Kamis, 24 November 2016

Ternyata Mencaci Maki Sahabat Nabi Menurut Sunni Tidak Apa-apa Hukumnya!


Pendahuluan: [1]

Dunia hadis Sunni sedang menghadapi ujian berat dalam banyak sisi dan lini untuk mempertahankan kenetralan dan kevalidannya! Mampukah ia keluar darinya dengan sukses mengusung etika kejujuran, kenetralan, obyektifitas dan berpihak kepada al haq? Itulah pertanyaan yang hendak kita cari tau jawabannya dalam artikel ini.

Di antara ujian yang akan menghadang kenetralannya dalam menyaring sumber data adalah sikap dunia hadis Sunni terhadap para perawi hadis.


Kesucian Sahabat Nabi saw. adalah Garis Merah!

Termasuk masalah yang menyita perhatian dan meminta sikap tegas para ahli hadis Sunni adalah sikap hormat para perawi terhadap para sahabat Nabi saw. tanpa terkecuali! Siapapun yang terbukti bersikap buruk dalam menilai sahabat maka para ulama hadis Sunni tidak akan segan-segan menvonisnya sebagai Zindîq[2], Dajjâl, Ahli Bid’ah, Zâighun ‘Anil Haqqi (menyimpang dari kebenaran) dan kecaman-kecaman lainnya yang tidak kalah seramnya.

Banyak parawi hadis yang gugur bergelimpangan menjadi korban format penilian tersebut…. Mereka dicacat, dikecam divonis sebagai pembohong/kadzzâb dan kemudian yang pasti mereka digugurkan kelayakannya sebagai sumber hadis karena terbukti pernah berkata-kata atau pernah bersikap buruk terhadap seorang atau beberapa orang oknum sahabat Nabi saw.

Abu Zur’ah –seorang tokoh terkemuka Ahlusunnah, guru agung Imam Muslim- membangun kaidah baku yang dijadikan tolok ukur penilaian, ia barkata,

“Jika engkau menyaksikan seorang mencela-cela seorang dari sahabat Rasulullah saw. maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang zindîq, sebab sesungguhnya Rasulullah saw. itu haq, Al Qur’an itu haq, apa yang dibawa Nabi itu haq, dan yang menyampaikan itu semua kepada kita adalah para sahabat. Maka siapa yang mencacat mereka sesungguhnya ia sedang berusaha membatalkan Al Qur’an dan Sunnah, karenanya mencacat mereka lebih tepat dan menvonis mereka sebagai zindîq, sesat, berdusta dan kerusakan adalah lebih lurus dan lebih berhak.”[3]

Dan atas dasar kaidah di atas para ulama hadis Sunni membangun penilaian terhadap para perawi. Al Khathib al Baghdadi menukil Yahya ibn Ma’în sebagai mengatakan ketika ia menerangkan kualitas seorang parawi bernama Talîd, “Talîd adalah kadzdzâb/ pembohong besar, ia mencaci maki Utsman. Dan setiap yang mencaci maki Utsman atau Thalhah atau seorang dari sahabat Rasulullah saw. maka ia adalah dajjâl, tidak layak ditulis hadisnya. Atasnya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia.”[4]

Ibnu Hibban berkata, “Talîd adalah seorang rafidhi pencaci maki sahabat dan ia meriwayatkan hadis-hadis yang aneh tentang keutamaan Ahlulbait.”[5]

Imam Ahmad ibn Hanbal meninggalkan periwayatkan hadis dari Ubaidullah ibn Musa al Absi hanya gara-gara ia menceloteh Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Tidak cukup itu ia mengutus seorang kepercayaannya untuk mendatangi Yahya ibn Main agar segera meninggalkan meriwayatkan hadis darinya. Ia berpesan kedanya agar menyampaikan kepada Yahya bahwa:

أخوك أبو عبد الله أحمد بن حنبل يقرأ عليك السلام ويقول لك: هو ذا تكثر الحديث عن عبيد الله وأنا وأنت سمعناه يتناول معاوية بن أبي سفيان وقد تركت الحديث عنه.

“Saudaramu Abu Abdillah menyampaikan salam dan berkata kepadamu, “inilah engkau berbanyak-banyak meriwayatkan hadis dari Ubaidullah, sementara aku dan engkau sama-sama mendengarnya mencaci Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Aku telah meninggalkan meriwayatkan hadis darinya.”[6]

Para ahli hadis Sunni akan segera mengecam seorang perawi dikarenakan ia dituduh mencacat seseorang sahabat dengan kecaman sebagai Rafidhi! Pembohong! Dll.

Akan tetapi apakah mereka setia menjalankan kaidah yang telah mereka bangun sendiri?

Apakah mereka membangun kaidah tersebut dengan i’tikat baik untuk menyaring hadis dari sisipan kaum munafikin?

Apakah mereka akan konsisten menjalankan kaidah tersebut dengan sepenuh hati atas siapa saja yang mencaci dan mencacat apalagi melaknat seorang sahabat Nabi saw.?

Apakah benar kaidah itu mereka bangun untuk membentengi keangungan sahabat Nabi saw, -seluruh sahabat Nabi saw. tanpa memilih dan memilah- dari sikap sinis dan mulut busuk sebagian parawi hadis?

Atau kaidah itu hanya akan diterapkan ke atas para parawi yang menghujat, mencacat dan membenci serta mengutuk sahabat-sahabat tertentu saja, tidak untuk sahabat tertentu lainnya?

Di sini letak ujian berat yang sedang dihadapi kaidah Sunni tersebut!

Namun sepertinya penelusuran acak –apalagi dengan telaten- akan memberi peluang para pemerhati untuk mencurigai ketulusan dan kenetralan kaidah tersebut! Kerena ternyata, kaidah itu hanya diberlakukan ketika menghadapi para parawi yang mencacat atau bahkan sekedar mengkritik oknum-oknum tertentu sahabat Nabi saw., seperti Mu’awiyah, ‘Amr ibn al Âsh, Walîd ibn ‘Uqbah, Thalhah, Utsman, Umar Abu Bakar dkk. Adapaun ketika berhadapan dengan para parawi yang mencaci maki, melaknati dan membenci Imam Ali as., Imam Hasan dan Husain as. serta pribadi-pribadi mulia keluarga Nabi saw. sepertinya kaidah itu lumpuh tanpa daya dan kekuatan! Bahkan tidak jarang, gelar-gelar kehormatan dan pujian menyertai sebutan para perawi pembenci Ali as.!!

Entah mengapa?

Apakah karena para sahabat lainnya itu memiliki kehormatan agung di sisi Allah SWT yang tidak dimiliki oleh Imam Ali dan Ahlulbait Nabi as.?

Atau karena para ulama itu telah mendapat bocoran informasi langit bahwa keridhaan Allah terlatak pada kebencian, kesinisan sikap dan caci-maki serta laknatan atas Ali dan Ahlulbait as.?

Atau memang pada dasarnya mencaci maki dan mencacat sahabat Nabi itu sah-sah saja hukumnya! Semua huru-hara fatwa dalam masalah ini hanya bersifat politis belaka!

Atau karena alasan lain yang masih dirahasiakan hingga hari ini? Wallahu A’lam!

Para ulama Sunni sendiri mengakui adanya sikap nakal dan subyektif serta mengertapan standar ganda dalam pemberlakuan “kaidah filterisasi” perawi hadis tersebut! Ibnu Hajar pernah bertanya-tanya kebingungan menyaksikan sikap tidak sehat itu dari para “Pembela Sunah” Sunni.

Ibnu Hajar berkata, “Dahulu aku merasa isykal (melihat adanya keganjilan sikap para ulama Rijal) dalam menstiqahkan seorang perawi Nashibi [7] (pembenci Ali) dan menghinakan terhadap perawi Syi’ah[8] (pecinta Ali), terlebih telah datang sabda Nabi saw. tentang Ali bahwa “Tidak mencintainya melainkan seorang Mukmin dan tidak membencinya melainkan seorang munafik.”….. “

Dari pernyataan Ibnu Hajar di atas dapat diketahui bahwa demikianlah sikap kebanyakan ulama hadis Sunni dalam mentsiqahkan atau mencacat para parawi…. Mereka mentsiqahkan kaum Nawâshib (pembenci Ali as.) … kaum yang mencaci-maki Ali as. ….. Kaum yang melaknati Ali as. ….

Lalu dinamakan kaidah yang mereka bakukan itu?

Agar pembaca tidak terlalu lama menanti sajian data-data yang membuktikan keharmonisan sikap ulama Sunni terhadap para pembenci Ali dan Ahlulbait as. … sikap kagum dan menyanjung serta terpesona oleh kejujuran, kataqwaan, kezuhudan dan kashalehan para pembenci Ali as., saya langusng sajikan data-data di bawah ini:


Catatan:

Seperti telah disinggung bahwa data-data yang akan saya sajikan ini saya ambil secara acak tanpa bermaksud menelusuri secara detail dan menyeluruh, karena untuk itu diperlukan kerja karas dan waktu panjang.


1. Ishaq ibn Suwaid ibn Hubairah al Adwi.

Dalam Hadyu as Sâri-nya, Ibnu Hajar menegaskan bahwa “Yahya ibn Ma’in, an Nasa’i dan al Ijli mentsiqahkannya, dan ia mengecam Ali ibn Abi Thalib.”[9]

Jadi sepertinya mencaci maki sahabat Nabi saw. tidak mengugurkan keadilan atau mencacat agama seorang!


2. Khalid ibn Salamah ibn al Âsh ibn Hisyam al Makhzumi yang dikenal dengan panggilan al Fa’fa’

Dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb disebutkan bahwa: Ahmad, Ibnu Ma’in dan Ibnu al Madîni mentsiqahkannya. Ibnu Hibbân memasukkannya dalam daftar perawi tsiqah. Muhammad ibn Hamîd menukil Jarir berkata, “Al Fa’fa’ adalah tokoh sekte Murji’ah. Dan ia mebenci Ali.”

Selain itu kajahatan perawi yang satu ini adalah bahwa ia juga menggubah bait-bait syair untuk bani Marwan yang memuat ejekan atas Nabi Muhammad saw.[10]

Kendati demikian ia mampu meraih kepercayaan para ulama hadis Sunni dan ia diandalkan oleh: Muslim dalam Shahihnya, Abu Daud dalam Sunannya, Ibnu Majah dalam Sunannya, at Turmudzi dalam Sunannya, an Nasa’i dalam Sunnanya.


Ibnu Jakfari berkata:

Selamat atas umat yang menjadikan manusia durjana seperti al Fa’fa’ sebagai panutan dan tempat kepercayaannya!

Saya yakin dan bahkan haqqul yakin, andai ada seorang perawi yang menggubah bait-bait syair menghujat Abu Bakar atau Umar pastilah para ulama yang pecemburu terhadap kesucian agama itu akan bangkit memuntahkan amunisi laknatan dan kecamannya dan pasti tak segan-segan menvonisnya sebagai si Zindiq yang harus segera dipenggal kepalanya! Akan tetapi anehnya ketika yang dijuhat dan dihina serta dilecehkan itu adalah Rasul Allah mereka terdiam dan bahkan memberinya gelar kehormatan sebagai perawi Tsiqah yang harus kita percaya hadis riwayatnya! Innâ Lillâhi wa Innâ Ilaihi Râji’ûn.


3. Hushain ibn Numair al Wasithi

Para ulama hadis Sunni, di antaranya adalah Abu Zur’ah mentsiqahkannya, padahal, seperti dilaporkan Abu Khaitsmah, ia terang-terangan menghina Ali.

Bukhari mengandalkannya dalam banyak bab, di antaranya dalam Bab Ahâditsul Anbiya’ (hadis para nabi) dan dalam Bab ath Thibb (pengobatan)… para penulis kitab Sunan –selain Ibnu Majah mengandalkan riwayatnya juga.[11]


4. Khalid ibn Abdillah al Qasri

Dalam kitab Tadzîb at Tadzîb disebutkan, Yahya al Himmani berkata, ‘Dikatakan kepada Sayyâr, apakah engkau meriwayatkan dari Khalid? Maka ia menjawab, ‘Ia lebih mulia dari berbohong.’

Ibnu Hibbân memasukkannya dalam daftar perawi terpercaya/tsiqat. Dalam kitab al Mîzân dikatakan bahwa ia adalah Shadûq.[12]

Padahal tidak samar lagi bahwa Khalid itu seorang Amir Dinasti Umayyah yang sangat kejam dan sangat membenci Imam Ali as. … Ia banyak melakukan kejahatan yang mengerikan. Berikut ini saya sebutkan keselumit kejahatannya:
a. Khalid itu mengutamakan Abdul Malik ibn Marwan (Khalifah dimasti Umayyah yang dikenal sangat kejam dan haus darah itu) atas Nabi Ibrahim as. (seorang nabi Ulul Azmi yang sangat agung dan mulia di sisi Allah SWT)… Dia deklarasikan pengutamaan itu di atas mimbar kota suci Mekkah.
b. Dan dalam kesempatan lain ketika ia menjabat sebagai Amir wilayah Iraq, ia terang-terangan di atas mimbar melaknati Ali ibn Abi Thalib as…. ia berpidato: Ya Allah taknatlah Ali ibn Abi Thalib ibn Abdil Muththalib ib Hasyim, menantu Rasulullah dan ayah Hasan dan Husain… setelahnya ia menghadap kepada para jamaah yang hadir seraya berkata, “Apakah aku menyebutnya samar-samar?”
c. Dilaporkan juga bahwa ia merobohkan masjid dan kemudian membangun di atasnya sebuah gereja untuk ibu kandungnya dan juga membangun di atasnya sinagok-sinagok.
d. Ia memberi jabatan kaum majusi untuk menghinakan kaum Muslimin.
e. Dan juga menikahkan wanita-wanita Muslimat dengan kaum kafir Ahli Kitab….
f. Ia mengatakan andai sang Khalifah tidak ridha kepada kami melainkan dengan menghancurkan bangunan Ka’bah pasti itu akan kami lakukan.
g. Dan ada laporan yang sangat menyayat hati setiap Muslim yang mendengarnya (kecuali jika ia penggemar berat kemunafikan bani Umayyah dan antek-anteknya. Ibnu Khallikan melaporkan bahwa ada seorang wanita Muslimah datang melapor kepada Khalid bahwa ia telah diperkosa oleh seorang pagawainya yang beragama Majusi, maka dengan tanpa keimanan dan rasa malu ia mengabaikan laporannya dan sekaligus mencemoohnya dengan mengatakan: Bagaimana rasa penisnya yang belum dikhitan itu?”

Ibnu Jakfari berkata:

Akankah anjing hina sepertinya dikatakan sebagai parawi tsiqah/jujur terpercaya? Lebih mulia dari berbohong? Adakah seorang Muslim yang peduli akan keselamatan agamanya rela menjadikannya sebagai perantara penukilan agama suci Allah?

Apakah ini yang dibanggakan sebagian musuh-musuh Syi’ah bahwa kitab-kitab hadis Sunni, khususnya Shihâh Sittah dapat diandalkan kevalidannya? Sampai kapan kitab-kitab hadis umat Islam dicemari oleh hadis-hadis kaum fasiq, munafik dan kafir seperti Klahid si durja terkutuk itu?


5. Ziyâd ibn Jubair ats Tsaqafi al Bashri

Parawi yang satu ini telah memikat hati banyak ulama hadis Sunni sehingga mereka berlomba-lomba memujinya. Imam Ahmad, Yahya ibn Ma’in, Abu Zur’ah, an Nasa’i, al Ijli, dan Ibnu Hibbân telah sepakat mentsiqahkannya. Dan para penulis Shihâh; kitab hadis standar Sunni juga berhujjah dengannya.[13]

Mereka semua sepakat mengandalkannya padahal Ziyâd ini telah mencaci maki Hasan dan Husain as… Ibnu Abi Syaibah melaporkan dari Abdurrahman ibn Abi Nu’aim bahwa Ziyâd telah mencaci maki Hasan dan Husain….”[14]


Ibnu Jakfari berkata:

Apa uzur para ulama Sunni itu di hadapan Allah dan rasul-Nya ketika mereka berhujjah dengan si fasiq yang munafik itu?

Apakah kebencian dan caci maki itu haram jika dialamatkan kepada Mu’awiyah dan Utsman dan halal hukumnya jika dialamatkan kepada kedua cucu tercinta Nabi kita; dua penghulu pemuda ahli surga?

Saya benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada umat ini? Jika Ali, Hasa, Husain as. dicacat seakan kebajikan sedang diperagakan dan pemeraganya berhak mendapat sanjungan! Seakan sebuah kawajiban Allah sedang ditegakkkan di atas muka bumi!

Namun apabila nama Mu’awiyah, Yazid, ‘Amr ibn Ash, Abu Hurairah, Utsman, Mughirah ibn Syu’bah, Abu Bakar dan Umar disentuh mereka bangkitkan dunia … mereka luncurkan tradisi tercanggih kutukan dan laknatan, seakan kehormatan Allah sedang diinjak-injak! Innâ Lillâhi wa Innâ Ilaihi Râji’ûn, semoga kita dilindungi Allah dari kesesatan.


6. Abdullah ibn Zaid ibn ‘Amr al Jarmi al Bashri

Al Ijli menegaskaan bahwa ia tak henti-hentinya mencacat Ali ibn Abi Thalib dan tidak sudi meriwayatkan satu hadis pun dari Ali, namun demikian al Ijli tetap saja menilainya sebagai tsiqah, ia berkata, “Ia seorang tabi’în yang tisqah, dan mencacat Ali ibn Abi Thalib dan tidak sudi meriwayatkan satu hadis pun dari Ali .” dan bukan kali ini al Ijli menegaskan bahwa seorang perawi itu membenci Imam Ali as., namun ia tetap menegaskan ketsiqahannya!

Bukhari mengatakan bahwa ia: Rajulun Shâleh/seorang yang shaleh.[15] Seperti juga dinukil dalam at Tahdzîb. Demikian juga adalah mengherankan ketika Ibnu Sirin berkata, ‘Dia adalah benar-benar saudaraku.”

Perawi yang fasiq ini telah mampu memukau para ulama hadis Sunni, tak terkecuali Imam Ahli hadis tak teetandingi; Bukhari dan Muslim, serta para penulis kitab-kitab Sunan lainnya, seperti Abu Daud, Ibnu Majah, at Turmudzi, dan an Nasa’i.[16]


7. Abdullah ibn Syaqîq al ‘Uqaili al Bashri

Perawi yang satu ini tidak pernah merahasiakan kebenciannya kepada Imam Ali as. sehingga setiap yang menyebut data pribadinya mengakui dalamnya kebencian tersebut. Namun anehnya, para ulama Sunni yang menegaskan kemunafikan perawi yang satu ini, mereka juga menegaskan ketsiqahannya bahkan lebih dari itu, mereka menganggapnya sebagai seorang Waliyullah yang doanya selalu dikabulkan Allah!

Perhatikan data-data di bawah ini:

Ibnu Khirâsy berkata, “Ia seorang Utsmaniy (Nashibi) yang membenci Ali.”[17]

Dalam kitab at Tahdzîb disebutkan bahwa Ibnu Sa’ad menggolongkannya sebagai thabaqah (genesari) pertama tabi’în penduduk kota Bashrah, dan ia berkata: “Ia seorang utsmaniy, ia tsiqah/jujur dalam periwayatan hadis.”[18]

Ahmad al Ijli berkata, “Ia tsiqah. Ia mencerca Ali.”

Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah apa yang dikatakan oleh al Jariri, “Abdullah ibn Syaqîq adalah seorang yang doanya selalu dikabulkan, terkadang ada awan yang lewat maka ia berkata, ‘Ya Allah jangan biarkan ia berlalu melewati tempat ini dan itu’ maka turunlah hujan.’” Demikian dikisahkan oleh Ibnu Khaistamah.[19]


Ibnu Jakfari berkata:

Orang Mukmin mana yang akan membenarkan dongeng murahan seperti itu?! Tidak diragukan lagi bahwa Ibnu Syaqîq adalah seorang munafik tulen. Dan kebenciannya kepada Imam Ali as. adalah bukti nyata akan hal itu. Andai benar apa yang didongengkan di atas pastilah itu tergolong istidrâj/diberikan sebagai cobaan, seperti yang diberikan Allah kepada dajjal.

Setelah terbukti kemunafikan Ibnu Syaqîq adalah sangat mengherankan ketika kita menyaksikan para ulama’ hadis Sunni berlomba-lomba mendapatkan hak paten periwayatan hadis darinya. Muslim dalam kitab Shahihnya telah mengandalkannya sebagai periwayat hadis. Demikian juga dengan Abu Daud, Ibnu Majah, at Turmudzi dan an Nasa’i.

Dimanakah kita dapat temukan kecemburuan para ulama hadis Sunni ini terhadap kemuliaan para sahabat agung Nabi Muhammad saw.? Mengapa mereka begitu membanggakan perawi yang terang-teranngan membenci Ali as.?

Mengepa mereka menyematkan status kehormatan atasnya? Bukankah –seperti yang ditegaskan Abu Zur’ah: “Jika engkau menyaksikan seorang mencela-cela seorang dari sahabat Rasulullah saw. maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang zindîq.” Dan juga yang ditegaskan Yahya ibn Ma’in: “…Dan setiap yang mencaci maki Utsman atau Thalhah atau seorang dari sahabat Rasulullah saw. maka ia adalah dajjâl, tidak layak ditulis hadisnya. Atasnya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia.”

Saya benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam dunia hadis Sunni?! Mungkin Anda mengetahuinya?!


8. Limâzah ibn Zabâr al Azdi al Jahdami Abu Labîd al Bashri.

Dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb dipaparkan pujian dan pentsiqahan para ulama Sunni terhadapnya, sementara pada waktu yang sama mereka menegaskan bahwa perawi yang satu ini adalah sangat membenci Imam Ali as. dan tidak pernah menyembunyikan rasa dengki dan dendamnya kepada saudara Rasulullah yang jiwanya adalah belahan jiwa Rasulullah saw.

Ia hadir dalam peperangan Jamal di pihak musuh Imam Ali as. dan ia seorang nashibi yang tak henti-hentinya mencaci maki Ali dan memuji Yazid.

Dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb di atas disebutkan:

Ibnu Main berkata, “Ia seorang yang gemar mencaci maki. Ia mencaci maki Ali.”[20]

Mathar ibn Humrân berkisah, “Kami di sisi Abu Labîd, lalu ada yang berkata kepadanya, ‘Apakah engkau mencintai Ali?’ Maka ia menjawab, “Bagaimana aku mencintai Ali sedangkan ia telah membunuh enam ribu dari anggota kaumku dalam satu hari.’”

Dari Hawbi ibn Jarîr dari ayahnya, ia berkata, “Labîd adalah orang yang gemar mencaci maki. Maka aku tanyakan kepada ayahku, siapa yang ia caci maki? Maka ayahku menjawab, ‘Ia mencaci maki Ali ibn Abi Thalib.

Kendati demikian tidak sedikit ulama Sunni yang membanggakannya dan menganggapnya Shalihul hadîts/ia bagus hadisnya. Abu Daud, Ibnu Mâjah dan at Turmudzi mengandalkan riwayatnya dalam kitab-kitab Sunan mereka.


9. Harîz ibn Utsman al Himshi

Kenashibian Harîz tidak samar bagi semua peneliti yang akrab dengan kajian sejarah para perawi hadis. Ia sangat membenci Imam Ali as. dan tak henti-hentinya melaknati beliau di berbagai kesempatan, khususnya dalam wirid seusai shalat!! Tidak cukup itu, ia juga tidak segan-segan memalsu hadis yang menyelek-jelekkan Imam Ali as.

Data-data di bawah ini cukup sebagai bukti:

Ditanyakan kepada Yahya ibn Shaleh, “Mengapa Anda tidak menulis hadis dari Harîz? Ia menjawab, ‘Bagaimana aku sudi menulis hadis dari seorang yang selama tujuh tahun aku salat bersamanya, ia tidak keluar dari masjid sebelum melaknat Ali tujuh puluh kali.’“[21]

Ibnu Hibban juga melaporkan, “Ia selalu melaknat Ali ibn Abi Thalib ra. tujuh puluh kali di pagi hari dan tujuh puluh kali di sore hari”. Ketika ia ditegur, ia mengatakan, “Dialah yang memenggal kepala-kepala leluhurku.”[22]

Dan tentang keberaniannya memalsu hadis, ikuti laporan Ismail ibn Iyasy berikut ini, ia berkata, “Aku mendengar Harîz ibn Utsman berkata, ’Hadis yang banyak diriwayatkan orang dari Nabi bahwasannya beliau bersabda kepada Ali, “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa”, itu benar tetapi pendengarnya salah dengar. Aku bertanya, “Lalu redaksi yang benar bagaimana? Ia berkata, “Engkau di sisiku seperti kedudukan Qarun di sisi Musa”. Aku bertanya lagi, “Dari siapa kamu meriwayatkannya?” ia berkata, “Aku mendengar Walîd ibn Abd. Malik mengatakannya dari atas mimbar”.[23]

Al Azdi juga melaporkan kepada kita “Harîz meriwayatkan bahwa ketika Nabi saw. hendak menaiki baghel-nya[24] datanglah Ali lalu melepaskan pelananya agar beliau jatuh.”

Al Jauhari juga melaporkan kepada kita dengan sanadnya bersambung kepada Mahfûdz, Ia berkata, “Aku bertanya kepada Yahya ibn Shaleh Al Wahadzi, ‘Kamu telah meriwayatkan dari para guru sekelas Harîz, lalu mengapakah kamu tidak meriwayatkan dari Harîz?’ Ia berkata, ‘Aku pernah datang kepadanya lalu ia menyajikan buku catatannya, lalu aku temukan di dalamnya, Si fulan telah menyampaikan hadis kepadaku dari fulan… bahwa Nabi saw. menjelang wafat beliau berwasiat agar tangan Ali ibn Abi Thalib di potong.”. Maka aku kembalikan buku itu dan aku tidak menghalalkan diriku meriwayatkan darinya!!.[25]

Semua itu tidak rahasia lagi… Akan tetapi yang benar-benar mengeharkan adalah ternyata tidak sedikit tokoh-tokoh besar hadis Ahlusunnah menegaskan ketsiqahannya. Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan, “Ia tsiqah, Ia tsiqah, ia tsiqah!”[26]

Di sini, seperti Anda saksikan, Imam Ahmad (seorang tokoh terkemuka empat Mazhab Sunni) tidak cukup sekali dalam mengapresiasi kejujuran dan keadilan Harîz. Ia mengulanginya tiga kali. Menyematkan gelar tsiqah kepaada seorang perawi adalah puncak pengandalan. Dan lebih dari kata tsiqah, apabila kata itu diulang dua apalagi tiga kali.

Itu artinya Harîz benar-benar menempati tempat istimewa dalam jiwa Imam besar Ahhlusunnah. Selain Ahmad, Yahya ibn Ma’in dan para imam hadis Sunni juga mentsiqahkannya. Demikian ditegaskan Ibnu Hajar dalam Hadyu as Sâri-nya.

Abu Hatim menegaskan bahwa tidak ditemukan di kota Syam seorang parawi yang lebih kokoh darinya.

Ibnu Adi berkata, ‘Ia tergolong perawi kota Syam yang tsiqat/jujur terpercaya.”

Ahmad ibn Abi Yahya berkata, “Ia (Harîz) seorang yang shahih hadisnya, hanya saja ia mencaci maki Ali.”

Al Ijli berkata, “Ia (Harîz) seorang penduduk kota Syam yang tsiqah. Dan ia mencerca dan mencaci maki Ali. Ia menghafal hadisnya.”

Dalam kesempatan lain ia berkata, “Ia kokoh riwayatnya dan ia sangat membenci Ali.”

Ibnu Ammâr berkata, “Para ulama menuduhnya mencaci maki Ali, namun mereka tetap saja meriwayatkan dahis darinya, berhujjah dengannya dan tidak meninggalkannya.”

Dan masih banyak komentar lain sengaja saya tinggalkan….

Karenannya adalah mengherankan sikap ulama Sunni yang masih tetap saja mengandalkannya dalam periwayatan hadis.

Saya tidak mengerti apakah sikap keras para muhaddis Ahlusunnah dalam berpegang teguh dengan hadis riwayatnya itu didasari oleh kebanggaan mereka kepada hadis riwayat kaum munafik pembenci Imam Ali as.? Atau didasari oleh kayakinan mereka akan kejujuran tutur kata kaum munafik pembenci Imam Ali as.?

Atau karena sebab lainnya. Wallahu A’lam, hanya Allah yang Maha mengetahui hakikat sebenarnya.

Yang pasti, sikap tidak sehat seperti itu dapat membuat para pecinta Ahlulbait as. berhak curiga akan ketulusan ulama hadis Sunni dalam klaim kecintaan mereka kepada Imam Ali as. dan Ahlulbait Nabi as.!! Karenanya sudah seharusnya para ulama Sunni kontemporer mengoreksi dan mengintropeksi Manhaj Hadis Sunni demi menemukan kesuciannya!

Penutup:

Untuk sementara saya cukupkan menyebut sembilan contoh penyalur hadis yang telah dipercaya habis-habisan oleh muhaddis Sunni. Semoga dalam kesempatan lain saya dapat menyajikan data-data lain tentang parawi-parawi munafik seperti mereka. Wallahu Waliyyut taufîq.


Catatan Kaki:

[1] Penulis berharap judul di atas tidak akan disalah-pahami oleh musuh-musuh Ahlulbait as. sebagai sebuah stitmen pembenaran atas sikap mencaci maki sahabat mulia Nabi saw.
[2] Istilah Zindîq (orang yang lepas dari ikatan agama dan norma-norma langit) sudah disalah-gunakan demi kepentingan-kepntingan tertentu. Misalnya, Khalifah al Mahdi –dari dinasti Abbasiyah- menyebut siapapun yang tidak mengakui kekhalifahannya sebagai Zindîq. (Tarikh Ibnu Katsir,10/153) Demikian juga kata itu dialamatkan kepada seseorang yang mengkritik sebagian hadis sahabat atau menolaknya karena dalam hematnya tidak shahih. (Târîkh Badgdâd,14/7).
[3] Ash Shawâiq al Muhriqah;Ibnu Hajar al Haitami, Penutup:211.
[4] Târîkh Baghdâd,7/145 ketika menyebut data Taid, no.3582.
[5] Al Majrûhîn,1/204.
[6] Tarikh Baghdad,14/427.
[7] Ibnu Hajar mendefenisikan kenashibian sebagai: kebencian kepada Ali dan mengutamakan sahabat lain atasnya. (Hadyu as Sâri Muqaddimah Fathi al Bâri,2/213)
[8] Ibnu Hajar sendiri telah mendefenisikan kesyi’ahan sebagai berikut: Kesyi’ahan adalah kecintaan kepada Ali dan mengutamakannya atas para sahabat. Maka barang siapa yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar berarti ia ekstrim dalam kesyi’ahannya, dan ia disebut juga dengan Rafidhi. Jika tidak (mengutamakannya di atas Abu Bakar dan Umar) maka ia hanya seorang Syi’ah.” (Hadyu as Sâri Muqaddimah Fathi al Bâri,2/213)
[9] 2/143.
[10] Tahdzîb at Tahdzîb, 3/83 dan Mizân al I’tidâl,2/412.
[11] Ibid.152
[12] Istilah Shadûq (jujur) adalah gelar yang diberikan kepada seorang perawi sebagai bukti apresiasi pujian, seperti juga kata tsiqah, hanya saja ia dibawah tinggat apresiasi kata tsiqah dalam hirarki redaksi penta’dilan.
[13] Tahdzîb at Tahdzîb,3/308.
[14] Mushannaf; Ibnu Abi Syaibah,12/96 hadis no.12225.
[15] At Târiîkh al Kabîr; Bukhari,5/92.
[16] Lebih lanjut baca Mizân al I’tidâl,4/103.
[17] Tahdzîb al Kamâl,15/91 data no.3333.
[18] Ath Thabaqât al Kubrâ,7/126.
[19] Tarîkh Damasqus,26/161.
[20] Pernyataan ini juga dapat Anda temukan dalam Ma’rifah ar Rijâl,1/145.
[21] Tahdzîb al Tahdzîb,2/209 ketika membicarakan biodata Harîz, Tarikh Damaskus,12/349.
[22] Al MajRûhuun,1/268.
[23] Tahdzîb al Tahdzîb,2/209 ketika membicarakan biodata Harîz, Tahdzîb al Kamâl,5/577, Tarikh Baghdad.8,268 dan Tarikh Damaskus,12/349.
[24] Baghel adalah peranakan antara kuda dan keledai.
[25] Syarh Nahj al Balâghah; Ibnu Abi Al Hadid al Mu’tazili,4/70.
[26] Tahdzîb al Kamâl,5/175.


Adalah hal mengherankan lagi mengerikan bagi kemurnian agama Islam yang kita yakini kesuciannya apabila para penjahat perang, kaum bengis haus darah, kaum fasik, tiran, pembantai jiwa-jiwa mukminah tak berdosa dan kaum munafik dibanggakan sebagai pembawa ajaran suci tersebut!

Adalah sangat berbahaya dan sekaligus membuka lebar-lebar pintu keraguan atas kemurnian ajaran agama Islam kita, jika orang-orang jahat dan musuh-musuh Islam dan kaum Thalihin dijadikan andalan dalam mentransfer ajaran agama! Maka tidak mengherankan jika kaum berakal akan meragukan kemurnian ajaran agama tersebut!! Sebab pembawanya adalah kaum durnaja dan durhaka!

Banyak contoh kasus yang membuktikan kenyataan pahit dalam dunia penyebaran ajaran agama Islam versi Sunni! Beberapa darinya telah Anda simak bersama dalam edisi sebelumnya, kini kami akan tambahkan beberapa contoh lain…


Para Tokoh Hadis Ahlusunnah Mentsiqahkan Algojo Penguasa Tiran

Tidak ada yang meragukan bahwa Hajjâj ibn Yusuf adalah aparat bejat, durjana dan durhaka kepada Allah dan rasul-Nya… sejarah telah mencatat sekelumit dari kejahatannya, walaupun yang sekelumit itu sudah sangat mengerikan… ribuan jiwa mukminah tak berdosa ia bantai dengan darah dingin…. Masjid yang tadinya sebagai tempat ibadah ia rubah menjadi tempat penyembelihan kaum Mukminin Muslimin… Hajjâj tidak sendirian dalam melakukan kajahatan kemanusian mengerikan itu (yang tidak kalah mengerikannya dari pembantaian atas kaum Muslim Bosnia oleh kaum Nasharani Serbia dan apa yang terjadi di Poso dan Ambon beberapa waktu silam, bahkan apa yang dilakukan Hajjâj jauh lebih mengerikan).

Ia dibantu oleh para algojo haus darah dan tak berpri-kemanusiaan… namun anehnya, tidak sedikit ulama Ahlusunah yang membela Hajjaj dan memujinya sebagai yang banyak berjasa terhadap Islam… sebagai mana Ahli Hadis Sunni berebut hak paten dalam memuji dan menyanjung para algojo Hajjâj yang tiran dan fasik itu…

Di antaranya adalah:

1. Isma’il ibn Awsath al Bajali – Amir Wilayah Kufah- (w.117 H)

Ia adalah pembantu setia Hajjâj dalam menjalankan agenda kebengisan dan pembantaian terhadap kaum Muslimin, tidak terkecuali para ulama yang tidak loyal kepada kekuasaan tiran rezim bani Umayyah terkutuk. Dialah yang mengajukan Sa’id ibn Jubair –seorang ulama generasi tabi’in yang karismatik dan teguh pendiriannya-. Ismail telah dipuji dan disanjung oleh banyak ulama Ahli hadis Sunni. Ia telah ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’in. Ibnu Hibbân menggolongkannya sebagai perawi jujur terpercaya. (Baca kitab Mîzân al I’tidâl,1/1037 dan Lisân al Mîzân1/395).

Mereka Memuji Pemaki Imam Ali as.

Di antara ketidak konsistenan sikap ulama Hadis Ahlusunnah adalah mereka sering kali memuji dan membanggakan keimanan, keshalihan serta keteguhan beragama mereka yang terang-terangan mencaci maki dan melaknati Imam Ali as. sebelumnya telah kami sebutkan beberapa contoh dalam kasus ini. Kini kami tambahkan lagi untuk melengkapi.

2. Asad ibn Wadâ’ah Adalah Seorang Abid yang Jujur Padahal Ia Selalu Mencaci maki Imam Ali

Kali ini contoh kasus itu adalah sikap terpesona dan bangga serta kagum yang ditampakkan ulama Ahli Hadis Sunni atas seorang Nâshibi (pembenci dan musuh Ali dan Ahlulbait Nabi saw.) dan lidah busuknya selalu berkecomat-kecamit mencaci maki Imam Ali as. – semoga Allah memanggang lidahnya dengan api neraka bersama para tuan dan pujaannya; Mu’awityah dan gembong kaum munafik lainnya-.

Kendati demikian An Nasa’i –seorang Ahli hadis senior Sunni- mentsiqahkannya. (Baca kitab Mîzân al I’tidâl,1/07 dan Lisân al Mîzân1/385).

3. Khalid al Qasri –seorang Amir rezim tiran bani Umayyyah-

Contoh lain yang tidak kalah memalukannya adalah pujian Ibnu Hibbân atas Khalid. Ia berkata:

ثقة.

“Ia tsiqah.”

Padahal semua telah mengetahui kejahatan dan kekejaman serta kefasikannya. Ia seorang pembenci Imam Ali as.; nâshibi yang sangat keji, seorang amir yang kejam. Ibunya seorang Kristen dan ia (Khalid) membangunkan untuknya gereja untuk tempat ibadah bagi ibunya! tidak diragukan bahwa ia pantas diragukan keberagamaannya.

Untuk mengetahui lebih lengkap kejahatan dan kebejatan serta kefasikannya baca kitab Târikhnya Ibnu Katsir,10/20-21.

Selaki Lagi Mereka Memuji Pembenci Imam Ali as.!

Selain nama-nama di atas, Anda dapat menemukan nama Ishaq ibn Suwaid al Adwi al Bashir (W.131 H)… para ulama Ahli Hadis kebanggaan Ahlusunnah berlomba-lomba memujinya, padahal mereka mengetahui dan mengakui bahwa Ishaq itu membenci dan tidak segan-segan mencaci maki Imam Ali as.! Bukankan ini sebuah keanehan sikap?!

Ishaq tidak pernah merahasikan dan/atau malu-malu menampakkan kebenciaannya kepada Imam Ali as. bahkan ia membanggakannya. Dia berkata:

لا أحب عليا

“Aku tidak suka Ali.”

Namun demikian Ahmad (seorang imam besar empat mazhab Sunni), Ibnu Ma’in dan an Nasa’i mentsiqahkannya. Dia diandalkan oleh Imam Bukhari dan Msulim dalam keduan buku Shahihnya (yang diyakini tershahih setelah Al Qur’an; kitab suci terakhir umat Islam). Dan juga diandalkan oleh Abu Daud dan an Nasa’i.


Sikap Dualisme Yang Mengherankan!

Demikianlah mereka bersikap lembek, bersimpatik dan membanggakan ketsiqahan dan kejujuran para pembenci Imam ali as. dan mereka yang telah “menghiasi” mulut-mulut najis dengan caci-maki manusia suci; Ali ibn Abi Thalib…. Namun apabila giliran ada seorang perawi jujur “tertangkap basah” meriwayatkan sabda Nabi saw. tentang kejelakan Mu’awiyah anak Hindun (penguyah jantung Sayyidina Hamzah –paman Nabi saw.-); –khalifah keenam mereka yang sangat mereka banggakan kejeniusan, kesabaran dan ketulusannya kepada Islam dan kaum Muslimin- maka para ulama berlomba-lomba menghujaninya dengan berondongan anak panah beracum kecaman!! Seakan Mu’awiyah itu seorang nabi yang ma’shum yang tidak mungkin berbuat kekejian dan selalu dikawal para malaikat langit!

Data di bawah ini akan membuktikan apa yang saya katakan:

Al Khathib al Baghdâdi melaporkan bahwa Ahmad ibn Hanbal tidak sudi lagi meriwayatkan hadis dari Ubaidullah ibn Musa al ‘Absi setelah ia memergokinya menyebut-nyebut Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Lebih dari itu ia berusaha mempengaruhi Yahya ibn Ma’in agar juga membuang riwayat Ubaidullah. Ia mengutus utusan menemui Yahya dan memerintahnya agar menyampaikan pasan:

أخوك أبو عبد الله أحمد بن حنبل يقرأ عليك السلام ويقول لك: هو ذا تكثر الحديث عن عبيد الله وأنا وأنت سمعناه يتناول معاوية بن أبي سفيان وقد تركت الحديث عنه.

“Saudaramu; Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal mengucapkan salam atasmu dan berkata, ‘Ini dia engkau berbanyak-banyak meriwayatkan hadis dari Ubaidullah, sedangkan engkau dan aku mendengarnya menyebut-nyebut Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Kini aku sudah meninggalkan riwayat darinya.’” [1]

Pencaci-maki Imam Ali as. disanjung!! Yang menyebut-nyebut kejelekan Mu’awiyah dikecam dan dibuang riwayatnya! Sungguh mengerikan penyimpangan ini!!

Al Hasil, setelah ini semua apakah pentsiqahan dan/atau pencacatan yang dilontarkan para tokoh kenamaan Ahli Hadis Sunni terhadap para parawi itu masih berharga?! Sementara norma dan hakikat dari semua nila-nilai keislaman telah diputar-balikkan… yang fasik dipuji sebagai Abid dan jujur!! Pembenci Imam Ali as. dibanggakan sebagai penyandang Sunnah dan pemberantas Bid’ah!!

Lalu masihkan tersisa ruang untuk ketenteraman dalam kemurnian ajaran agama?!

Akankah kaum fasik itu memikul amanat ballighu ‘anni/sampaikanlah ajaran dariku?! Akankah Nabi saw. memuji mereka sebagai pengemban syari’at untuk generasi lanjutan?

Apakah syarat utama pengemban syari’at Islam dan Sunnah Nabi saw. adalah membenci dan mencaci maki Imam Ali as.?! Mengapakah mencaci maki Imam Ali as. menjadi tindakan terpuji, sementara mencacat Mu’awiyah, Abu Hurairah dkk. dikecam dan kadang dikafirkan sebab termasuk syatmul khiyarah/mencaci maki kaum shaleh yang baik?

Apakah demikian pilar mazhab Sunni? Jawabnya saya serahkan kepada Anda….

Wallahu A’lam.


Referensi:

[1] Tarikh Baghdad,14/427

(Jakfari/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Waspadai Bahaya Adu Domba Yahudi Dan Kaum Munafik


Setiap kali, ketika kaum Muslim dibuat gembira dengan kemenangan dan pertlongan Allah SWT di sa’at itu pula musuh-musuh Allah bangkit marah dan berusaha dengan segala cara untuk menghancurkan kejayaan kaum Muslim.

Senjata terampuh musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kaum Muslim adalah adu domda dan menaburkan benih-benih fitnah dan perpecahan di antara kaum Muslim. Dan setiap kali kita menghadapi fenomena seperti itu, kita (kaum Muslim) selalu menyaksikan tangan-tangan jahat musuh-musuh Allah bermain, baik terang-terangan maupun di balik layar menggerakkan kaum munafik dan juga sebagian kaum Muslim yang cupet cara berpikirnya atau lemah imannya untuk menjalankan agenda pemecah belahan umat.

Kenyataan seperti itu tidaklah asing, sebab contoh-contoh kebusukan jiwa dan kejahatan agenda musuh-musuh Allah yang mereka lancarkan telah dibeber dan dibongkar habis dalam Al Qur’an. Bagi Anda yang rajin menelaah ayat-ayat Al Qur’an dan meneliti sejarah da’wah Rasulullah saw. pasti akan menemukan sederatan contoh yang memelekkan kita semua akan agenda jahat musuh-musuh Allah dalam menghancurkan kejayaan Islam dan kesatuan serta keharmonisan di antara kaum Muslim.

Politik mengadu-domba sesama kaum Muslim dengan menyulut api permusuhan dan mengungkit-ngungkit perseteruan dan menfitnah adalah politik licik musuh-musuh kaum Muslim. Coba Anda perhatikan beberapa contoh taktik licik mereka seperti diabadikan dalam Al Qur’an dan disebutkan dalam catatan sejarah.


Contoh Kejahatan Musuh-musuh Allah!

Ayat 100 surah Âlu ‘Imrân diturunkan sekaitan dengan upaya adu domba yang dilakukan oleh seorang tokoh kafir penyusup. Allah berfirman:

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِنْ تُطيعُوا فَريقاً مِنَ الَّذينَ أُوتُوا الْكِتابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إيمانِكُمْ كافِرينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.” (QS. Âlu ‘Imrân [3];100)

Ibnu Katsir berkata menerangkan, “Allah Yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi mengingatkan hamba-hamba-Nya yang Mukmin agar tidak mena’ati sekelompok Ahli Kitab yang menghasud kaum Mukmin atas karunia yang Allah anugerahkan kepada mereka dan atas diutusnya Rasul-Nya untuk mereka, seperti disebutkan dalam ayat:

وَدَّ كَثِيْرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّوْنَكُمْ مِّنْ بَعْدِ إِيْمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ ….

“Mayoritas Ahli Kitab menginginkan agar dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran setelah kalian beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka …“ (QS. Al Baqarah [2];109)

Demikian juga di sini, Allah berfiaman: “jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.”[1]

Jalaluddîn as Suyuthi dalam tafsir ad Durr al Mantsûr-nya menyebutkan sebuah riwayat panjang tentang usaha jahat untuk memecah-belah kesatuan kaum Muslim dan mengoyak keharmonisan antara para sahabat Anshar dari kabilah Aus dan Khazraj. Ia berkata, “Ibnu Ishaq, Ibnu Jarîr, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hâtim dan Abu Syeikh meriwayatkan dari Zaid ibn Aslam, ia berkata, Syâs ibn Qais -seorang tua yang telah mulai rabun matanya sejak masa Jahiliyah, yang sangat keras kekafirannya, sangat dalam kedengkian dan rasa hasudnya kepada kaum Muslim- memergoki sekelompok dari sahabat Rasulullah saw. dari kalangan Aus dan Khazraj dalam sebuah majlis, mereka berbincang-bincang. Maka sakit-hatilah dia menyaksikan kerukunan dan keharmonisan mereka di bawah naungan Islam, setelah dahulu di masa Jahiliyah mereka bercerai berai dan saling bermusuhan, lalu ia berkata, “Suku bani Qailah di negeri ini. Demi Allah kami tidak akan tentram jika mereka itu bersatu. Maka ia memerintah seorang pemuda Yahudi yang bersamanya untuk bergabung kepada mereka dan mengingatkan mereka akan hari-hari peperangan antara mereka di peperangaan Bu’âts dan peperangan-peperangan sebelumnya, bacakan syair-syair kepatriotan dan yang saling ejek-mengejek yang mereka gubah pada saat itu!

Hari Bu’âts adalah hari peperangan terdahsyat antara suku Aus dan Khazraj, dalam peperangan itu kemenangan di tangan suku Aus, maka pemuda itu melakukan apa yang ia perintahkan. Maka (tanpa disadari) mereka masuk dalam topik pembicaraan yang rawan itu, mereka saling bercekcok dan berbangga-banggaan sehingga dua orang dari suku Aus dan Khazraj bangkit melompat; Aus ibn Qîthi seorang dari keluarga bani Hâritsan dari suku Aus, dan Jabbâr ibn Shakhr dari keluarga bani Salamah dari suku Khazraj. Keduanya saling adu mulut, seorang dari mereka berkata kepada rekannya, ‘Jika kalian kehendaki –demi Allah- kami akan ulang lagi peperangan itu’. Maka bangkitlah kemarahan kedua kelompok suku itu, mereka berteriak, ‘Senjata! Senjata!’ kita akan bertemu di siang hari nanti. Maka mereka pun keluar untuk berperang, dan bergabungkan anggota-anggota lain dari suku Aus dan juga dari suku Khazraj dengan slogan-slogan Jahiliyah lama.

Maka segera sampailah berita itu kepada Rasulullah saw., beliau keluar menemui mereka bersama para sahabat Muhajrin yang bersama beliau sehingga menemui mereka dan bersabda, “Wahai sekalian kaum Muslimin. Takutlah kepada Allah! Takutlah kepada Allah! Apakah dengan slogan Jahiliyah kalian bersemangat, sementara aku ada di tengah-tengah kalian setelah Allah berikan kalian petunjuk kepada Islam dan memuliakan kalian dengannya, dan setelah Allah memotong dari kalian urusan Jahiliyah dan mengentas kalian dari kekafiran dan mengharmoniskan kalian… Apakah setelah ini semua kalian kembali kepada kakafiran seperti yang yang dahulu kalian jalani?!”

Maka sadarlah mereka bahwa ini semua adalah gesekan setan dan makar jahat musuh-musuh mereka. Maka mereka pun meletakkan senjata-senjata mereka. Mereka menangis dan saling berangkulan dan kembali pulang bersama Rasulullah saw. dengan penuh keta’atan dan kepatuhan. Allah telah memadamkan makar jahat Syâs; musuh Allah itu. Maka Allah menurunkan ayat tentang makar jahat Syâs:

قُلْ يا أَهْلَ الْكِتابِ لِمَ تَكْفُرُونَ بِآياتِ اللَّهِ وَ اللَّهُ شَهيدٌ عَلى‏ ما تَعْمَلُونَ * قُلْ يا أَهْلَ الْكِتابِ لِمَ تَصُدُّونَ عَنْ سَبيلِ اللَّهِ مَنْ آمَنَ تَبْغُونَها عِوَجاً وَ أَنْتُمْ شُهَداءُ وَ مَا اللَّهُ بِغافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha menyaksikan apa yang kamu kerjakan.” *“Katakanlah:” Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan. Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Âlu ‘Imrân [3];98-99).

Dan untuk Aus ibn Qaithi dan Jabbâr ibn Shakhr Allah menurunkan ayat:

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِنْ تُطيعُوا فَريقاً مِنَ الَّذينَ أُوتُوا الْكِتابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إيمانِكُمْ كافِرينَ* وَ كَيْفَ تَكْفُرُونَ وَ أَنْتُمْ تُتْلى‏ عَلَيْكُمْ آياتُ اللَّهِ وَ فيكُمْ رَسُولُهُ وَ مَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلى‏ صِراطٍ مُسْتَقيمٍ * يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقاتِهِ وَ لا تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ * وَ اتعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَميعاً وَ لا تَفَرَّقُوا وَ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْداءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَِهِ إِخْواناً وَ كُنْتُمْ عَلى‏ شَفا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْها كَذلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آياتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ * وَ لْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَ يَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ أُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَ لا تَكُونُوا كَالَّذينَ تَفَرَّقُوا وَ اخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ ما جاءَهُمُ الْبَيِّناتُ وَ أُولئِكَ لَهُمْ عَذابٌ عَظيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.* Bagaimanakah kamu) sampai (menjadi kafir, padahal ayat- ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah- tengah kamu Barang siapa yang berpegang teguh kepada) agama (Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.* Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.* Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat- ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk *Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.* Dan janganlah kamu menyerupai orang- orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” “(QS. Âlu ‘Imrân [3]; 101-105)[2]

Syeikh Muhammad Rasyîd Ridha mengatakan dalam tafsir al Manâr-nya, “Jika kalian mengikuti apa yang dilontarkan orang-orang Yahudi itu berupa pembangkit fitnah dan menyahuti ajakan mereka maka kalian benar-benar telah metaati mereka, sebab mereka tidak akan puas dengan hanya kelian kembali bermusuhan dan saling membenci, akan tetapi lebih dari itu, mereka akan mengembalikan kalian kepada kekafiran….

Dan setelah Allah mengecam Ahli Kitab (kaum Yahudi dan Nashara) atas kekafiran dan usaha ngotot mereka dalam menghalang-halangi dari jalan Allah yaitu Islam setelah ditegakkannya bukti-bukti dan disingkapkannya syubhat-syubhat mereka, setelah itu semua cocoklah Allah mengajak bicara kaum Mukminin seraya menjelaskan kepada mereka bahwa kaum yang demikian jelasnya hakikat kekafiran mereka dan demikian jeleknya ajakan mereka, maka tidak sepantasnya kaum Mukmin mendengarkan ajakan mereka, sebab mereka itu adalah penganjur kepada fitnah dan tokoh-tokoh kekafiran. “[3]


Prisai Terampuh Menghadapi Aksi Pemecah Belahan Umat Islam

Dalam ayat-ayat di atas telah dijelaskan untuk kita perisai terampuh untuk membentengi kaum Muslim dari terjatuh dalam jaring tipu muslihat dan makar jahat pemecah belahan musuh-musuh Allah, yaitu dengan kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan berpegang dengan tali Allah SWT dan selalu ingat serta waspada akan kelicinan dan kelicikan makar musuh-musuh Allah, khususnya kaum Yahudi yang selalu memanfa’atkan kejahilan dan/atau kemunafikan sebagian kaum Muslim untuk menjadi distributor/penjaja fitnah murahan mereka!


Upaya Musuh-musuh Allah Dalam Memecah-belah Kesatuan Umat Islam

Akhir-akhir ini, segala macam cara dan langkah jahat telah dilakukan musuh-musuh Allah dalam memecah belah kesatuan umat Islam, utamanya dengan membangkitkan fanatisme jahiliyah kemazhaban dan sering kali dibumbui fitnah murahan dan mengungkit-ngungkit masalah-masalah khilafiyah yang sensitif untuk dilontarkan di hadapan kaum awam, khususnya ketika dikemas dengan bahasa dan semangat provokatif yang membakar kemarahan dan sikap bringas serta penghalalan darah-darah terhormat yang dilahirkan oleh semangat doktrin takfir (pengafiran sesama kaum Muslim).

Di antara agenda besar musuh-musuh Allah dan musuh-musuh Islam adalah mengadu domba antara kaum Muslim, khususnya kaum Muslim Syi’ah dengan saudara-saudara mereka kaum Muslim Sunni. Dan tujuan agenda jahat ini sangatlah jelas dan tidak samar lagi bagi kaum Muslim yang cerdas dan memiliki kecemburuan terhadap keutuhan eksistenti umat Islam.

Tangan-tangan bayaran telah menari-nari di atas ribuan lembar kertas memuntahkan tinta-tinta beracun untuk mengadu domba umat Islam agar membenci, memusuhi dan memerangi mazhab Syi’ah dan pengikutnya dengan memfitnah dan menisbatkan hal-hal palsu yang sama sekali tidak pernah mereka yakini dalam ajaran mazhab tersebut… .

Agen-agen Zionis dan musuh-musuh Allah di Timur Tengah telah mempekarjakan para ulama sû’ dan para PSK (Penulis Sektarian Komersial) serta para penceramah profesional yang siap melayani tuan-tuan mereka dan menjalankan setiap agenda pemecah-belahan umat Islam dengan imbalan puluhan ribu real!

Dengan buku-buku murahan yang mereka tulis sebenarnya mereka hanya menjadi kepanjangan tangan musuh-musuh Allah dalam memecah belah umat Islam…

Berbagai buku yang penuh tanâqudhât, kontradiksi yang mereka tulis dengan bahasa provokatif dan sangat jauh dari nilai ilmiah serta mencirikan pesan sponsor tuan-tuan yang mempekerjakan mereka, dan keluar dari etika keislaman yang selama ini dijaga para ulama Islam, sebenarnya tidak laik untuk ditanggapi…. Namun karena keprihatinan kami terhadap nasib bangsa ini yang mungkin tertipu oleh kapalsuannya, maka kami dengan terpaksa menyisakan waktu berharga kami demi membongkar kepalsuan-kepalsuan yang tercecer hampir di setiap halamannya bahkan mungkin di setiap kalimat-kalimatnya!

Sekali lagi kami katakan, bahwa sama sekali bagi kami bukanlah sebuah kebanggaan ketika harus turun mengurusi fitnah murahan para “PSK”. Hanya karena tanggung jawab terhadap agama dan karena kepedulian terhadap persatuan dan kesatuan shaf-shaf/barisan kaum Muslim-lah yang mendorong kami menulis tanggapan atas tuduhan-tuduhan palsu semacam itu.

Akhiranya, kami berdoa semoga Allah menyelamatkan umat Islam dari tipu daya musuh-musuh Allah dan musuh-musuh Islam yang siang malam tanpa putus asa berusaha dengan segala cara untuk memecah belah umat Islam!


Referensi:

[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzîm, 1/387.
[2] Ad Durr al Mantsûr,1/102-103. selain riwayat di atas, ia juga menyebutkan beberapa riwayat lain yang lebih ringkas tantangnya. Baca juga al Manâr,4/15-16.
[3] Al Manâr,4/17-18.

(Jakfari/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

15 Bukti Palsu Khilafah Abu Bakar, Dan Keshahian 12 Imam


Dalil-dalil Tekstual Penunjukan Atas Abu Bakar

Setelah ini, mari kita telaah hadis-hadis/riwayat yang diandalkan oleh Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb sebagai dalil kokoh atas kekhalifahan Abu Bakar dan senjata tangguh dalam mematahkan argumentasi kaum Syi’ah.


Syeikh berkata:

والأحاديث في صحة خلافة الصدّيق وإجماع الصحابة وجمهور الأمة على الحق أكثر من أن تُحصر ، ومن نسب جمهور أصحابه صلى الله عليه وسلم إلى الفسق والظلم ، وجعل إجتماعهم على الباطل فقد إزدرى بالنبي صلى الله عليه وسلم وإزدراؤه كفر ، ما أضيع صنيع قوم يعتقدون في جمهور النبي صلى الله عليه وسلم الفسق والعصيان والطغيان ، مع أن بديهة العقل تدل على أن الله تعالى لا يختار لصحبة صفيّه ونصرة دينه إلا الأصفياء من خلقه ، والنقل المتواتر يؤيد ذلك – فلو كان في هؤلاء القوم خير لما تكلموا في صحب النبي صلى الله عليه وسلم وأنصار دينه إلا بخير ، لكن الله أشقاهم فخذلهم بالتكلم في أنصار الدين كل ميسر لما خلق له .

“Dan hadis-hadis tentang keabsahan Khilafah ash Shiddîq dan Ijmâ’ para sahabat dan jumhur umat lebih banyak untuk dapat dibatasi. Dan barang siapa menisbatkan kepada mayoritas para sahabat kefasikan dan kezaliman, dan menjadikan kesepakatan mereka atas kebatilan maka telah menghina Nabi saw. dan menghina Nabi adalah kafir. Alangkah sia-sianya perbuatan kaum yang meyakini kefasikan, kemaksiatan dan penentangan pada jumhur/para sahabat Nabi saw., sementara dalil akal menunjukkan bahwa Allah tidak akan memilih untuk bersahabat dengan hamba pilihan-Nya kecuali orang-orang pilihan dari hamba-hamba-Nya. Dan penukilan yang mutawatir mendukung hal itu. Anda ada sedikit kebaikan pada mereka (Syi’ah) pastilah mereka tidak berbicara tentang sahabt-sahabat Nabi saw. dan para pembela agama-Nya kecuali dengan kebaikan. Akan tetapi Allah menyengsarakan dan menghinakan mereka dengan pembicaraan tentang para pembela agama-Nya. Dan setiap individu dimudahlan untuk berbuat sesuai dengan apa yang ia diciptakan untuknya!”


Ibnu Jakfari berkata:

Memalingkan pembicaraan dan diskusi dari tema Khilafah kepada pembicaraan tentang sahabat dan tuduhan mengecam dan menghinakan mereka adalah cara licik dan picik. Ia adalah lari dari inti utama permasalahan yang seharusnya dibicarakan secara ilmiah jauh dari provakasi murahan dan mempermainkan emosi dan parasaan semu kaum awam seputar kemuliaan Nabi saw. dan sahabatnya!

Jika demikian adanya, maka tidakkah seharusnya Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb juga mempertimbangkan dan sekaligus mempermasalahkan sikap sebagian sahabat Nabi mulia, utamanya Imam Ali dan keluarganya, Abbas –paman Nabi saw.- dan seluruh anggota keluarganya, seluruh anggota keluarga besar bani Hasyim dan para pengikut setia Imam Ali as., seperti Salman al Farisi, Abu Dzarr, Bilal, Zubair ibn Awwâm, Miqdad dkk. dalam penentangan mereka atas pembaiatan Abu Bakar?!

Al Ya’qûbi dan sekelompok ulama lain melaporkan, “Dan sekelompok dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar telah menolak memberikan baiat mereka kepada Abu Bakar, mereka berpihak kepada Ali ibn Abi Thalib, di antara mereka adalah Abbas ibn Abdil Muththalib, Fadhl ibn Abbas, Zubair ibn Awwam, Khalid ibn Sa’id, Miqdad ibn Amr, Salman al Farisi, Abu Darr al Ghiffari, Ammar ibn Yasir, al Barâ’ ibn Âzib dan Ubay ibn Ka’ab… “[1]

Apakah dalam pandangan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb para sahabat mulia Nabi saw. tersebut telah menghinakan Nabi saw. karena tidak sudi berbagung dengan kelompok Saqifah dan memberikan baiat setia kepada Abu Bakar?!

Apakah Fatimah –putri kesayangan Nabi saw., dan belahan jiwa beliau- yang tidak sudi memberikan baiat setia kepada Abu Bakar itu akan ia hukum sebagai mati Jahiliiah dan kafir karena tidak mengakui Khalifah Abu Bakar?! Bukankah mati tanpa mengenal Imam zamannya itu mati jahiliyah?! Seperti diterangkan dalam banyak hadis.

Apakah para sahabat mulia Nabi saw. yang menentang kekhalifahan Abu Bakar itu semua dalam pandangan Syeikh Aibnu Abdil Wahhâb hidup dalam keadaan jahiliah segera setelah wafat Rasulullah saw., sebab mati seorang itu sesuai dengan hidupnya, mati jahiliah membuktikan bahwa ia hidup jahiliah pula! Dan kelak di hari pembalasan akan dibangkitkan juga dalam keadaan jahiliah, “Seperti kalian hidup, seperti itu pula kalian akan mati, dan seperti kalian mati, seperti itu pula kalian akan dibangkitkan.” Demikian dalam hadis. Mungkinkah orang yang hidup dalam keaadaan jahiliah dan mati dengan model jahilah, ia akan dibangkitkan dalam keadaan fitrah Iislam dan keimanan sejati?!


o Hadis Ancaman Mati Jahiliyah atas Yang tidak mengakui Imam/ Khalifah

Banyak sekali hadis yang menegaskan hal tersebut, di antaranya adalah sebagai berikut:

مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَعْرِفْ ِامَامَ زَماَنِهِ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيّةً

“Barang siapa mati sedang ia tidak mengenal imam zamannya maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah.”[2]

Muslim dalam Shahih-nya pada Kitabul Imârah, bab al Amr bi Luzûmi al Jamâ’ah, dari Ibnu Umar, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يومَ القِيامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ, وَ مَن ماتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَات مِيْتَةً جاهِلِيَّةً.

“Barang siapa melepas tangan dari keta’atan ia berjumpa dengan Allah pada hari kiamat tanpa memiliki bukti, dan barang siapa mati sedang di lehernya tidak ada ikatan bai’at maka ia mati jahiliyah.”

Dan seperti riwayat Muslim juga pada bab yang sama, dan Bukhari dalam bab kedua pada Kitabul Fitan:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ , فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهلِيِةَ.

“Barang siapa tidak menyukai sesuatu dari Amirnya hendaknya ia bersabar atasnya, kerena barang siapa keluar (memberontak) dari penguasa barang sejengkal ia mati jahiliyah.”

Dan seperti riwayat dari Mu’awiyah dan Ibnu Umar:

من مات بِغَيْرِ إمامٍ مَاتَ مِيْتَةً جَاهلِيِةَ.ً

“Barang siapa mati tanpa imam ia mati jahiliyah.”[3]

Riwayat Muslim juga:

من مات و ليس في عنُقِهِ بيعةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهلِيِةً.

“Barang siapa mati sedang di atas lehernya tidak ada ikatan baiat maka ia mati jahliah.”[4]

من فَارَقَ الجماعَةَ شِبْرًا، فَمَاتَ، فَمِيْتَةٌ جَاهلِيِةًَّ

“Barang siapa meninggalkan jamâ’ah barang sejengkan saja lalu ia mati maka ia mati jahiliah.”[5]

من خرَج مِن الطاعَةِ وفَارَقَ الجماعَةَ فَمَات مَاتَ مِيْتَةً جَاهلِيِةً.

“Barang siapa keluar dari keta’atan dan memisah diri dari jama’âh lalu ia mati maka ia mati jahiliah.”[6]

Tidak ada jalan melainkan mengakui keshahihan hadis-hadis di atas dan menerima kandungannya, dan tidaklah sempurna islam seorang kecuali dengan pasrah mengimaninya. Tidak seorang pun di antara ulama Islam yang terlintas di dalam benaknya untuk meragukan keshahihannya atau meragukan kandungannya serta menolak konsekuensi darinya. Redaksi hadis-hadis tersebut sangat jelas bahwa nasib buruk akan menjadi bagian bagi siapa pun yang mati tanpa mengakui Imam/Khalifah! Dan bahwa kematian jahiliah adalah status yang akan disematkan ke atasnya!

Maka dengan demikian, mengapakah Ali as. membiarkan istri tercintanya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar, bahkan menentangnya dengan keras dan tidak mau berbicara dengannya dan dengan Umar hingga wafat menjemput beliau?!

Di sini hanya ada tiga opsi dalam menyikapi sikap penentangan putri tercinta Rasulullah saw. atas Khilafah Abu Bakar:

Pertama, Fatimah jahil akan sebuah masalah mendasar dalam agama ayahnya, sedangkan ia adalah pribadi yang paling pantas mengatahuinya, sementara itu sahabat mu’allaf, jelata dan muda usia dari umat ayahnya, seperti Mu’awiyah telah mengetahuinya dengan baik! Sehingga karena kehajilannya itu, Fatimah, –wal iyâdzu billah– mati menentang Sunnah dan prinsip agama ayahnya!

Kedua, bahwa hadis-hadis tersebut di atas adalah palsu walaupun ia telah diriwayatkan oleh para muhaddis dari kedua puak besar umat Islam yaitu Ahlusunnah dan Syi’ah!

Ketiga, Fatimah as. tidak memandang Abu Bakar sebagai Khalifah yang sah, sehingga bukanlah sebuah kewajiban agama untuk mengakuinya!

Demikian juga opsi ini berlaku untuk sikap Imam Ali as. yang menentang pembaiatan atas Abu Bakar selama enam bulan!

Apakah ada seorang Muslim yang sadar akan agamanya memilih opsi pertama dan mengatakan bahwa Fatimah as. –putri tercinta dan belahan jiwa ayahnya; Rasulullah saw.- dan Imam Ali as., pintu kota ilmu Rasulullah saw. bodoh akan hal tersebut! Tidak mengetahuinya! Lalu siapa yang harus dipersalahkan dalam kejahilan itu? Rasulullah saw. yang teledor dalam menyajarkannya? Atau Ali dan Fatimah yang tidak peduli terhadap ajaran Rasulullah saw…. tidak bersemangat dalam mempelajarinya!!

Sedangkan opsi kedua jelas tidak ada seorang santri Muslim yang jahil sekalipun meragukan keshahihannya, setelah hadis-hadis tersebut memenuhi syarat-syarat keshahihan dan kesepakatan para imam dan pakar hadis untuk mengakuinya dan menerima kandungannya.

Maka di hadapan kita hanya tersisa satu opsi yaitu opsi ketiga! Kekhalifahan yang ditentang oleh putri tercinta Rasulullah dan tidak diakuinya hingga wafat menjemputnya dan ia berjumpa dengan ayahnya di sisi Allah SWT …. Kekhilafahan yang Imam Ali as. membolehkan dirinya untuk menentangnya dan tidak memberikan baiat setia kepadanya walau barang sehari saja apalagi menentangnya selama enam bulan, dan membiarkan istri tercintanya menentangnya hingga wafat, sementara beliau menyadari bahwa siapa yang mati tanpa mengenal imam zamannya dan tidak ada ikatan baiat di atas lehernya maka ia mati jahiliah…. Kekhilafahan seperti itu sudah sepantasnya tidak wajib kita akui legalitasnya!!

Apakah Anda akan membodohi kaum awam dengan mangatakan bahwa Fatimah as. telah memberi restu atas kekhalifahan Abu Bakar?

Lalu apa yang akan Anda perbuat terhadap ratusan riwayat hadis dan laporan sejarah yang menegaskan penentangan Fatimah as. atas Abu Bakar, utamanya yang diriwayatkan Bukahri dan Muslim?[7] Apakah Anda akan menutup-nutupinya? Atau Anda hendak mengatakan bahwa riwayat itu sisipan kaum Syi’ah?!

Sudah sa’atnya para ulama berfikir cerdas, lapang dada, luas wasasannya, obyektif sikapnya, mulia akhlaknya dan tidak terus-menerus mempermaikan akal pikiran kaum awam serta menari-nari di atas puing-puing kejahilan mereka!

Setelah ketarangan ini, saya akan langsung mengajak Anda menyimak hadis-hadis yang disajikan Ibnu Abdil Wahhâb.


Referensi

[1] Tarikh al Ya’qubi,2/114. Baca juga al Mukhtashar Fi Akhbâr al Basyar,1/156 dan Tatimmah al Mukhtashar,1/187.
[2] Hadis di atas dan hadis-hadis mengandung makna serupa dapat Anda jumpai dalam banyak kitab-kitab mu’tabarah para ulama Ahlusunnah, di antaranya:
1. Shahih Bukhari, bab al Fitan,5/13.
2. Shahih Muslim,6/21-22 hadis1849.
3. Musnad Ahmad,2/83, 3/446 dan 4/96.
4. Shahih Ibn Hibbân,6/49 hadis 4554.
5. Al Mu’jam Al Kabir; Ath Thabarâni,10/350 hadis 10687.
6. Al Mustadrak; Al Hakim,1/77.
7. Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim,3/224.
8. Jâmi’ Al Ushûl; Ibn Al Atsîr Al Jazari,4/7.
9. Musnad Ath Thayâlisi:259.
10. Al Kuna wa Al Alqâb,2/3.
11. Sunan Al Baihaqi,8/156 dan 157.
12. Al Mabshûth; As Sarakhsi,1/113.
13. Syarah Nahj Al Balaghah; Ibn Abi Al Hadid,9/155.
14. Syarah Muslim; An Nawawi,12/44.
15. Talkhîs Al Mustadrak; Adz Dzahabi,1/77 dan177.
16. Tafsir Ibn Katsir,1/517.
17. Syarh Al Maqâshid,2/275.
18. Majma’ az Zawâid,5/218,219,223 dan312.
19. Kanz Al Ummâl,3/200.
20. Taisîr Al Wushûl,2/39
21. dll.
[3] Abu Daud ath Thayalisi dalam Musnad-nya:259 dari Ibnu Umar dan Majma’ az Zawâid,5/ 218 dari Mu’awiyah.
[4] Muslim Kitabul Imârah,4/126 hadis ke 58.
[5] Ibid. hadis ke 55.
[6] Ibid. hadis 53.
[7] Baca berbagai kitab hadis, di antaranya Shahih Bukhari pada Kitabul Maghâzi, bab Ghazwah Khaibar,3/38 dan Shahih Muslim, Kitabul Jihâd wa Sair,2/72.


Menyoroti Hadis-hadis Khilafah Abu Bakar

Ibnu Abdil Wahhâb menyebutkan sekitar lima belas hadis/dalil yang ia akhiri dengan kata-kata kecaman dan luapan emosi terpendam, tanpa menghiraukan konsekuensi berbahaya dari vonis yang ia lontarkan. Ia berkata, ”Dan hadis-hadis ini dan yang semisalnya akan membuat hitam gelegam wajah-wajah kaum Rafidhah dan kaum fasiq yang mengingkari kekhalifahan Abu Bakar ash Shiddîq ra.”

Untuk menyingkat waktu pembaca langsung saja kita ikuti satu persatu hadis yang ia sebutkan:

(1) Hadis Ali as.

عن علي رضي الله عنه قال: دخلنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلنا : يا رسول الله استخلف علينا . قال : إن يعلم الله فيكم خيراً يول عليكم خيركم . فقال علي رضي الله عنه : فعلم الله فينا خيراً فولّى علينا خيرنا أبا بكر رضي الله عنه . رواه الدار قطني .

“Dari Ali ra. ia berkata, “Kami masuk menemui Rasulullah saw. lalu kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, tunjuklah seorang pengganti (Khalifah) yang memimpin kami.’ Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Jika Allah mengetahui pada kalian ada kebaikan pastilah Allah mengangkat seorang yang terbaik untuk memimpin kalian.’ Maka Ali ra. berkata, ‘Allah mengetahui bahwa pada kami ada kebaikan maka Allah mengangkat orang terbaik kami yaitu Abu Bakar ra. untuk memimpin kami.’” (HR. ad Dâruquthni)

وهذا أقوى حجة على من يدّعي موالاة علي رضي الله عنه،

“Dan ini adalah paling kuatnya hujjah melawan orang yang mengaku mengikuti Ali.”


Ibnu Jakfari berkata:

Ini adalah hadis pertama dari dalil-dalil tekstual -sperti yang akan saya sebutkan satu persat- yang dibanggakan Ibnu Abdil Wahhâb –Pendiri Sekte Wahhâbi- dalam menegakkan legalitas kekhilafahan Abu Bakar. Dan dengan sedikit bermodal kesabaran dan sedikit ketelitian saja, serta tidak harus menjadi seorang “Pakar Hadis” Anda pasti dapat membuktikan betapa palsu hadis-hadis di atas yang diatas-namakan Rasulullah saw.

Hadis-hadis yang ia banggakan sebagai bukti kuat dan membungkam mulut-mulut lawan itu ternyata saling kontradiksi antara satu dengan lainnya, selain realita sejarah dan perjalanan peristiwa-peristiwa membuktikan kebohongannya, serta tanda-tanda kepalsuannya begitu kentara! Disamping tentunya bertolak-belakang dengan dogma Wahhabi sendiri!

Agar Anda tidak menuduh saya mengada-ngada dalam menvonis palsu atas hadis-hadis di atas, mari kita teliti satu persatu hadis-hadis tersebut!

Namun sebelumnya ada satu hal yang patut diutarakan dan harus senantiasa diingat dan diindahkan dalam mendiskusikan masalah-masalah yang diperselisihkan antara Syi’ah dan kelompok-kelompok lain di luar Syi’ah, khususnya kaum Wahhabi yang akhir-akhir ini getol membawa Panji Permusuhan dan Pengafiran terhadap kaum Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah Itsnâ Asyariyyah! Yaitu tentang “aturan main” dan etika berdialoq!

Sepertinya masalah yang satu kurang dimengerti atau memang sengaja tidak mau dimengerti, atau sengaja diabaikan dan tidak “digubris” oleh sebagian besar mereka yang gemar menghujat dan menggugat Syi’ah dan ajarannya. Yaitu mengenai kesepakatan akan argument yang boleh dijadikan pijakan dalam berdiskusi! Tentunya dalil yang berhak masuk ke dalam rana diskusi adalah dalil yang telah disepakati terlebih dahulu kehujjahannya oleh kedua belah pihak yang akan berdiskusi! Bukan hanya dalil yang dipercaya oleh satu pihak saja, sementara pihak lainnya tidak mengakuinya!

Di sini, dalam kesempatan ini Anda berhak terheran-heran ketika menyaksikan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dalam gugatan dan hujatannya atas kaum Syi’ah yang tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan dalam upaya ngototnya (namun sayang sia-sia) dalam menegakkan keabsahan Khilafah Abu Bakar … dalam semua itu ternyata Imam Sekte Wahhâbi ini hanya berdalil dengan dalil-dalil yang hanya berlaku di kalangan kelompoknya… legalitasnya tidak pernah disepakati oleh Syi’ah! bahkan rata-rata hadis andalannya itu ternyata telah divonis lemah, munkar, lâ yashihhu/tidak shahih, lâ ashla lahu/tidak punya asal muassal, bahkan tidak jarang yang maudhû’/palsu. Ia hanya pandai mencecer hadis-hadis dan kemudian memaksa Syi’ah untuk menerima konsekuaensi darinya, sementara itu hadis-hadis itu hanya ada dalam kitab-kitab selain Syi’ah dan Syi’ah sama sekali tidak pernah mengakuinya tidak juga kebanyak pakar ahli hadis Ahlusunnah!

Tentunya etika seperti itu sangat jauh dari inshâf, jauh dari obyektifitas diskusi! Semestinya Imam kaum Wahhabi itu mampu membongkar akar akidah Syi’ah melalui riwayat-riwayat Syi’ah sendiri dan menegakkan pondasi Kekhalifahan Abu Bakar di atas dalil-dalil dan hadis-hadis yang diakui Syi’ah karena, misalnya ia termaktub dalam kitab standar andalan mereka! Seperti yang selama ini dilakukan ulama Syi’ah!

Sebab jika etika berdialoq ini tidak ia indahkan, maka apakah ia siap dan sudi menerima dalil-dalil dari kitab-kitab Syi’ah yang diajukan ulama mereka untuk menegakkan pondasi akidah mereka tentang Imamah Ali dan Ahlulbait as.

Apakah jika ulama Syi’ah mengatakan bahwa keyakinan kami tentang Imamah adalah bahwa Nabi telah menunjuk Ali dan Ahlulbait as. sebagai pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi saw. dan siapapun yang menyerobot Ali as. berarti Khilafahnya tidak sah! Semua itu berdasarkan hadis-hadis yang telah diriwayatkan para ulama kami dalam kitab-kitab mereka! Apakah jika hal itu dilakukan ulama Syi’ah, Ibnu Abdil Wahhâb akan menerimanya? Atau justru ia akan mengatakan bahwa, itu adalah hadis-hadis ulama kamu! Kami tidak akan menerimanya! Datangkan hadis-hadis dari riwayat kami, agar kami mau menerimanya! Bukankah demikian sikap yang akan ia tampilkan?! Lalu sekarang mengapakah kaum Syi’ah harus dipaksa menerima hadis-hadis yang hanya diriwayatkan melalui jalur-jalur selain Syi’ah yang kandungannya bertentangan dengan keyaknan dan akidah Syi’ah?!

Jadi semestinya, jika Ibnu Abdil Wahhâb bernafsu untuk menegakkan bukti-bukti kekhilafahan Abu Bakar, ia harus membutkikan dari riwayat-riwayat Syi’ah! sebab dengan demikian ia berhak memaksa kaum Syi’ah untuk menerimanya secara konsekuen hadis-hadis yang ternyata telah diriwayatkan dan dishahihkan para ulama mereka sendiri. Sebagaimana apabila kaum Syi’ah hendak bermaksud menegakkan bukti-bukti imamah Ali dan Ahlulbait as. dan atau membuktikan ketidak-sahan khilafah selain Ali as. maka hendaknya mereka membuktikannya dari riwayat-riwayat ulama kelompok yang menjadi lawan dialoq mereka!

Tetapi sekali lagi saya katakan sangat disayangkan ternyata Ibnu Abdil Wahhâb, seperti juga kebanyakan ulama lainnya yang menghujat dan mengguat Syi’ah tidak pernah mengindahkan etika positif ini…. Mereka hanya mau menang sendiri… maka akibatnya hanya kerancaun dan hilangnya panji-panji kebanaran di tengah-tengah huruk-pikuk kegaduhan!

Dan perlu saya sampaikan juga bahwa sejatinya tidak ada kuwajiban atas saya untuk menanggapi dalil-dalil (hadis-hadis) yang ia ajukan sebab ia riwayat selain Syi’ah yang tidak ada hak baginya untuk memaksa kaum Syi’ah agar menerimanya dan meninggalkan keyakinan yang telah mereka tegakkan di atas dasar hadis-hadis Ahlulbait as. yang telah mereka riwayatkan dengan sanad yang shahih. Kalaupun saya menanggapinya sekarang ini, itu murni karena kebaikan sikap saya yang masih mau meluangkan waktu untuknya! Sama sekali tidak ada kewajiban atas saya, baik wajib aqli maupun wajib akhlaqi!

Setelah ini semua marilah kita kembali meneliti hadis-hadis di atas.


Ahlusunnah Sepakat Tidak Ada Nash Penujukan Dari Nabi saw!

Hal mendasar yang akan membubarkan angan-angan Imam Wahhabi kali ini ialah bahwa termasuk hal yang telah disepakati para pembesar ulama Ahlusunnah adalah bahwa Nabi saw. tidak pernah menujuk siapa Khalifah sepeninggal beliau saw. Ketarangan al Îji sebelumnya telah menegaskan hal itu!

Ada sebuah stitmen penting dan mendasar yang disampaikan Umar –selaku Khalifah kedua- ketika ia diminta para sahabat untuk menunjuk seorang Khalifah yang akan mengantikan posisinya setalah mati nanti, maka ia berkata, ”Jika aku tidak menunjuk seorang pengganti maka ketahuilah bahwa Rasulullah juga tidak menunjuk seorang pengganti dan jika aku menunjuk maka Abu Bakar telah menunjuk.”[1]

Dan di saat-saat terakhir menjelang kematiannya, ketika ada yang mengatakan kepaanya, “Jangan Anda biarkan umat Muhammad tanpa pengembala, tunjuklah seorang pemimpin!” Umar ibn al Khaththâb menjawab, “Jika aku membiarkan maka ketahuilah bahwa orang yang lebih baik dariku (Rasulullah saw. maksudnya) telah membiarkan dan jika aku menunjuk seorang pengganti maka sesungguhnya seorang yang juga lebih baik dariku (Abu Bakar maksudnya) telah menunjuk.”[2]

Selain bukti di atas, Anda dapat menemukan bagaimana Abu Bakar -selaku Khalifah pertama- juga berandai-andai jika ia dahulu bertanya kepada Rasulullah saw. siapa yang berhak atas jabatan kekhalifahan ini dan apakah kaum Anshar memiliki hak untuk menjabat atau tidak. Abu Bakar berkata, “Saya ingin andai dahulu aku bertanya kepada Rasulullah untuk siapa perkara (khilafah) ini sehingga ia tidak direbut oleh seorangpun yang bukan ahlinya? Aku ingin andai aku bertanya, apakah orang-orang Anshar mempunyai hak dalam perkara ini?.”[3]

Umar juga menyesal karena tidak sempat bertanya kepada Rasulullah saw. tentang tiga perkara, yang andai ia mengetahuinya pasti itu lebih ia sukai dari onta berwarna kemerah-merahan atau seperti dalam redaksi lebih ia sukai dari dunia dan seisinya, yaitu siapa Khilafah sepeninggal beliau, tentang hukum waris Kalalah dan hukum riba’.[4]

Semua itu adalah bukti konkrit bahwa baik Abu Bakar maupun Umar tidak pernah mengetahui barang satu huruf pun dari nash-nash penunjukan tersebut. Terlebih lagi jika Anda memperhatikan argumentasi yang diajukan Abu Bakar dan Umar dalam rapat Saqifah… . Sama sekali tidak menyebut-nyebut adanya nash/penunjukan itu!

Adapun riwayat-riwayat yang dibanggakan Ibnu Abdil Wahhâb maka perlu diketahui di sini bahwa para pembesar ulama Ahlusunnah telah menegaskankan kebatilan sebagian besar darinya!

o Riwayat Pertama:

Adapun riwayat pertama maka ia tertolak dengan alasan di bawah ini:

1) Imam Ali as. tidak memberikan baiat selama enam bulan

Berdasarkan riwayat-riwayat shahih yang telah saya sebutkan sebelumnya dari riwayat Imam bukhari, Muslim dan para pembesar ahli hadis lainnya yang mengatakan bahwa Imam Ali as. tidak memberikan baiat kepada Abu Bakar selama enam bulan, sebab beliau menganggap Abu Bakar bersikap semena-mena dalam hal ini. Jika benar Imam Ali as. telah mendengar Nabi saw. bersabda demikian pastilah beliau orang pertama yang akan bergegas membaiat Abu Bakar dan tidak akan membiarkan Fatimah istrinya menentang Abu Bakar dan menolak memberikan baiat!


2) Abu Bakar mengaku ia bukan orang yang paling baik

Sumber-sumber terpercaya Ahlusunnah menukil bahwa segera setelah diangkat sebagai Khalifah, Abu Bakar berpidato dan berkata, “Sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pemimpin atas kalian sementara aku ini bukan orang terbaik kalian.”[5]

Dan ini adalah bukti nyata bahwa Abu Bakar tidak menilai dirinya memiliki keunggulan di atas lainnya seperti yang ramai-ramai diklaim oleh pengikutnya.


3) Umar menuduh baiat Abu Bakar adalah faltah

Dalam sebuah kesempatan, Umar menyatakan di hadapan khalayak ramai ketika berpidato bahwa pembaiatan atas Abu Bakar itu terjadi secara faltah, tergerah-gesah, akan tetapi menyelamatkan umat dari dampak buruknya.


Referensi:

[1] Baca Shahih Bukhari,9/100, pada Kitabu al Ahkâm, Bab al Istikhlâf dan Shahih Muslim, 3/1454 bab al Istikhlâf wa tarkihi, Hilyah al Auliyâ’,1\44, as Sunan al Kubrâ, 8\149 dll.
[2] Murûj adz Dzahab; as Mas’udi,:2\253. Dâr al Fikr.
[3] Tarikh ath Thabari:4\53dan al Iqd al Farîd,2\254.
[4] Musnad Imam Ahmad,1/35, Tafsir al Qurthubi,6/30, Al Bidayah wa an Nihayah,3/247 dan Sunan al Baihaqi,8/149. Hadis serupa juga dapat Anda jumpai dalam tafsir Ibnu Katsir,1/595 dari riwayat al hakim dengan sanad shahih bertdasarkan syarat Bukhari&Muslim.
[5] Al Kâmil fi at Târîkh,2/232, Târîkh ath Thabari,3/210 dan at Tamhîd:487.


o Hadis Jubair ibn Muth’im

وعن جُبير بن مطعم قال : ” أتت امرأة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأمرها أن ترجع اليه ، فقالت : إن جئت ولم أجدك – كأنها تقول الموت – ، قال : إن لم تجديني فأتي أبا بكر” رواه البخاري ومسلم .

“Dari Jubair ibn Muth’im ia berkata, “Ada seorang wanita datang menemui Nabi saw. lalu beliau memerintahkannya agar kembali kepada beliau di waktu lain, maka wanita itu berkata, ’Jika aku datang lalu tidak mendapatimu –maksudnya beliau wafat-, bagaimana? Maka Nabi bersabda, “Jika engkau tidak mendapatiku maka datangi Abu Bakar.’” (HR. Bukahri & Muslim)


(1) Hadis Ibnu Abbas

وعن إبن عباس رضي الله عنه قال : جاءت إمرأة إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم تسأله شيئاً ، فقال : تعودين ، فقالت : يا رسول الله إن عدت فلم أجدك – تعرض بالموت – ، فقال : إن جئت فلم تجديني فأتي أبا بكر فإنه الخليفة بعدي ” رواه إبن عساكر .

“Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata, “Ada seorang wanita datang menemui Rasulullah saw. untuk meminta sesuatu, lalu beliau bersabda, ‘Kembalilah di waktu lain!’ Ia berkata, ‘Jika aku kembali lalu aku tidak mendapatimu –mati maksudnya-. Maka beliau bersabda, ‘Jika engkau kembali dan tidak mendapatiku maka datangi Abu Bakar, karena sesungguhnya ia adalah Khalifah setelahku.’” (HR. Ibnu ‘Asâkir)


Ibnu Jakfari Berkata:

Adapun dua riwayat tersebut adalah bertolak belakang dengan riwayat shahih yang deriwayatkan melalui jalur para parawi yang tsiqah dari Dzuaib bahwa, “Ketika Nabi saw. menjalang wafat, Shafiyyah (istri beliau) berkata, ‘Wahai Rasulullah, semua istri Anda memiliki keluarga yang menjadi tempat berlindung mereka, sedangkan engkau telah mendeportasi keluargaku, lalu jika terjadi apa yang terjadi (wafat maksudnya), kepada siapakah aku ini berlindung?’ Maka rasulullah saw. bersabda, ‘Kepada Ali ibn Abi Thalib.’”

Baca Majma’ az Zawâid,9/112-113, ia berkata, “Hadis ini diriwayatkan ath Thabarani dan seluruh perawinya adalah perawi hadis shahih.”

Hadis shahih riwayat Ahlusunnah ini menjadi hujjah kuat kami bahwa Nabi saw. telah menyerahkan urusan kaum Muslimin termasuk para istri beliau, sepeningal beliau kepada Ali ibn Abi Thalib, setelah beliau menetapkannya sebagai Pemimpin Tertinggi umat ini.

Selain itu, riwayat keempat dari Ibnu Abbas ra. yang juga disebutkan dalam ash Shawâiq-nya:11 sebagai bukti yang menunjukkan Khilafah Abu Bakar tanpa sanad sangat bertentangan dengan banyak hadis riwayat Ibnu Abba ra. lainnya yang tegas-tegas mengatakan bahwa Imam Ali as., seperti hadis riwayat Ibnu Abbas ra. bahwa Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya dia (Ali) adalah saudaraku, washiku (pengemban wasiat kepemimpinanku), dan Khalifahku sdi tengah-tengah kalian, maka dengar dan ta’ati dia!” dan hadis “Tidak sepatutunya aku pergi kecuali engkau hai Ali sebagai Khalifahku.”

Bukankah Ibnu Abbas ra. seperti juga ayah dan keluarganya termasuk orang pertama yang enggan membaiat Abu Bakar?! Semua bukti tersebut akan membohongkan penukilan itu dari Ibnu Abbas ra. dan juga penukilann dari Jubair ibn Muth’im!


Di antara hadis-hadis palsu itu adalah:

o Hadis Ibnu Umar

وعن إبن عمر رضي الله عنهما قال :” سمعت رسول الله يقول : يكون خلفي إثنا عشر خليفة ، أبو بكر لا يلبث إلا قليلا ” رواه البغوي بسند حسن .

“Dari Ibnu Umar ra. ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Akan datang setelahku dua belas Khalifah. Abu Bakar tidak akan lama menjabat.’” (HR. al Baghawi dengan sanad hasan)

Adapun riwayat keempat dari Ibnu Umar yang menyebut-nyebut jumlah para Khalifah sepeninggal Nabi saw. adalah dua belas, dan nama Abu Bakar secara khusus disebut dibelakangnya adalah bagian dari riwayat yang menyebut setelahnya nama Umar yang akan terbunuh sebagai syahid dan nama Utsman yang akan dipaksa oleh umat untuk menaggalkan busana kekhalifahan yang Allah kenakan padanya, yang dikatakan Ibnu Abdil Wahhâb sebagai riwayat al Baghawi dengan sanad hasan, maka perlu diketahui bahwa tambahan itu adalah maudhû’ (palsu).

Hadis tersebut adalah dari riwayat al Baihaqi sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir dalam Târîkh-nya,6/206 lengkap denga sanadnya. Dan pada mata rantai sanadnya terdapat nama-nama perawi bermasalah sebagai berikut:
A) Abdullah ibn Shâleh si pembohong besar, al Kadzdzâb.
B) Rabî’ah ibn Saif.

Imam Bukhari berkomentar tentangnya, “Ia banyak memiliki hadis-hadis munkar, manâkîr.”

Adz Dzahabi menyebutkan hadis tersebut dalam kitab al Mîzân-nya dari riwayat Yahya ibn Ma’in lalu berkata, “Saya terheran-haran terhadap sikap Yahya ibn Ma’in, padahal ia orang yang agung dan teliti, bagaimana ia meriwayatkan hadis batil seperti itu lalu mendiamkannya. Dan Rabî’ah adalah pemilik hadis-hadsi munkar dan yang aneh-aneh.”[1]

Jadi, atas dasar apa ia mengatakan bahwa sanad riwayat tersebut sanadnya hasan?

Selain itu telah datang banyak riwayat shahih tanpa menyebut tambahan pada bagain akhir riwayat.

Para ulama Syi’ah Imamiyah berhujjah dengan hadis-hadis tersebut bahwa dua belas Khalifah yang dimaksud adalah para Imam suci dari Ahlulbait Nabi saw., diawali oleh Imam Ali ibn Abi Thalib, Imam hasan dan Imam Husain serta kesembilan dari keturunan Imam Husain yang ditutup dengan Imam al Mahdi; Muhammad ibn Hasan al Askari as., seperti dapat dibuktikan kebenarannya dalam riwayat-riwayat Ahlusunnah sendiri di antaranya adalah:

أنا سيد النبيين و علي سيد الوصيين , و إن اوصيائي يعدي إثنا عشر أولهم علي و آخرهم القائم المهدي.

“Sesungguhnya aku adalah penghulu para nabi dan Ali penghulu para washi.Dan sesungguhnya para washiku sepeninggalku ada dua belas yang pertama adalah Ali dan yang terakhir adalah al Qaim al Mahdi.”[2]

Sementara itu, selain Syi’ah hingga sekarang masih belum menemukan kata sepakat siapa yang dimaksud dengan dua belas Khalifah itu!


Dua Belas (12 Imam) Khalifah!

Pada mathlab tentang dibatasinya Khilafah hanya pada dua belas orang, Syeikh Ibnu Abdul Wahhâb menuliskan ketarangan sebagai berikut:

ومنها دعواهم إنحصار الخلافة في إثني عشر فإنهم كلهم بالنص والابصار عمن قبله وهذه دعوى بلا دليل مشتملة على كذب فبطلانها أظهر من أن يبين ويتوسلون بها إلى بطلان خلافة من سواهم ، في ذلك تكذيب لنصوص واردة في خلافة الخلفاء الراشدين وخلافة قريش .

“Di antara kesesatan Syi’ah adalah klaim mereka bahwa Khilafah hanya terbatas pada dua belas Khalifah, dan mereka semuanya ditetapkan berdasarkan nash/ penunjukan dari Khalifah sebelumnya. Ini adalah klaim tanpa dalil, lagi memuat kebohongan. Kebatilannya lebih terang untuk harus diterangkan. Dengannya mereka mencari bantuan untuk membatalkan Khilafah selain dua belas Khalifah (Imam) mereka. Pada yang demikian terdapat pengingkaran terhadap nash-nash yang datang tentang khilafah para Khulafâ’ yang Rasyidin dan Khilafah Quraisy.”


Ibnu Jakfari berkata:

Adapun tuduhannya bahwa klaim Syi’ah tanpa dalil, maka itu hanya sekedar klaim batil tanpa dalil, seperti akan kami buktikan bahwa klaim Syi’ah justru sesuai dengan dalil! Selain itu, saya tidak mengerti mengapa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb tidak mau membebani dirinya untuk membuktikan kepalsuan klaim Syi’ah dan hanya mencukupkan diri dengan mengatakan bahwa “kebatilannya lebih terang untuk harus diterangkan” bukankah sikap pasif itu membuktikan ketidak-mampuannya mematahkan argumentasi-argumentasi pandangan Syi’ah yang didukung oleh dalil-dalil shahih dan kuat?!

Sabda Nabi saw. Bahwa Jumlah Khalifah Sepanjang Usia Umat Islam adalah dua Belas!

Banyak sekali hadis yang telah diriwayatkan dan dishahihkan para muhaddis dan ulama Ahlusunnah, di antaranya adalah para penulis Shihâh, Musnad, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud, Imam Ahmad, al Hakim dkk. bahwa jumlah pemimpin/Khalifah adalah dua belas, tidak lebih tidak kurang, semuanya dari suku Quraisy. Tidak ada perbedaan kecuali dalam redaksi: Khalifah atau Amîr atau Rajul atau Qayyim.

Di bawah ini akan saya sebutkan sebagian darinya:

o Hadis Bukhari:

Dari Jabir ibn Samurah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:

يكونُ اثْنا عشرَ أميرًا

“Akan ada dua belas Amir.”

Lalu beliau mengucapkan sebuah kalimat yang aku tidak mendengarnya, lalu ayahku berkata, “Nabi saw. bersabda:

كُلُّهُمْ مِنْ قُريش.

“Semuanya dari suku Quraisy. ”[3]



o Hadis Mulsim:

Imam Muslim meriwayatkan beberapa riwayat tentangnya, di antara dari Jabir bin Samurah, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah bersabda:

لا يزالُ الدينُ عزيزا مَنِيْعًا إلى اثني عشر خليفةً

“Agama ini senantiasa akan jaya dan terpelihara hingga berlalu dua belas Khalifah.”

Lalu beliau menyampaikan sebuah kata yang aku dibuat tuli (tidak mendengarnya) oleh orang-orang! Aku bertanya kepada ayahku, “Apa yang beliau sabdakan?” Ia menjawab:

كُلُّهُمْ مِنْ قُريش.

“Semuanya dari suku Quraisy.”[4]

Jabir ibn Sarumah, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:

لا يزالُ الإسْلاَمُ عزيزاً إلى إثْنَيْ عشر خليفَةً.

“Agama Islam senantiasa akan berjaya hingga berlalu dua belas Khalifah.”

Kemudian beliau berkata sebuah kata yang tidak kufahami, lalu aku bertanya kepada ayahku, “Apa yang beliau sabdakan?” Ia menjawab, “B eliau bersabda:

كُلُّهُمْ مِنْ قُريش.

“Semuanya dari suku Quraisy!.”

Hadis-hadis serupa juga telah diriwayatkan oleh Imam at Turmudzi dalam Sunan-nya, Abu Daud dalam Sunan-nya, al Hakim dalam al Musdatrak-nya, ath Thabarâni dalam al Mu’jam al Awsath-nya dkk.

Sebagian ulama di luar mazhab Syi’ah merasa kebingungan memaknai hadis-hadis di atas, sehingga pada akhirnya tidak sedikit yang memaksa diri menyebutkan tafsir dan pemaknaan yang tidak bertanggung jawab, sebagaimana sebagian lainnya menyerah dan mengaku tidak memahami apa sebenarnya maksud sabda Nabi saw. tersebut.

Ibnu al Jawzi –salah seorang alim yang tidak jarang dibanggakan kaum Wahhâbi- bertaka, “Aku telah lama merenungkan dan meneliti maksud hadis ini dan mencari tau tentangnya diberbagai tempat yang mungkin memberikan jawabannya, akan tetapi aku tidak mendapatkan kejelasan maksud dari hadis itu.”[5]

Adapun Ibnu Taimiyyah –panutan utama pendiri sekte Wahhabi- dengan tegas mengatakan bahwa yang dimaksud dengannya bukanlah dua belas Imam dari Ahlulbait as. yang diyakini Syi’ah! Dan salahlah sebagian orang Ahli Kitab (Yahudi) yang menganggap bahwa dua belas Khalifah itu adalah para imam Syi’ah. Ibnu Katisr menukil pendappat gurunya; Ibnu Taimiyah sebagai berkata, “Guru, Syeikh kami Allamah Abu al Abbas ibn Taimiyyah berkata, ‘Mereka yang dikabar-gembirakan dalam hadis Jabir ibn Samurah dan ditetapkan bahwa mereka akan berpencar di antara umat (Islam), dan kiamat tidak akan terjadi sehingga kedua belas itu ada. Dan salahlah banyak orang yang berkohormatan memeluk Islam dari kaum Yahudi maka mereka menganggap behwa mereka itu (dua belas Khalifah/Amir) itu adalah para imam yang dianjurkan kaum Rafidhah, lalu mereka (orang-orangYahudi) itu mengikutinya.”[6]

Jika demikian, lalu siapakah dua Khalifah yang dikabar-gemnbirana Allah dan Rasul-Nya akan membawa kejayaan Islam menurut Ibnu Taimiyyah? Di sini Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa mereka itu adalah: 1) Abu Bakar, 2) Umar, 3) Utsman, 4) Ali. Kemudian berkuasalah pemimpin yang disepakati umat Islam dan ia mendapat kejayaan dan kekuatan, yaitu, 5) Mu’awiyah, 6) Yazid putra Mu’awiyah, 7) Abdul Malik ibn Marwan, dan keempat pelanjutnya dari keturunannya, di antara adalah Umar ibn Abdul Aziz. Setelah itu terjadilah di negri Islam apa yang terjadi hingga sekarang.

Sesunggunya bani Umayyah telah berkuasa di seantero penjuru dunia Islam. Kekuasaan di masa mereka berjaya. … Mereka itulah dua belas Khalifah yang telah disebutkan dalam Taurat ketika mengabar-gembirakan kepada Ismail bahwa akan lahir dari keturunannya dua belas pemimpin.”[7]

Kabar gembira yang ia maksudkan adalah apa yang tertera dalam kitab Perjanjian Lama, Kejadian:17;20. Allah berfirman: “Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas raja, dan Aku akan membuatnya menjadi bangsa yang besar.”

Jadi dalam pandangan Ibnu Taimiyyah –Salaf dan rujukan utama kaum Wahhabi- Mu’awiyah dan putranya Yazid, Abdul Malik ibn Marwan –si jagal yang haus darah-, Sulaiman ibn Abdil Malik dkk adalah termasuk pribadi-pribadi agung yang telah dikabar-gembirakan Allah kepada Nabi Ismail dan kemudian juga dikabar-gembirakan dan dibanggakan oleh Rasulullah saw… dalam banyak sabdanya.

Mungkinkah Allah memberkati Yazid yang dengan kejam dan penuh nafsu setan membantai mkeluarga suci Rasulullah saw. di padang Karbala?! Akal sehat siapam yang eken menerima omongan bahwa Allah telah memberkati Mu’awiyah yang dengan tanpa iman memerangi Khalifah yang sah; Ali ibn Abi Thalib as. dan membunuh dengan darah dingi para sahabat Nabi saw. serta sebagai Penganjur kepada api nereka, seperti disabdakan Nabi saw. sendiri?!

Dan apakah …?! Dan apakah….?!


Referensi:

[1] Mîzân al I’tidâl,2/48.
[2]Yanâbi’ al Mawaddah :Bab :77 :3\105
[3] Shahih Bukhri, Kitabul Ahkâm, Bab al Istikhlâf,8/127.
[4] Shahih Muslim, 6/3.
[5] Fath al Bâri; Ibnu Hajar al ‘Asqallâni,13/181.
[6] Al Bidayah wa an Nihayah,6/250.
[7] Minhaj as Sunnah, 8/238.


Di antara hadis-hadis palsu yang kerap kali dijadikan oleh sebagian musuh Syi’ah –di antaranya adaalah Pendiri Sekte Wahhabi; Ibnu Abdil Wahhab an Najdi- hujjah untuk menegakkan kebsahan kekhalifahan Abu Bakar adalah hadis riwayat sahabat Anas ibn Malik di bawah ini:

بعثني بنو المصطلق إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أسأله إلى من ندفع صدقاتنا بعدك . فقال : إلى أبي بكر. رواه الحاكم وصححه.

“Suku bani Mushthaliq mengutusku kepada Rasulullah saw. agar aku bertanya kepada beliau kepada siapa kami menyetor harta (hasil bumi) desa Fadak sepeninggal Anda nanti. Maka beliau bersabda, ‘Kepada Abu Bakar.’” (HR Al Hakim dan ia menshahihkannya.)


Ibnu Jakfari berkata:

Pertama yang membuktikan kepalsuan hadis ini adalah adanya kesepakatan Ahlusunnah bahwa Nabi saw. tidak pernah menunjuk seorang Khalifah yang akan menggantikan beliau dalam memimpin umat ini. Sedangkan riwayat tersebut menetapkan adanya penunjukan itu!

Selain itu teks/matan hadis itu sangat mengundang kecurigaan adanya rekayasa dari para pemalsu dengan tujuan yang bias jadi mereka anggap baik, yaitu mendukung kekhilafahan Abu Bakar, Umar dan Utsman dengan dalil tekstual/nash.

Riwayat itu adalah potongan dari riwayat panjang yang menyebut-nyebut Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman.

Coba Anda perhatikan lanjutan riwayat di atas dalam riwayat al Hakim:

“…. Kemudian aku datangi mereka (kaum Yahudi bani Mushthaliq) dan aku kabarkan kepada mereka. Mereka berkata, ‘Kembalilah kepadanya dan tanyakan jika terjadi terhadap Abu Bakar sesuatu kejadian (mati), kepada siapa?’ Maka aku datangi lagi beliau dan aku tanyakan, maka beliau bersabda, ‘Kepada Umar.’ Kemudian aku datangi mereka dan aku kabarkan kepada mereka. Mereka berkata, ‘Kembalilah kepadanya dan tanyakan jika terjadi terhadap Umar sesuatu kejadian (mati), kepada siapa?’ Maka aku datangi lagi beliau dan aku tanyakan, maka beliau bersabda, ‘Kepada Utsman.’ Kemudian aku datangi mereka lalu aku kabarkan kepada mereka. Mereka berkata, ‘Kembalilah kepadanya dan tanyakan jika terjadi terhadap Utsman sesuatu kejadian (mati), kepada siapa?’ Maka aku datangi lagi beliau dan aku tanyakan, maka beliau bersabda, ‘Jika terjadi atas Utsman kejadian maka benar-benar celaka masa ini untuk kalian.”[1]

Hadis-hadis yang menyebutkan urutan seperti itu dapat dipastikan kepalsuannya, ia adalah buatan kaum Al Bakriyah untuk menandingi hadis-hadis penunjukan Imam Ali as., seperti ditegaskan para ulama Ahlusunnah sendiri.

Ibnu al Jauzi berkata, “Dan sebagian kaum yang tidak ada harganya di sisi Allah telah bersikap fanatik, mereka mengaku berpegang teguh dengan Sunnah, lalu mereka memalsu atas nama Nabi saw. hadis-hadis keutamaan untuk Abu Bakar.”[2]


Siapakah mereka itu yang Ibnu Jauzi maksud kalau bukan kaum al Bakriyah?

Ibnu Abil Hadid al Mu’tazili menerangkan, “Dan ketika kaum Al Bakriyah menyaksikan apa yang dilakukan kaum Syi’ah[3], maka mereka memalsu hadis-hadis keutamaan untuk Abu Bakar untuk menghadapi hadis-hadis keutamaan Ali itu… “[4]
Setelahnya ia menyebutkan beberapa contoh hadis-hadis palus produk kaum Al Bakriyah itu, dan di antaranya adalah hadis senada dengan hadis nomer sembilan di bawah ini.


Referensi:

[1] Al Mustadrak,3/77. Dar al Fikr, Thn.1398 H/1978 M.
[2] Al Maudhû’ât,1/303.
[3] Di sini perlu saya katakana bahwa apa yang dilakukan kaum Syi’ah tidak lebih dari berargumen dengan hadis-hadis shahih tentang keutamaan Imam Ali as. yang telah diriwayatkan dan dishahihkan para ulama Ahlusunnah sebagai bukti imamah dan hak kepemimpinan Ali as, baik dengan penujutuk jelas atau secara tersirat. Jadi apa yang salah dari para ulama Syi’ah?! Kaum Syi’ah tidak mengada-ngada atau memalsu hadis-hadis tersebut! Sebab hadis-hadis itu telah diriwayatkan melalui jalur-jalur Sunni dan dishahihkan para ulama berdasarkan syarat-syarat yang diterima!
[4] Syarah Nahjul Balaghah,11/49.


Di antara riwayat-riwayat yang tak henti-hentinya dibanggakan sebagian penentang konsep Imamah Ali ibn Abi Thalib as. seperti Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb; pendiri Sekte Wahhâbiyah dkk. Yang mengatakan bahwa Nabi saw. menuliskan wasiat penunjukan atas Abu Bakar, sebab beliau saw. khawatir akan ada orang yang menginginkan jabatan itu. Kerena Allah dan Rasul-Nya serta kaum Mukmin hanya menghendaki Abu Bakar bukan selainnya! Tidak Ali as. atau selainnya! Yang kemudian mereka simpulkan bahwa sesiapa yang enggan mengakui Khilafah Abu Bakar ash Shihddîq berarti ia benar-benar telah keluar dari keimanan alias kafir, munafik atau terserah Anda menyebutnya!

Riwayat itu adalah sebagai berikut:

وعن عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم في مرضه الذي مات فيه ادعي لي أباك وأخاك حتى أكتب كتاباً فإني أخاف أن يتمنى متمن ويقول قائل : أنا أولى ، ويأبى الله و المؤمنون إلا أبابكر. رواه مسلم وأحمد.

“Dari Aisyah ra. ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda di sa’at sakit yang mengantarkan kepada kamatiannya, ‘Panggilkan ayahmu dan saudaramu untukku agar aku menulis sepucuk surat, karena aku khawatir ada seorang yang menginginkan dan berkata, ‘Aku lebih berhak atas Khilafah.’ Semantara Allah dan oraang-orang yang beriman tidak memaukan kecuali Abu Bakar.” (HR Muslim dan Ahmad.)

Setelah membawakan riwayat di atas, Ibnu Abdil Wahhâb an Najdi (pendiri sekte Wahhabiyah) menyimpulkan:

وهذا الحديث يُخرج من يأبى خلافة الصديق عن المؤمنين .

“Dan hadis ini mengeluarkan siapa saja yang menolak Khilafah Abu Bakar ash Shiddîq dari kelompok kaum Mukminin!”


Ibnu Jakfari:

Demikianlah mereka hendak menyimpukan sebuah kesimpulan serius yang menvonis kafir dan keluar dari lingkaran kaum Mukminin sesiapa yang enggan atau menolak menerima kekhalifahan Abu Bakar –putra Abu Quhafah-!!

Sementara hadis itu penuh masalah!

Pertama yang perlu kita ketahui adalah:

A) Hadis itu telah menvonis kafir/keluar dari keimanan sesiapa yang enggan menerima kekhalifahan Abu Bakar, persis seperti yang disimpulkan Syeikh –dan itulah memang yang menjadi tujuan utama pembuatnya-… Dan itu artinya ia telah menvonis banyak pembesar sahabat Nabi saw. yang akhyâr/baik lagi istiqamah dari kalangan as Sâbiqînal awwâlîn, baik kaum Anshar maupun Muhajirin dari lingkaran keimanan… utamanya Ali ibn Abi Thalib –Khalifah keempat kaum Muslimin-, paling utamanya umat setelah ketiga Khalifah (menurut Ahlusunnah)-. Sebagaimana telah ditegaskan Siti Aisyah akan keengganan beliau menerima kekhilafahan Abu Bakar, seperti telah lewat saya buktikan! Sebagaimana juga hadis itu menvonis keluar dari lingkaran keimanan seluruh Bani Hasyim, seperti ditegaskan az Zuhri bahwa tidak seorang pun dari Bani Hasyim memberikan baiat dan mengakui Abu Bakar selama enam bulan![1] Seperti juga para pengikut setia Imam Ali as., seperti Ammar ibn Yasir, Zubair ibn Awwam, Miqdad ibn Aswad, dkk.

B) Kalaupun mereka kemudian setelah bertahan enam bulan menentang kekhalifahan Abu Bakar memberikan baiat untuknya, maka di sini perlu disadari bahwa,
(1) Apa nasib dan status Imam Ali dan mereka yang menentang kekhalifahan Abu Bakar selama enam bulan penentangan itu? Apakah kita menetapkan status kafir untuk mereka!? Lalu kapan mereka itu kembali memeluk Islam dan masuk ke dalam lingkaran keimanan? Dan apakah harus dengan mengucapkan syahadatain/dua kalimat syahadat plus dengan tambahan wa asyhadu anna Aba Bakr Khalifatu Rasulillah/dan aku bersaksi bahwa Abu Bakar adalah Khalifah Rasulullah!
(2) Sa’ad ibn Ubadah tetap pada pendiriannya menolak kekhalifahan Abu Bakar! Seperti juga putri kesayangan dan belahan jiwa Rasulullah saw.; Fatimah az Zahra as., apakah kaum Wahhâbi akan tegas dalam menvonis mereka kafir?!

C) Sejak kapan dan atas dasar apa keimanan kepada kekhalifahan Abu Bakar sebagai ushûluddîn dan sekaligus penentu keimanan? Bukankah menurut pandangan Teologi Sunni keimamahan adalah bagian dari furû’uddîn!? Mengapakah sedemikan kacaunya doqma-doqma kaum Nawâshib/para pembenci Ali dan Ahlulbait Nabi saw.?! mengapakah ketika berbohong atas nama Rasulullah saw. mereka tidak menggunakan sedikit kecerdasan mereka? Coba Anda perhatikan ayat-ayat Al Qur’an yang menetapkan criteria iman dan kafir, tidak sedikitpun menyinggung bahwa keimanan seorang bergantung kepada menerima atau menolak Khilafah Abu Bakar dan atau Umar! Perhatikan hadis-hadis tentang batasan-batasan iman dan kufur dalam Shahih Bukhari dan Muslim serta kitab-kitab Shihâh lainnya, adakah menerima atau menolak kekhalifahan Abu Bakar menjadi penentu, atau bahkan sedikit memberikan pengaruh atas keimanan dan kekafiran? Semua itu tidak akan pernah Anda temukan! Lalu mengapakan mereka membuat-buat kepalsuan atas nama agama? Kaburat kalimatan takhruju min afwâhihim!

D) Riwayat seperti di atas tidak lain hanya sekedar upaya konyol sebagian kaum pemalsu untuk menandingi hadis-hadis shahih yang telah diriwayatkan para ulama Ahlusunnah, utamanya Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang menegaskan bahwa Nabi saw. di detik-detik terakhir kehidupan beliau hendak menuliskan sebuah wasiat keselamatan terakhir untuk umat manusia, namun sebagian sehabat Nabi saw. yang sedang menjenguk beliau mengacaukan niatan itu dan menentangnya, sehingga beliau pun mengusir meraka! Di bawah ini akan saya sebutkan beberapa riwayat hadis Bukhari tersebut.
Hadis pertama:

Dari ibnu Abbas ra., ia berkata: Ketika sakit Nabi saw. kian parah, beliau bersabda, “Berikan kepadaku selembar kertas, akan aku tuliskan untuk kalian sebuah wasiat yang kalian tidak akan tersesat setelahnya.” Umar berkata, “Sesungghuhnya Nabi saw. telah dikuasai oleh sakitnya, dan kita sudah memiliki Kitab Allah, cukup bagi kita Kitab Allah”. Lalu para pengunjung berselisih dan terjadilah keributanpun, kemudian Nabi saw. bersabda, “Menyingkirlah kalian dariku! Tidak sepantasnya terjadi perselisihan (keributan) di hadapanku.”

Maka Ibnu Abbas keluar dan berkata, “Sesungguhnya bencana yang sebenar banar arti bencana ialah dihalanginya Rasulullah saw. dari penulisan wasiat beliau.”[2]


Riwayat kedua :

Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Ketika Rasulullah saw. terbaring sakit yang membawa wafat beliau dan ketika itu di dalam rumah ada banyak orang (pengunjung), di antara mereka ada Umar bin Khaththab, Nabi saw. bersabda, “Berikan kepadaku (selembar kertas), aku akan tuliskan untuk kalian sebuah wasiat yang dengannya kalian tidak akan tersesat.” Lalu Umar berkata, “Sesungguhnya ia telah dikuasai oleh sakitnya itu, dan kalian telah memliki Al Qur’an, cukup bagi kita Kitab Allah“. Maka berselisih dan ributlah penghuni rumah, di antara mereka ada yang berkata, ‘Berikan pada Rasulullah kertas itu agar beliau menulis wasiat yang dengannya kalian tidak akan tersesat selamanya.’ Dan di antara mereka ada yang berkata seperti ucapan Umar. Maka ketika berselisih dan banyak berbuat keributan serta perselisihan di hadapan Nabi saw., beliau bersabda, “Menyingkirlah kalian!!”

Ubaidullah berkata, “Ibnu Abbas berkata, “Bencana yang sebenar- benar bencana adalah dihalanginya Rasulullah saw. dari penulisan wasiat untuk mereka dikarenakan keributan dan perselisihan mereka.”[3]


Riwayat ketiga :

Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, “Hari kamis! Tahukah kamu apa hari kamis itu?! Kemudian ia menangis sampai janggutnya terbasahi oleh derasnya cucuran air mata, lalu ia melanjutkan, ‘Sakit Rasulullah saw.makin keras, lalu beliau bersabda, ‘Bawakan kepadaku selembar kertas, aku akan tuliskan surat wasiat, setelahnya kalian tidak akan tersesat selamanya!’

