syiah telah menfitnah, menjelek-jelekkan, melaknat, bahkan mengafirkan sahabat Nabi.” (hal. 34)
Setelah menuliskan itu, MMPSI kemudian mengutip beberapa potongan kalimat dari buku-buku yang ada, diantaranya adalah MMPSI menyatakan bahwa syiah sebagaimana terdapat dalam buku Abbas Rais Kermani yang berjudul “Kecuali Ali”, hal. 155-156, “Menyebut Abu Bakar dan Umar sebagai Iblis” (hal. 34).
Untuk mengklarifikasi demi tetap terjaganya Ukhuwah Islamiah di Indonesia khususnya, berikut tanggapan yang disampaikan oleh cendikiawan muda dari Medan Ust. Candiki Repantu :
MMPSI menuduh syiah menganggap Abu Bakar dan Umar sebagai Iblis berdasarkan pada buku terjemahan karya Abbas Rais Kermani, Kecuali Ali, hal. 155-156. Padahal tidak ada pada buku itu pernyataan ulama syiah yang menyatakan demikian. Yang ada adalah riwayat tentang dialog antara Abu Bakar, Umar dan orang yang tak dikenal, yang menyebut mereka Iblis. Selain itu, buku Kermani ini bukanlah buku standar syiah dalam periwayatan, yang dijadikan pegangan. Terlebih lagi, Kermani juga tidak menyebutkan sumber riwayatnya untuk bisa diperiksa, meskipun berkomentar hal itu terdapat di kitab yang berbeda dan muktabar. Sebagaimana diketahui, di dalam syiah tidak ada kitab shahih selain Alquran. Karena itu, sekalipun seandainya riwayat itu terdapat di kitab-kitab muktabar, tetapi belum tentu dianggap sahih. Meskpun begitu untuk memahaminya dengan utuh, berikut saya bawakan riwayat lengkapnya dari buku Abbas Rais Kermani tersebut :
“Setelah wafatnya Nabi saaw, suatu pertemuan di bentuk pada malam hari. Pertemuan malam itu di rumah Umar saat menjabat sebagai khalifah pertama (?). Sejumlah pendukungnya hadir dalam pertemuan itu. Ibnu Abbas juga ikut dalam pertemuan ini. Mereka menggelar alas makan yang berwarna-warni dan penjaga berdiri di pintu rumah hingga orang asing tidak dapat mengikuti pertemuan itu. Tiba-tiba seseorang muncul dari pintu Umar dan berkata, “Siapa di antara kalian sebagai washi Nabi saw?” Abu Bakar menjawab, “Rakyat telah memilih saya.” Kemudian orang itu berkata, “Saya memiliki seorang saudara ketika menjelang wafat, dia berwasiat, ‘Apa pun yang tersisa dari (harta) saya, saya akan berikan kepada menantu saya. Setelah saudara saya meninggal, sejumlah orang mencampuri masalah ini dan mereka merampas hak sang menantu tersebut. Mereka menyakiti isterinya. Coba kalian tetapkan suatu hukum dalam permasalahan ini.’
Abu Bakar berkata, “Benar, apa yang kau katakan. Surat ini menegaskan bahwa ia telah berwasiat untuk menantunya.” Abu Bakar lalu menuliskan dalam surat itu bahwa tidak ada hak seorangpun untuk melanggar hak menantu tersebut dan dia membubuhi stempel, dan memberikannya kepada orang yang tidak dikenalnya itu.
Setelah menerima surat, orang tak dikenal tersebut berkata, “Kalian telah menetapkan hukum secara Islami, sementara perbuatan Anda sendiri telah menentang hal tersebut. Kecuali Nabi saaw tidak mewasiatkan kepada putrinya mengenai Ali bin Abi Thalib. Bagaimana mungkin hawa nafsu telah mengalahkan kalian. Kalian telah merampas hak Ali as dengan menentang haknya secara jelas. Yang menjadikan beliau banyak berdiam diri di rumah.”
Setelah orang ini mengatakan perkataan demikian, maka dia keluar dari rumah itu. Mereka pun mencarinya untuk kembali, namun jejaknya tidak ditemukan. Penjaga pintu mengatakan, “saya benar-benar tidak melihat ada orang masuk”. Umar menenangkan kekhawatiran khalifah Abu Bakar, dia berkata, “Janganlah bersedih, dia adalah setan.” Seketika itu terdengar suara di balik dinding, “Saya bukanlah setan! Akan tetapi kalian dan ayah kalian akan menjadi Iblis”. Di antara anggota pertemuan kepada saling berpesan untuk merahasiakan kejadian tersebut, khususnya kepada Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas berkata, “Ketika saya bersama Ali, beliau bertanya, “Apa yang terjadi dalam pertemuan malam tadi?” Saya menjawab, “Engkau lebih mengetahui akan hal ini.” Imam Ali as berkata, “Orang itu adalah saudaraku Khidhir, ini adalah surat yang telah ditanda tangani oleh Abu Bakar malam tadi.” (Kermani, Kecuali Ali, hal. 155-156).