Lalu mereka berselisih dan membuat keributan– dan tidaklah pantas di hadapan Nabi saw. ada keributan-, mereka berkata, ‘Rasulullah saw. telah melantur.’ Maka Nabi saw. bersabda, “Tinggalkan aku , apa yang aku alami lebih baik dari apa yang kalian mengajakku kepadanya.”[4]


Umar ibn Al Khaththab Mengakui Kebenaran!

Apa yang kami katakan bahwa Nabi saw. telah berniat mempertegas pengangkatan Imam Ali as. di Ghadir Khum dengan surat wasiat tertulis di akhir hayat beliau telah diakui mkebenarannya oleh Umar ibn al Kthaththab sendiri. Karenanya ia dan rekan-relannya berusaha menghalangi penulisan itu dengan alasan bahwa sudah cukup Kitab Allah ada di tengah-tengah umat Islam! Dan kemudian dikatakan oleh para pendukungnya bahwa niatan Umar itu sebenarnya baik, yaitu karena kasihan kepada Nabi saw. agar beliau tidak usah repot-repot.

Perhatikan pengakuan Umar dalam dialoq dengan Ibnu Abbas di bawah ini:

Umar: Hai Abdullah jawablah dengan jujur, apakah Ali masih menyimpan di hatinya anggapan bahwa ia lebih berhak dalam jabatan khilafah ini?

Ibnu Abbas: Ya, benar.

Umar: Apakah ia mengklaim bahwa Rasulullah telah menunjuknya sebagai Khalifah?

Ibnu Abbas: Ya, benar, bahkan aku tanyakan tentang penunjukan itu kepada ayahku dan ia pun membenarkan.

Umar: Aku tahu, bahwa ia memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Rasulullah, dan ketika beliau di hari–hari akhir ingin menunjuknya dengan nama terang, maka aku halangi beliau.”[5]

Maka dengan demikian riwayat adanya niatan penulisan surat pengangkatan Abu Bakar adalah sekedar sebuah kepalsuan belaka yang dibuat-buat oleh kaum Al Bakriyah demi membela keabsahan khilafah Abu Bakar, sementara ia sendiri tidak butuh pembelaan itu!


Dan yang tidak kalah palsunya dari riwayat palsu di atas adalah dongen riwayat yang akan kami paparkan dalam tulisan akan datang. Nantikan!


Referensi:

[1] Lebih lanjut baca Târikh ath Thabari,3/208 dan al Kamil fi at Târikh,2/321.
[2] Shahih Bukhari, Kitabul Ilmi, bab Kitabatul ilmi, 1\38-39.
[3] Shahih Bukhari, Kitabuth Thib, bab Qaulul Maridh Qûmû!, 7\155-156, Shahih Muslim pada akhir Kitabul Washiyah, Musnad Ahmad, 4\356 hadis ke: 2992.
[4] Shahih Bukhari, Kitab Fadhlul Jihad, bab Hal Yusytasyfa’u Ila Ahlidz Dzimmah,4\84-85.
[5] An Nidhâm As Siyâsi: 142 menukil dari Syarah Nahjul Balaghah; Ibnu Abil Hadid, 3\105.


Untuk lebih meyakinkan kaum awam, para Nawâshib membawa-bawa nama suci Imam Ali as. untuk mereka palsukan! Dan itu adalah cara lugu dan hanya orang lugulah yang termakan olehnya!

Mereka mengada-ngada atas nama Imam Ali as. bahwa Rasulullah saw. telah meminta dan dengan agak sedikit atau bahkan sangat memaksa Tuhan agar mau berpihak kepada Ali; anak asuh kesayangan dan menantu tercintanya, akan tetapi sepertinya Tuhan tidak menggubris permintaan itu! Karena Allah tidak menginginkan Imam Ali as. yang memimpin umat setelah wafat Nabi saw.! Entah mengapa? Mungkin Allah tidak memaukan keadilan yang akan diterapkan di muka bumi oleh Ali! Atau karena Ali terlalu muda usia, jadi biar yang tua-tua dulu kebagian duduk di kursi jabatan itu…? Atau …? Hanya Allah yang Maha tau dan tentunya para pemalsu juga tau!

Agar Anda tidak terlalu lama menanti riwayat itu, saya segera hadisrkan di bawah ini:

عن علي رضي الله عنه قال : قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم :” سألت الله أن يقدمك ثلاثاً فأبى الله إلا تقديم أبي بكر ” وفي رواية زيادة ” ولكني خاتم الأنبياء وأنت خاتم الخلفاء” رواه الدار قطني والخطيب وإبن عساكر .

“Dari Ali ra. ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda kepadaku, ‘Aku memohon kepada Allah sebanyak tiga kali agar Dia mengajukanmu (menjadi Khalifah) akan tetapi Dia enggan kecuali mengajukan Abu Bakar.” (HR ad Dâruquthni, al Khathîb dan Ibnu ‘Asâkir)


Ibnu Jakfari berkata:

Riwayat di atas dibanggakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhab sebagai senjata paten keabsahan khilafah Abu Bakar dan kepalsuan akidah Syi’ah dalam Imamah Ali as.

Akan tetapi setelah Anda memerhatikan riwayat di atas, pasti Anda tidak ragu lagi mengatakan bahwa ia adalah sebuah kepalsuan murahan dan carut mawut kandungannya sudah cukup sebagai bukti kepalsuannya.

Sebab jika benar, lalu mengapa Imam Ali as. enggan menerima kekhilafahan Abu Bakar selama enam bulan?! Dan jika kekhalifahan Abu Bakar adalah ketetapan Tuhan, maka ia sangat bertolak belakang dengan doktrin Sunni yang menolak adanya penunjukan/nash atas siapapun, baik Ali maupun Abu Bakar! Apakah Syeikh Wahhâbi ini hendak menyebarkan doktrin kaum Al Bakriyah yang bertolak belakang dengan ajaran Ahlusunnah sendiri?!

Makin banyak hadis/riwayat yang Syeikh Wahhâbi kutip makin jelas kejahilannya akan ilmu hadis dan ketidak mampuannya dalam memilah antara hadis/riwayat shahih yang dapat dijadikan hujjah dan riwayat palsu atau batil yang dilayak dijadikan hujjah! Atau ia mengetahui kualitas setiap hadis yang ia kutip, hanya saja “semangat 45”nya dalam membela “kebenaran” telah menjadikannya merasa halal untuk berdalil dengan hadis-hadis palsu sekalipun!


Pujangga Arab klasik bertutur:

Jika engkau jahil, maka itu adalah sebuah bencana… dan jika engkau telah mengatahuinya (namun tetap bersikap degil) maka musibah itu sungguh besar.

Para santri abangan saja mampu mengenali kepalsuan riwayat di atas, lalu bagaimana dengan “Syeikhul Islam”nya kaum Wahhâbi?! Pasti ia mengatahuinya…. Kalau tidak, alangkah jahilnya ia.

Hadis (baca dongen murahan) di atas telah diriwayatkan oleh al Khathib dalam Tarikh-nya, 11/213. adz Dzahabi telah menyebutnya dalam Mizân al I’tidâl-nya, 2/222 dari jalur al Khathib dari Abu Juhaifah dan ia berkata, “Hadis ini palsu/bathil, penyakit (penyebab)nya adalah Ali ibn Hisain al Kalbi.” Ibnu Hajar juga menolak hadis itu dalam kitab al Fatâwâ al Haditsiyah:126


Ibnu Jakfari berkata:

Jika urusan kekhalifahan itu telah ditetapkan Tuhan, dan Allah SWT berbuat sesuai yang Ia kehendaki, dan tiada kehendak di sisi kehendak Allah, dan Allah telah menghendaki Abu Bakar, seperti dalam riwayat sebelumnya, lalu apa gerangan anggapan kita terhadap Nabi saw. yang memaksa Allah dengan panjatan doanya agar Allah menunjuk Ali, dan setelah ditolak permohonan itu beliau masih bersikeras memohonnya hingga tiga kali?! Bukankah akan lebih sopan Nabi bertanya terlebih dahulu siapakah di antara umat beliau yang paling laik menjabat sebagai Khalifah, bukan berdoa dan memaksa Allah hingga tiga kali agar menunjuk Ali as. yang tidak Allah kehendaki?! Bagaimana dapat samar atas Nabi saw. siapa yang laik dari umat beliau untuk jabatan Khalifah, sehingga beliau meminta dsengan sedikit memaksa agar Allah mengangkat orang yang tidak dikehandaki Allah, langit-langit dan bumi serta kaum Mukmin?! Apa motivasi di balik pemaksaan Nabi saw. dengan mengulang-ngulang permohonan agar Allah menunjuk Ali as., padahal beliau tahu bahwa Allah SWT tidak menghendaki Ali?!


Saya pikir Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dan para Wahhâbiyûn tulen perlu merenungkan kenyataan ini! Dan agar mulai mengintropeksi diri dalam berdalil agar tidak sembarang “comot riwayat” tanpa meneliti kualitasnya!! Dan mulai sadar bahwa kebenaraan tidak akan dapat ditutup-tutupi dan kebatilan tidak akan pernah bisa ditegakkan dengan bantuan apapun, apalagi dengan hadis-hadis palsu!

Di antara hadis yang diandalkan oleh Ibnu Abdil Wahhab –pendiri sekte Wahabiyah- dan juga oleh para pemuka kaum Nawâshib adalah riwayat yang mereka nisbatkan kepada Nabi saw. bahwa beliau telah menegaskan nama-nama para Khalifah dalam sebuah peristiwa ketika beliau berpatisipasi dalam membangun sebuah masjid. Hadis itu sebagai berikut:

وعن سفينة قال : لما بنى رسول الله صلى الله عليه وسلم المسجد وضع في البناء حجراً وقال لأبي بكر: ضع حجرك إلى جنب حجري. ثم قال لعمر: ضع حجرك إلى جنب حجر أبي بكر. ثم قال : هؤلاء الخلفاء بعدي” رواه إبن حبان ، وقال أبو زرعة: إسناده قوي لا بأس به ، والحاكم وصححه والبيهقي .

“Dari Safinah ia berkata, “Ketika Rasulullah saw. membangun masjid, beliau melatakkan batu pada bangunan dan berkata kepada Abu Bakar, ‘Letakkan batumu di samping batuku!’ Lalu berkata kepada Umar, ‘Letakkan batumu di samping batu Abu Bakar.’ Setelahnya beliau bersabda, ‘Mereka adalah para Khalifahku sepeninggalku.” (HR Ibnu Hibbân, dan berkata Abu Zar’ah, ‘Sanadnya kuat, tidak mengapa-ngapa’, dan al Hakim dan ia menshahihkannya serta al Baihaqi.)


Ibnu Jakfari berkata:

Adapun hadis tentang silih bergantinya para Khalifah yang akan menggantikan Nabi saw.; Abu Bakar kemudian Umar kemudian Utsman dari sahabat Safinah adalah hadis riwayat Ibnu Hibbân dan al Hakim. Ibnu Hajar telah menyebutnya dalam kitab ash Shawâiq-nya:14 dan Ibnu Katsir dalam al Bidâyah wa an Nihâyah,6/204.

Namun sangat disayangkan hadis tersebut tidak memiliki sanad yang dapat dipertahankan. Para muhaddis Sunni telah meriwayatkannya dari jalur Nu’aim ibn Hammâd (W. 228H). Sementara itu semua yang akrab dengan kajian penelitian sejarah para periwayat mengatahuyi bahwa Nu’aim ibn Hammâd yang adalah seorang yang sangat cacat dalam dunia periwayatan. Ia adalah seorang pembohong besar dan pemalsu hadis.

Al Azdi berkata, “Nu’aim sering memalsu hadis untuk mendukung Sunnah dan kisah-kisah palsu dalam mencacat Nu’man, semua palsu. Lebih lanjut Anda saya persilahkan merujuk berbagai buku Rijâl untuk mengenali siapa sejatinya di pemalsu hadis di atas tersebut.

Sebagaimana juga dalam mata rantai riwayat tersebut terdapat seorang parawi yang sangat cacat yaitu Hasyraj ibn Nubatah, seperti akan saya sebutkan nanti ketika mendiskusikan hadis (no. 14) bahwa Khilafah adalah tiga puluh tahun!

Selain itu, ketika meriwayatkan hadis al hakim yang semakna dengan hadis di atas, adz Dzahabi menegaskan kepalsuannya dengan mengatakan, “Anda hadis itu benar pastilah ia sebagai nash/penunjukan tiga Khalifah! Dan ia sama sekali tidak shahih!”

Lagi pula andai benar Nabi saw. telah mensabdakan penujukan itu pastilah Abu Bakar dan Umar pasti akan berhujjah dengannya pada rapat darurat di pendopo Saqifah bani Sâidah.


Persembahan Buat Kaum Salafiyah Wahhabiyah dan Blog Haulasyiah!

Berikut Kutipannya:

ISYARAT RASULULLAH ABU BAKAR SEBAGAI KHALIFAH, bantahan syubuhat syi’ah ke 5
Posted on Agustus 6, 2007 by haulasyiah

Pada edisi kali ini, akan kami sajikan adanya isyarat dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tentang penunjukan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah sepeninggal beliau shalallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini merupakan bukti dan penguat akan keabsahan beliau sebagai halifah sebagaimana telah kami sebutkan pada edisi 36. Isyarat ini sekaligus meruntuhkan syubhat dan kesesatan yang dilontarkan oleh Syi’ah Rafidlah yang meragukan keabsahan kekhalifahan beliau

Para ulama telah berbeda pendapat tentang bagaimana pengangkatan Abu Bakar ash-Shidiq sebagai khalifah. Apakah pengangkatan tersebut ditentukan dengan nash secara langsung dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam atau dilakukan dengan musyawarah antara kaum muslimin. Sebagian ulama berpendapat bahwa pengangkatan beliau sebagai khalifah ada lah hasil dari musyawarah dari kaum muslimin ketika itu.

Sedangkan Hasan al-Bashri dan sebagian para ulama dari kalangan ahlul hadits berpendapat bahwa terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah adalah dengan nash yang samar dan isyarat dari rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. (Lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 471).

Dalil-dalil yang menunjukkan akan adanya isyarat secara tidak langsung (bukan wasiat) dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang mengisyaratkan bahwa Abu Bakarlah yang lebih pantas menjadi khalifah sangat banyak. Isyarat-isyarat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dipilih sebagai imam Shalat pengganti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam

Hadits-hadits yang menunjukkan diperintahkannya Abu Bakar untuk memimpin shalat menggantikan Rasulullah, shalallahu ‘alaihi wasallam sangat masyhur. Salah satu di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Musa radhiallahu ‘anhu berikut:

مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ فَاشْتَدَّ مَرَضُهُ فَقَال مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيقٌ مَتَى يَقُمْ مَقَامَكَ لاَ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ فَقَالَ مُرِي أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَإِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ قَالَ فَصَلَّى بِهِمْ أَبُو بَكْرٍ حَيَاةَ رَسُولِ اللَّهِ. ]متفق عليه)

Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sakit parah beliau berkata: “Suruhlah Abu Bakar untuk mengimami manusia”. Maka berkatalah Aisyah: “Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang laki-laki yang amat perasa (mudah menangis). Bagaimana dia akan menggantikan kedudukanmu, dia tidak akan mampu untuk memimpin manusia”. Rasulullah berkata lagi: “Perintahkanlah Abu Bakar untuk mengimami manusia! Sesungguhnya kalian itu seperti saudara-saudaranya nabi Yusuf”. Abu Musa berkata: maka Abu Bakar pun mengimami shalat dalam keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. (HR. Bukhari Muslim)


2. Perintah untuk meneladani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

اقْتَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ… (رواه الترمذي والحاكم وصححه الألباني في الصحيحة: 1233)

Teladanilah dua orang setelahku, Abu Bakar dan Umar… (HR. Tirmidzi dan Hakim, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1233)

Syaikh Albani menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan dari beberapa shahabat, seperti Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah Ibnul Yaman, Anas bin Malik dan Abdullah bin Umar. Hadits ini juga dikeluarkan oleh banyak pakar-pakar ahlul hadits seperti Tirmidzi, Hakim, Ahmad, Ibnu Hibban, ath-Thahawi, al-Humaidi, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abi ‘Ashim, Abu Nu’aim, Ibnu Asakir dan lain-lain. (Lihat Silsilah Ahadits ash-Shahihah, juz 3 hal. 234, hadits no. 1233)


3. Abu Bakar adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam

Disebutkan dalam suatu riwayat dari ‘Amr bin ‘Ash:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ عَائِشَةُ قُلْتُ مِنَ الرِّجَالِ قَالَ أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ عُمَرُ فَعَدَّ رِجَالاً. )رواه البخاري ومسلم)

Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengutus Abu Bakar memimpin pasukan dalam perang dzatu tsalatsil. Aku mendatangi Rasulullah dan bertanya kepada beliau: “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Aisyah.” Aku berkata: “Dari kalangan laki-laki wahai Rasululah?” Beliau menjawab: “Ayahnya”. Aku berkata: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Umar”. Kemudian beliau menyebutkan beberapa orang. (HR. Bukhari dalam Fadhailil A’mal, fathul Bari juz ke 7, hal. 18 dan Muslim dalam Fadhailus Shahabah juz ke-4 hal. 1856 no. 2384)


4. Abu Bakar dijadikan wakil menggantikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam

Diriwayatkan dari Jubair bin Muth’im, dia berkata:

أَتَتِ امْرَأَةُ النَّبِيَّ فَأَمَرَهَا أَنَ تَرْجِعَ إِلَيْهِ قَالَتْ أَرَأَيْتَ إِنْ جِئْتُ وَلَمْ أَجِدْكَ كَأَنَّهَا تَقُوْلُ الْمَوْتَ قَالَ إِنْ لَمْ تَجِدِيْنِيْ فَأْتِي أَبَا بَكْرٍ. (رواه البخاري)

Datang seorang wanita kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka Rasulullah menyuruhnya untuk datang kembali. Maka wanita itu mengatakan: “Bagaimana jika aku tidak mendapatimu?” –seakan-akan wanita itu memaksudkan jika telah meninggalnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menjawab: “Jika engkau tidak mendapatiku, maka datangilah Abu Bakar”. (HR. Bukhari 2/419; Muslim, 7/110; lihat ظلال الجنة hal. 541-542, no. 1151)

Hadits ini merupakan isyarat yang jelas dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa yang akan menggantikan dirinya sepeninggal beliau adalah Abu Bakar ash-Shidiq radhiallahu ‘anhu.


5. Rencana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menuliskan wasiat kepada Abu Bakar radhiallahu ‘anhu

Lebih tegas lagi ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sakit, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada ‘Aisyah untuk memanggil ayahnya, Abu Bakar, untuk diberikan wasiat kepadanya. Tetapi kemudian beliau mengatakan: “Allah dan kaum mukminin tidak akan ridla, kecuali Abu Bakar”. Lihatlah riwayat lengkapnya sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ: ادْعِي لِي أَبَا بَكْرٍ أَبَاَكِ وَأَخَاكِ، حَتَّى أَكْتُبُ كِتَابًا، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَتَمَنَّى مُتَمَنٍّ، وَيَقُوْلُ قَائِلُ: أَنَا أَوْلَى، وَيَأْبَى اللهُ وَالْمُؤْمِنُوْنَ إِلاَّ أَبَا بَكْرٍ.

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anhuا, ia berkata; berkata kepadaku Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Panggillah Abu Bakar Bakar, Ayahmu dan saudaramu, sehingga aku tulis satu tulisan (wasiat). Sungguh aku khawatir akan ada seseorang yang menginginkan (kepemimpinan –pent.), kemudian berkata: “Aku lebih utama”. Kemudian beliau bersabda: “Allah dan orang-orang beriman tidak meridlai, kecuali Abu Bakar”. (HR. Muslim 7/110 dan Ahmad (6/144); Lihat Ash-Sha-hihah, juz 2, hal. 304, hadits 690)

Dalam riwayat ini jelas, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menghendaki dengan isyaratnya beliau bahwasanya Abu Bakar radhiallahu ‘anhu lah yang lebih layak menjadi khalifah sepeninggalnya. Tetapi beliau tidak jadi menulis wasiatnya, karena beliau yakin kaum mukminin tidak akan berselisih terhadap penunjukkan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah. Dan hal ini terbukti, setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam wafat, kaum muslimin sepakat untuk menunjuk Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah.


6. Abu Bakar adalah orang terdekat dan kekasih Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ جَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ عَبْدٌ خَيَّرَهُ اللَّهُ بَيْنَ أَنْ يُؤْتِيَهُ زَهْرَةَ الدُّنْيَا وَبَيْنَ مَا عِنْدَهُ فَاخْتَارَ مَا عِنْدَهُ فَبَكَى أَبُو بَكْرٍ وَبَكَى فَقَالَ فَدَيْنَاكَ بِآبَائِنَا وَأُمَّهَاتِنَا قَالَ فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ هُوَ الْمُخَيَّرُ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ أَعْلَمَنَا بِهِ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ إِنَّ أَمَنَّ النَّاسِ عَلَيَّ فِي مَالِهِ وَصُحْبَتِهِ أَبُو بَكْرٍ وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً وَلَكِنْ أُخُوَّةُ اْْلإِ سْلاَمِ لاَ تُبْقَيَنَّ فِي الْمَسْجِدِ خَوْخَةٌ إِلاَّ خَوْخَةَ أَبِي بَكْرٍ. (متفق عليه)

Dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk di atas mimbar, beliau bersabda: “Allah memberikan pilihan kepada seorang hamba antara diberi keindahan dunia atau apa yang ada di sisi-Nya. Maka hamba tersebut memilih apa yang ada di sisi-Nya. Maka Abu Bakar pun menangis seraya berkata: bapak-bapak dan ibu-ibu kami sebagai tebusan wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Abu Sa’id berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam itulah hamba yang diberi pilihan tersebut dan ternyata Abu Bakar adalah orang yang paling tahu di antara kami. Maka bersabdalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya manusia yang paling berjasa kepadaku dengan harta dan jiwanya adalah Abu Bakar. Kalau aku mengambil seorang kekasih, niscaya aku akan mengambil Abu Bakar sebagai khalil (kekasih), tetapi persaudaraan Islam lebih baik. Tidak tersisa masjid satu pintu pun, kecuali pintunya Abu Bakar. (HR. Bukhari dengan Fathul Bary, juz 7, hal. 359, hadits 3654; Muslim dengan Syarh Nawawi, juz 15 hal. 146, hadits 6120).

Al-Khullah adalah kecintaan yang paling tinggi. Para ulama menyatakan bahwa derajat khullah lebih tinggi dari tingkatan mahabbah. Oleh karena itu seorang yang disebut sebagai khalil, lebih tinggi kedudukannya daripada habib. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bahwa Allah hanya mengambil dua orang manusia sebagai khalil, yaitu nabi Ibrahim dan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan masalah mahabbah Allah sering menyebutkan dalam al-Qur’an, Allah mencintai orang-orang yang beriman, sabar, berjihad di jalan-Nya dan lain-lain.

Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyatakan kalau saja beliau menjadikan khalil, maka niscaya Abu Bakarlah orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakar adalah orang yang terdekat dan paling dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja beliau shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengambil khalil dari kalangan manusia.

Dengan disebutkannya beberapa isyarat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam di atas cukuplah kiranya menjadi hujjah yang tegas bahwa Abubakar adalah seorang yang paling layak menjadi khalifah. Dan kekhalifahannya adalah sah, tidak ada yang menyelisihi kecuali orang-orang yang dalam hatinya adanya penyakit.

Namun perlu diketahui bahwa pendapat ahlus sunnah ini adalah pernyataan yang keluar dari hujjah yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara ijma’, hal ini sama sekali tidak keluar dari kebencian kepada ahlul bait. Adapun tentang keutamaan ahlul bait, insya Allah akan kami bahas pada edisi mendatang.

Wallahu a’lam

Ust. Muhammad Umar As-Sewed

Nikuli dari: Buletin Manhaj Salaf Cirebon

*****

Kisah Abu Bakar Menjadi Imam Shalat Di Hari-hari Akhir Hidup Nabi saw. adalah Kisah Kepalsuan

Tak henti-hentinya saudara-saudara kami Ahlusunnah, dan khususnya yang Nawâshib di antara mereka, di antaranya adalah Pendiri Sekte Wahhabiyah dan kaum Wahabi …. Tak henti-hentinya mereka berdalil dengan kasus ditunjuknya Abu Bakar menjadi imam shalat di hari-hari akhir kehidupan Nabi saw. bahwa sebenarnya penunjukan itu oleh Nabi saw. adalah sebuah isyarat atau bahkan dianggap sebagai penunjukan samar/khafiy atas kekhalifahan Abu Bakar…

Akan tetapi, semua itu tidak berdasar… di sampan peristiwa penujukan itu adalah palsu!

Ibnu Abdil Wahhab berkata:

وما صح من أمره صلى الله عليه وسلم أبا بكر في مرض موته بإمامة الناس وهذا التقديم من أقوى إمارات حقيقة خلافة الصديق وبه إستدل أجلاء الصحابة كعمر وأبي عبيدة وعلي رضي الله عنهم أجمعين.

“Dan apa yang telah shahih bahwa Nabi saw. di waktu sakit kematiannya memerintah Abu Bakar untuk memimpin shalat. Dan pengajuan itu adalah isyarat terkuat akan hakikat Khilafahnya ash Shiddîq (Abu Bakar). Dan dengannya para pembesar sahabatseperti Umar, Abu Ubaid dan Ali ra. berdalil.”

Dalam blog haulasyiah, seorang pendekar Wahabiyah juga membanggakan dalil di atas dan mendendangkan nyanyian lama tanpa meneliti dan memerhatikan kepalsuannya… seakan mereka bersepakat untuk bergantung di atas lumut demi menyelamatkan doqma klasik mazhabnya…

Ust. Muhammad Umar As-Sewed berkata:

“Dalil-dalil yang menunjukkan akan adanya isyarat secara tidak langsung (bukan wasiat) dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang mengisyaratkan bahwa Abu Bakarlah yang lebih pantas menjadi khalifah sangat banyak. Isyarat-isyarat tersebut adalah sebagai berikut:

Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dipilih sebagai imam Shalat pengganti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam

Hadits-hadits yang menunjukkan diperintahkannya Abu Bakar untuk memimpin shalat menggantikan Rasulullah, shalallahu ‘alaihi wasallam sangat masyhur. Salah satu di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Musa radhiallahu ‘anhu berikut:

مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ فَاشْتَدَّ مَرَضُهُ فَقَال مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيقٌ مَتَى يَقُمْ مَقَامَكَ لاَ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ فَقَالَ مُرِي أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَإِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ قَالَ فَصَلَّى بِهِمْ أَبُو بَكْرٍ حَيَاةَ رَسُولِ اللَّهِ. ]متفق عليه)

Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sakit parah beliau berkata: “Suruhlah Abu Bakar untuk mengimami manusia”. Maka berkatalah Aisyah: “Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang laki-laki yang amat perasa (mudah menangis). Bagaimana dia akan menggantikan kedudukanmu, dia tidak akan mampu untuk memimpin manusia”. Rasulullah berkata lagi: “Perintahkanlah Abu Bakar untuk mengimami manusia! Sesungguhnya kalian itu seperti saudara-saudaranya nabi Yusuf.”[1] Abu Musa berkata: maka Abu Bakar pun mengimami shalat dalam keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. (HR. Bukhari Muslim)”

Kemudina selanjutnya ia menyebutkan beberapa dalil yang telah kami bantah habis dalam edisi-edisi yang telah lewat.

http://haulasyiah.wordpress.com/2007/08/06/isyarat-rasulullah-abu-bakar-sebagai-khalifah-bantahan-syubuhat-syiah-ke-5/


Ibnu Jakfari berkata:

Setelah penelitian panjang terhadap riwayat-riwayat yang dijadikan dalil oleh Syeikh Ibnu Abdil Wahhabdan kaum nawâshib Wahhâbiyah, dan pembuktian bahwa dalil-dalil tersebut tidak mampu bertahan di hadapan kritik dan pembuktian akan kepalsuannya, maka di sini tidak tersisa dari dalil yang diandalkan Syeikh kecuali berhujjah dengan shalat Abu Bakar di hari-hari akhir hidup Nabi saw. … Dan adapun klaimnya bahwa para pembesar sahabat, di antaranya Imam Ali as. telah berhujjah dengannya untuk membuktikan keabsahan Khilafah Abu Bakar adalah sebuah kepalsuan lain yang tidak akan mampu ia buktikan di hadapan kajian ilmiah… ia hanya sebuah kepalsuan yang diatas namakan Imam Ali as. oleh para pemalsu yang sektarian demia membela doktrin mazhabnya. Sebab jika benar, lalu mengapa Imam Ali as. enggan memberikan baiat untuk Abu Bakar bahkan menentangnya selamma enam bulan, seperti diriwayatkan dalam berbagai riwayat shahih, di antaranya oleh Imam Bukhari?!

Semua itu tidak berdasar, dan hanya kepalsuan belaka!!

Adapan mengaitkan-ngaitkan antara menjadi imam shalat (yang disitilahkan dengan imamah shughrâ) dengan kekhalifahan (yang disitilahkan dengan imamah kubrâ) adalah kesimpulan yang mengada-ngada, dan hanya dilontarkan oleh kaum jahil yang tidak mengerti permasalahan Khilafah/Imamah Kubra dalam teoloqi Islam, khususnya teoloqi Ahlusunnah wal Jama’ah! Sebab:

Pertama: Para ulama Sunni sendiri telah mengakui tidak adanya relevansi antara menjadi imam dalam shalat dan menjabat sebagai Khalifah, sebab ia adalah dua masalah yang sangat berbeda dalam segala seginya termasuk dalam syarat-syarat yang dibutuhkan oleh masing-masing. Ibnu Hazm telah mengakui kenyataan ini, ia berkomentar, “Adapun orang yang mengklaim bahwa Abu Bakar diajukan menjadi Khalifah karena diqiyas karena ia diajukan sebagai imam dalam shalat maka ia adalah batil/salah secara pasti, bâthilun biyaqînin. Sebab tidak setiap yang berhak menjkadi imam dalam shalat ia berhak menjadi Khalifah. Yang berhak menjadi imam dalam shalat adaalah yang paling bagus qira’atnya, walaupun ia seorang ajami (non Arab) ataupun orang Arab, sementara tidak berhak menjabat sebagai Khalifah kecuali seorang dari suku Quraisy. Bagaimana akan diqiayaskan antara keduanya, semantara qiyas itu seluruhnya batil.”[2]

Selain Ibnu Hazm, Syeikh Abu Zuhrah –seorang tohok ulama Azhar- juga menolak prinsip relasi tersebut, ia berkata, “Sebagian dari mereka berkata, ‘Nabi saw. telah merelakan ia menjadi imam dalam urusan akhirat kita (shalat), lalu apakah kita tidak meralakannya menjadi imam dalam urusan dunia kita?!’. Akan tetapi ia memaksa adalah relasi yang tidak berdasar, sebab politik (mengurus) urusan dunia berbeda dengan urusan ibadah. Maka dengan demikian isyarat itu tidaklah jelas mengandung penunjukan. Selain itu, dalam rapat di Saqifah yang di dalamnya terjadi persaingan tidak sehat antara kaum Muhajirin dan Anshar dalam memperebutkan jabatan Khilafah tidak seorang pun berdalil dengan dalil tersebut. Yang jelas mereka tidak meyakini adanya relasi antara imamah shalat dan jabatan kepemimpinan umat Islam (Khalifah/Imamah Kubrâ).”[3]

Kedua: Dalam fikih Ahlusunnah tidak memberi perhatian dalaam kualitas seorang imam dalam shalat, sebab seorang yang fajir sekalipun boleh dan sah menjadi imam shalat sementara makmunya orang-orang shaleh, waliyullah. Para ulama Ahlusunnah berdalil dengan sabda Nabi saw. yang mereka akui keshahihannya, “Shalatlah di belakang seorang yang barr/baik mapun yang fajir/jahat/derjana.” Sebagaimana mereka juga berdalil dengan bermakmumnya para pembesar sahabat di belakang Walîd ibn ‘Uqbah ketika memimpin shalat dalammkeadaan mabok berat di masa ketika ia menjadi gubernur wilayah Kufah di masa kepemimpinan Khalifah Utsman ibn Affan.

Andai menjadi imam dalam shalat adalah bukti legalitas kekhalifahan seorang pastilah Salim maula Abu Hudzaifah, Amar ibn ‘Âsh dan Abdurrahman ibn ‘Auf lebih berhak menjadi Khalifah sebab mereka pernah memimpin shalat dan di antara yang menajdi makmun adalah Abu Bakar![4] Sementara itu dalam riwayat-riwayat Ahlusunnah Abu Bakar kemudian mundur setelah kedatangan Nabi saw. ke dalam masjid dan menggantikannya menjadi imam shalat![5]


Abu Bakar Tidak Menjadi Imam Dalam Shalat Tersebut!

Seluruh riwayat yang mengisahkan peristiwa tersebut menegaskan bahwa beberapa saat setelah Abu Bakar memimpin shalat, Nabi saw. segera keluar bergegas menuju masjid dengan dipanggul Imam Ali as. dan al Fadhl putra Abbas ra. atau Abas sendiri dalam keadaan sakit parah sehingga kedua kaki suci beliau tidak menginjak ke tanah, kemudian beliau yang memimpin shalat dan menyingkirkan Abu Bakar dari posisinya sebagai imam shalat!

Jadi jika benar Nabi saw. yang memerintah Abu Bakar untuk menjadi imam shalat, mengapakah kemudian beliau memaksa diri bangkit menuju masjid dan menyingkirkan Abu bakar dari posisinya?! Bukankah kebangkitan Nabi saw. menuju masjid dalam keadaan seperti itu ingin menepis anggapan bahwa beliaulah yang memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dalam shalat!

Sibthu Ibn Jauzi telah menulis sebuah buku untuk membuktikan bahwa Abu Bakar tidak menjadi imam dalam shalat pada kasus tersebut. Dalam buku tersebut ia menyusun tiga bab, pertama pembuktian bahwa Nabi saw. keluar menuju masjid dan menyingkirkan Abu Bakar, kedua pembuktian adanya ijma dari Abu Hanifa, Malik, Syafi’i dan Ahmad tentang hal tersebut, ketiga, pembuktian kelemahan riwayat yang mengatakan bahwa Abu bakar lah yang menjadi imam dalam shalat tersebut. Dan ia mensifati yang mengatakannya sebagai gedil dan mengikuti hawa nafsu.

Ibnu Hajar al Asqallani –penutup para huffâdz- juga menegaskan bahwa Abu Bakar tidak menjadi imam dalam shalat itu. Ia berkata, “Telah banyak sekali riwayat dari Aisyah dengan tegas menunjukkan bahwa yang menjadi imam dalam shalat tersebut adalah Nabi saw.”[6]

Jadi andai mereka berdalil dengan shalatnya Abu Bakar sebagai bukti keabsahan Khilafahnya, niscaya orang lain dapat berdalil dengan disingkirkannya Abu Bakar dari posisinya sebagai imam shalat adalah isyarat kuat bahwa ia sama sekali tidak memiliki kelayakan untuk menjadi imam shalat apalagi menjadi Khalifah!

Keempat: Bukti-bukti otentik mengatakan bahwa Abu Bakar saat itu termasuk yang diperintah Nabi saw. untuk bergabung dengan tentara di bawah komandan Usamah ibn Zaid. Jadi tidak mungkin Nabi saw. yang memerintah Abu Bakar untuk menjadi imam shalat ketika itu![7]

Kelima: Andai dalil yang mereka banggakan itu shahih dan sempurna sanad dan matan dalam pandangan Ahlusunnah, maka itu masih belum cukup, -seperti sering saya tegaskan- sebab ia hanya diriwayatkan oleh ulama Ahlusunnah sendiri, ulama Syi’ah tidak pernah meriwayatkannya dan tidak pula pernah menshahihkannya… Sementara kebutuhan mereka dalam membela keabsahan Khilafah Abu Bakar adalah dalam menghadapi hujatan ulama Syi’ah, lalu bagaimana dalam mempertahankan dan/atau membuktikannya, mereka (Ahlusunnah) berhujjah dengan dalil sepihak? Bukankah yang demikian itu menyalai etika berdialoq?


Al Khulashah

Jadi apa yang sedang mereka banggakan adalah gugur dengan sendirinya. Dan dengan gugurnya dalil-dalil yang mereka banggakan dan mereka andalkan dalam menegakkan keabsahan khilafah Abu Bakar maka runtuhlah pilar mazhab mereka yang mereka tegakkan di atasnya!! Walhandu Lihhahi….


Catatan Kaki:

[1] Terjemahan hadis di atas oleh ustadz Wahabi bernama Muh. Umar as Sewed adalah salah, sebab kata shawâhib dengan wazan (bentuk kata) fawâ’il menunjukkan perempuan… jadi tidak benar jika diterjemahkan dengan: saudara-saudaranya nabi Yusuf. Akan tetapi yang dimaksud dengannya adalah wanita-wanita yang mengganderungi Nabi Yusuf as. Tapi tak mengapalah kesalahan itu, dan saya tidak akan mengatakan bahwa ia diakibatkan karena sang ustadz pujaan kaum Wahabi itu baru belajar bahasa Arab…. Sebab bisa jadi beliau adalah pakar dalam bahasa Arab, namun kali ini tergelincir… Semoga tidak keseleo atau patah tulang dalam ketergelincirannya kali ini!! Amîn.
[2] Al Fishal Fi al Milal wa an Nihal,4/109.
[3] Tarikh al Madzâhib al Islamiyah:23.
[4]Lebih lanjut baca Shahih Bukhari, Kitabul Ahkâm, Bab Istiqshâul Mawâli wa Isti’mâlihim,9/88, Shahih Muslim, Bab al Mashu ‘ala al Imamah1/230, Musnad Imam Ahmad,4/248, 250 dan 251, Sunan Abu Daud,1/37, Sunan Ibnu Mâjah,1/392, Sunan an Nasa’i, 1/77, Bab Kaifa al Mashu ‘Ala al Imamâh, Sirah Ibn Hisyâm,4/272, Sirah Ibn Katsir,3/513 pada bab peperangan Dzatus Salâsil.
[5] Shahih Bukhari, Bab man Dakhala Liyaummu an Nâsa Fa jâa al Imam fa Yataakhkhara al awal,1/174
[6] Fathu al Bâri,2/123.
[7] Fathu al Bâri,8/124, ath Thabaqât al Kubrâ; Ibnu Sa’ad,4/66, Tarikh al Ya’qûbi,2/77, Tarikh al Khamîs,2/154 dll.

(Jakfari/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)