Dengan memperhatikan keseluruhan riwayat di atas maka kita mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya. Terlepas dari kualitas hadisnya, kita anggaplah riwayat itu ada dan sahih, tetapi apakah itu berarti kita bisa menghukumi syiah menyebut Abu Bakar dan Umar sebagai Iblis? Kalau kita membacanya dengan cermat, bukan sepotong seperti itu, maka kita akan mengetahui dengan jelas bahwa tidak ada tuduhan syiah seperti itu. Karena riwayat tersebut hanya menceritakan, ada seorang yang tak di kenal –yang disebut Imam Ali sebagai Khidir—datang ke majelis Khalifah Abu Bakar dan meminta diputuskan perkaranya, tetapi kemudian mengecamnya. Setelah itu tiba-tiba ia menghilang. Umar yang hadir saat itu berkomentar menenangkan Abu Bakar, “jangan bersedih, dia adalah setan.” Ketika itu iba-tiba terdengar suara, “Saya bukanlah setan! Akan tetapi kalian dan ayah kalian akan menjadi Iblis.”
Kalau hadis di atas benar, tidaklah orang syiah menganggap Khalifah Abu Bakar dan Umar sebagai Iblis, tetapi itu adalah anggapan orang yang tak dikenal (Khidir). Selain itu, dalam riwayat itu bukanlah menganggap mereka sebagai Iblis, tetapi mungkin saja yang dimaksudkan adalah mereka di pengaruhi Iblis. Atau bisa dipahami sebagai berikut :
1. Jawaban dari balik dinding itu adalah jawaban spontanitas—dari orang yang tak dikenal tersebut—sebagai protes atas pernyataan Umar bin Khattab yang menganggap orang tak dikenal itu (Khidir) sebagai setan. Maka di balaslah bahwa merekalah sesungguhnya yang pantas disebut Iblis/setan karena mengetahui hukum yang benar tetapi melanggarnya. Artinya mereka melanggar syariat yang ditetapkan Allah dan peritah Rasulullah saaw. Ini terlihat dalam riwayat di atas menyatakan, “Kalian telah menetapkan hukum secara Islami, sementara perbuatan Anda sendiri telah menentang hal tersebut.”
2. Atau juga—dalam pandangan orang tak dikenal tersebut—bahwa mereka berbuat seperti Iblis yang tidak mau tunduk pada perintah Allah swt untuk menjadikan Nabi Adam as sebagai khalifah, bahkan Iblis menginginkan jabatan Khalifah itu untuk dirinya, dan menganggap dirinya lebih baik dari Nabi Adam as, sehingga memandang perintah Tuhan itu keliru. Dan kasus Nabi Adam as dengan Iblis ini, mirip dengan kasus kepemimpinan Imam Ali as, dimana Allah swt melalui Nabi-Nya memerintahkan manusia untuk tunduk dan menjadikan Imam Ali as sebagai khalifah, tetapi mereka mengingkarinya, bahkan menginginkannya untuk dirinya sendiri. Ini terlihat dalam riwayat di atas, “Kalian telah merampas hak Ali as dengan menentang haknya secara jelas. Yang menjadikan beliau banyak berdiam diri di rumah.”
3. Tindakan mereka mencampuri dan merampas kekhalifahan dan juga tanah fadak serta menyakiti Sayidah Fatimah as dengan menyerang rumahnya hingga menggugurkan janinnya adalah tindakan yang dipenuhi hawa nafsu dan dipengaruhi Iblis. Hal ini digambarkan dalam riwayat di atas dengan mencontohkan kasus yang di buat oleh orang tak dikenal tersebut, yaitu “Saya memiliki seorang saudara ketika menjelang wafat, dia berwasiat, ‘Apa pun yang tersisa dari (harta) saya, saya akan berikan kepada menantu saya. Setelah saudara saya meninggal, sejumlah orang mencampuri masalah ini dan mereka merampas hak sang menantu tersebut. Mereka menyakiti isterinya.” Kemudian Khalifah Abu Bakar memutuskan bahwa orang yang merampas dan menyakiti menantu dan isteri saudara orang tak dikenal sebagai orang yang zalim, dan setelah itu orang tersebut berkomentar, “Kalian telah menetapkan hukum secara Islami, sementara perbuatan Anda sendiri telah menentang hal tersebut… Bagaimana mungkin hawa nafsu telah mengalahkan kalian. Kalian telah merampas hak Ali as dengan menentang haknya secara jelas.”
Dengan memahami persoalannya secara utuh, maka kita dapat menyimpulkan bahwa riwayat di atas hanya menunjukkan pengingkaran Khalifah Abu Bakar dan Umar serta sahabat lainnya yang merampas hak-hak ahlul bait Nabi saw.
Wallahu a’lam.
(Perpustakaan-Kajian-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar