Kamis, 24 November 2016

Bid’ah Puasa Asyurâ’, Usaha Licik Memerangi Ahlulbait as.!


Banyak cara ditempuh untuk mengubur hasil perjuangan Imam Husain as. di padang Karbala’ demi menegakkan agama datuknya; Rasulullah saw. dan membongkar kedok kepalsuan, kemunafikan dan kekafiran rezim Bani Umayyah yang dilakonkan oleh sosok Yazid yang bejat lagi munafik…

Banyak cara licik ditempuh, mulai dari menutup-nutupi kejahatan Yazid dan menampilkannnya sebagai seorang Khalifah yang adil dan bertanggung jawab akan perjalanan Risalah Allah, atau mencarikan uzur dan pembelaan atas apa yang dilakukannnya terhadap Imam Husain dan keluarga suci Nabi saw., terhadap penduduk kota suci Madinah yang ia perintahkan pasukannya agar menebar kekejaman yang tak tertandingi dalam sejarah Islam, membantai penduduknya, dan memperkosa gadis dan wanita; putri-putri para sahabat Anshar -khususnya- dll. hingga membuat-buat kepalsuan atas nama agama tentang keagungan hari Asyûrâ’ dan keutamaan berpuasa di dalamnya.

Dalam kesempatan ini kami akan batasi kajian kali ini hanya pada kepalsuan keutamaan puasa Asyûrâ’.

Para Pendongen itu berkata:

1. Ketika Nabi saw. hijrah ke kota Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyûrâ’ yaitu hari kesepuluh bulan Muharram, lalu beliau bertanya kepada mereka, mengapa mereka berpuasa, maka mereka menjawab, “Ini adalah hari agung, Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya.” Maka Nabi saw. bersabda, “Kami lebih berhak atas Musa dan lebih berhak untuk berpuasa di banding kalian.” Lalu beliau memerintahkan umat Islam agar berpuasa untuk hari itu. Demikian dalam dua kitab Shahih; Bukhrai dan Muslim dan lainnya.[1]

2. Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dan selainnya didongengkan dari Aisyah ra. dan selainnya bahwa: Kaum Quraisy berpuasa di hari Asyûrâ’ di masa Jahiliyah mereka. Dan rasulullah saw. juga berpuasa. Lalu setelah beliau berhijrah ke kota Madinah beliau pun berpuasa dan memerintah (umat Islam) agar berpuasa. Maka ketika diwajibkan puasa Ramadhan, beliau bersabda, “Barang siapa yang mau silahkan berpuasa (Asyûrâ’) dan siapa yang mau juga boleh meninggalkannya.”[2]

3. Sebagian pendongeng juga menyebutkan –seperti diriwayatkan dalam Shahih Muslim- bahwa Nabi saw. baru melaksanakan puasa Asyûrâ’ itu di tahun sembilan Hijrah dan setelah menyaksikan orang-orang Yahudi melakukannya, beliau berjanji jika berumur panjang akan menyalahi kaum Yahudi dengan menambah puasa hari kesembilan juga. Tetapi beliau wafat sebelum bulan Muharram tahun depan.[3]


Ibnu Jakfari berkata:

Di sini kami memastikan bahwa dongeng di atas adalah palsu dan hanya hasil khayalan kaum pendongen belaka!

Dan:

A) Terlepas dari cacat parah pada sanad riwayat-riwayat di atas, di mana ia diriwayatkan dari jalur orang-oraang yang bermasalah dan baru tiba di kota suci Madinah beberapa tahun setelah Hijrah Nabi saw. seperti Abu Musa al Asy’ari, dan ada yang saat hijrah masih kanak-kanak seperti Ibnu Zubair dan di antara mereka ada yang baru menyatakan secara formal keislamannya di tahun-tahun akhir Hijrah Nabi saw. seperti Mu’awiyah ibnu Abu Sufyan.

B) Terlepas dari adanya kontradiksi di antara riwayat-riwayat di atas, seperti, sebagian riwayatnya mengatakan bahwa:

1. Nabi saw. berpuasa di hari Asyûrâ’ itu karena mengikuti Yahudi di mana sebelumnya beliau tidak mengetahuinya, dan setelah mengetahuinya dari orang-oraang Yahudi kota Madinah beliau berkeyakinan bahwa beliau dan umat Islam lah lebih berhak atas Musa as. dari kaum Yahudi itu!

2. Sementara riwayat lain mengatakan bahwa Nabi saw. –seperti juga kaum Musyrik lainnya sejak zaman Jahiliyah telah menjalankan tradisi puasa Asyûrâ’.

3. Sementara riwayat ketiga mengatakan bahwa Nabi saw. meninggalkan tradisi puasa Asyûrâ’ setelah diwajibkannya puasa bulan Ramadhan.

4. Adapun riwayat keempat mengatakan bahwa Nabi saw. baru mengetahui kebiasaan kaum Yahudi kota Madinah berpuasa hari Asyûrâ’ sebagai ungkapan syukur mereka atas keselamatan Nabi Musa as. dan kaumnya itu di tahun kesembilan Hijrah. Dan kemudian Nabi aw. Berjanji akan menyalahi kaum Yahudi itu dengan menambah puasa hari kesembilan bulan itu. Namun sayang beliau wafat sebelum sempat melaksanakannya.

5. Bahkan mereka meriwayatkan dari Mu’awiyah (yang baru memeluk Islam dari tahun fathu Makkah) bahwa Nabi saw. tidak pernah memerintahkan umat berpuasa di hari Asyûrâ’ akan tetapi beliau bersabda, “Barang siapa mau berpuasa silahkan dan yang tidak juga tidak apaa-apa.”


Dan masih banyak keanehan lain dalam riwayat-riwayat dongeng puasa hari Asyûrâ’. Dan Ibnu Qayyim telah memaparkannya dalam kitab Zâd al Ma’âd-nya.[4]

Terlepas dari semua masalah di atas coba perhatikan catatan di bawah ini:

Pertama: Riwayat pertama di atas mengtakan kepada kita bahwa Nabi mulia saw. tidak mengetahui sunnah saudara beliau; Nabi Musa as. dan beliau baru mengetahuinya dari orang-orang Yahudi dan setelahnya beliau bertaqlid kepada mereka!

Hal demikian mungkin tidak merisaukan pikiran para ulama itu, sebab mereka meriwayatkan (dan kami beristighfar/memohon ampunan Allah atas kepalsuan itu) bahwa Nabi saw. memang sangat menyukai untuk menyesuaikan diri dengan kaum Yahudi dan Nashrani dalam hal-hal yang belum diperintahkan dalam wahyu. Seperti diriwayatkan Bukhari dan lainnya.[5]

Akan tetapi yang aneh dan lucu mereka pada waktu yang sama juga meriwayatkan bahwa Nabi saw. itu selalu bersemangat untuk menyalahi kaum Yahudi dan Nashrani dalam segala urusan, seperti yang mereka kisahkan dalam kasus adzan, di mana beliau menolak tawaran agar adzan dilakukan dengan meniup trompet atau menabuh lonceng seperti di gereja-gereja!

Juga dalam masalah datang bulan dan menyemir rambut yang telah beruban… begitu juga Nabi saw. sering berpuasa di hari sabtu dan minggu dengan tujuan menyalahi Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani)..

Semua yang mereka riwayatkan ini benar-benar bertentangan dengan apa yang mereka katakan dalam riwayat puasa Asyûrâ’. Sebuah kontradiksi yang biasa kita temukan dalam riwayat-riwayat para ulama itu, seihingga kami tidak kaget lagi dengannya.!!

Sampai-sampai karena kaum Yahudi mengeluhkan sikap Nabi saw. tersebut, mereka berkata, “Orang ini (Nabi maksud mereka) tidak bermaksud membiarkan urusan kita melainkan dia menyalahi kita dalam segala urusan kita.”[6]

Ibnu al Hâj berkata, “Adalah Nabi saw. membenci menyesuai Ahlul Kitab dalam semua urusan mereka, sampai-sampai orang-orang Yahudi berkata, ‘Muhammad menginginkan untuk tidak membiarkan ursan kita melainkan ia menyalahi kita tentangnya.’

Dan telah datang dalam hadis: “Barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia dari mereka.”[7]

Kedua: ada sebuah kenyataan yang sering diabaikan oleh para ulama (khususnya mereka yang tertipu dengan dongeng-dongeng palsu tentang puasa Asyura) bahwa kata Asyûrâ’ untuk menunjuk pada hari kesepuluh bulan Muharram itu baru berlaku setelah kesyahidan Imam Husain as. cucu tercita Nabi Muhammad saw. dan keluarga serta pengikut setia beliau…

jadi ia adalah nama/istilah Islami. Artinya istilah itu baru berlaku setelah datangnya Islam dan dilakukan oleh kaum Muslimin, sementara sebelum itu istilah itu tidak pernah ada dan berlaku.

Ibnu al Atsîr berkata, “Ia adalah nama Islam.”[8]

Ibnu Duraid berkata, “Sesunguhnya ia adalah nama Islami yang sebelumnya di masa jahiliyah tidak dikenal.”[9]

Ketiga: Dalam ajaran kaum Yahudi tidak ditemukan adanya puasa Asyûrâ’ dan sekarang pu mereka tidak melakukannya dan tidak mpula menganggapnya sebagai hari raya dan hari besar!

Keempat: Lebih dari semua itu adalah bahwa puasa bulan Ramadhan telah diwajibkan sejak beliau masih tinggal di Makkah! Seperti dalam kisah diutusnya ‘Amr ibn Murrah al Juhani sebagaimana diriwayatkan banyak ulama di antaranya Ibnu Katsir, ath Thabarani, Abu Nu’aim, al Haitsami dan lainnya.[10]


Bahaya Pemalsuan Atas Nama Nabi saw.!

Dan kenyataan ini menjadikan kita membayangkan betapa besar bahaya yang sedang mengancam agama Islam dengan kepalsuan-kepalsuan semacam itu…. Bagaimana kebencian terhadap keluarga suci Nabi saw. dan para pecinta mereka (baca Syi’ah) telah maracuni jiwa dan kemudian mendorong sebagian orang untuk berani memalsu hadis atas nama Nabi Muhammad saw. dengan harapan dapat mengubur perjuangan cucu tercinta Nabi saw.! Dan kemudian lantaran berbaik sangka kepada para pemalsu itu, sebagian ulama menerima dan meriwayatkannya dalam kitab-kitab mereka!

Kepalsuan dan pemalsuan atas nama Nabi saw. seperti itu menjadikan kita harus selalu waspada terhadap semua langkah yang dirancang oleh oknum musuh-musuh Ahlulbait Nabi as. dalam memerangi mereka dan mengaburkan keagungan dan kemuliaan perjuangan mereka!

Hari Asyura’ Adalah Hari Raya Bani Umayyah dan Musuh-musuh Keluarga Suci Nabi as.

Para penguasa Bani Umayyah dan antek-antek mereka di sepanjang sejarah berusaha menjadikan hari ke sepuluh bulan Muharram (Asyûrâ’) sebagai hari raya, hari kebahagian, hari kegembiraan, hari kemenangan dan hari keselamatan! Semua itu mereka lakukan untuk menentang Ahlulbait as. yang menjadikannya sebagai hari duka atas kesyahidan Imam Husain as. dan keluarga serta pengikut setia beliau.

Al Biruni melaporkan’ “Adapun Bani Umayyyah mereka telah mengenakan baju-baju baru, berhias diri, bercelak dan berlebaran. Mereka mengadakan parayaan-perayaan dan jamuan tamu. Mereka membagi-bagi permen dan makanan-makanan yang lezat. Dan demikian lah yang berkalu di kalangan masuarakat selama kekuasan mereka dan tetap berlaku meski kekuasaan mereka telah tumbang. Adapun kaum Syi’ah, mereka meratapi dan menangisi kesyahidan penghulu para syuhada’; al Husain…. .“[11]

Al Miqrizi melaporkan, “Dan setelah tumbangnya kekuasaan ‘Alawiyyin di Mesir, para penguasa dari dinasti Ayyubiyah menjadikan Asyûrâ’ sebagai hari kegembiraan. Mereka berlapang-lapang kepada keluarga mereka. Mereka menyajikan beragam makanan lezat. Memakai alat-alat dapur yang baru. Mereka bercelak dan mendatangi pemandian-pemandian umum sesuai dengan kebiasaan penduduk kota Syam yang ditradisikan oleh Hajjaj di masa kekuasaan Abdul Malik ibn Marwan dengan tujuan menyakitkan hati Syi’ah Ali ibn Abi Thalib (Karramallah wajhahu/ semoga Allah memliakan wajah beliau), di mana mereka menjadikan hari Asyûrâ’ sebagai hari duka dan kesedihan atas kasyahidan Husain ibn Ali as. sebagi beliau gugur syahid di hari itu.” Kemudian ia melanjutkan: “Dan kami masih menyaksikan sisa-sisa tradisi bani Ayyûb yang menjadikan hari Asyûrâ’ sebagai hari kegembiraan dan kelapangan.”

Al Miqrizi juga menyebutkan doa Imam Muhammad al Baqir as. (Imam Kelima Syi’ah) yang berbunyi: “Dan ini adalah hari di mana bani Umayyah dan anak keturunan wanita pengunyah jantung meyakini keberkahannya karena mereka telah berhasil membunuh Husain.”[12]

Dan untuk semua itu, musuh-musuh Imam Ali dan Ahlulbait as. telah membuat-buat kepalsuan atas nama Nabi saw. tentang keagungan hari Asyûrâ’ dan pahala besar yang dijanjikan bahwa yang berpuasa, berbanyak-banyak dalam memberi uang belanja kepada keluarga, mengusap kepala anak yatim, membagi-bagi makanan dan menampakkan kehabagian dan kegembiraan di dalamnya. Walaupun tidak sedikit pula usaha telah dicurahkan ulama Islam (sunni) dalam membongkar kepalsuaan hadis-hadis seperti itu.

Namun yang paling menyedihkan dari pemalsuan atas nama Nabi saw. adalah fatwa-fatwa sesat lagi menyesatkan yang diproduksi sebagai terompet kemunafikan dan kesesatan bani Umayyah yang melarang menampakkan kesedihan atas kesyahidan Imam Husain as. dan juga melarang membacakan kisah kesyahidannya!


Referensi:

[1] Mushannaf Abdurrazzâq,4/289 dan 290, Shahih Bukhari,1/244, Shahih Muslim,3/150, as Sirah al Halaibiyah,2/132-133, al Bidayah wa an Nihayah,1/274, 3/355. baca juga tafsir Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat-ayat puasa dalam surah al Baqarah.
[2] Ibid. dan Muwaththa’; Imam Malik,1/279 dan Zâd al Ma’âd,1/164 dan 165.
[3] Shahih Muslim,3/151.
[4] Zâd al Ma’âd,1/164-165.
[5] Shahih Bukhari, pada bab Farq asy Sya’ri Fi al Libâs, as Sirah al Halabiyah,2/132 dan Zâd al Ma’âd,1/165.
[6] As Sirah al Halabiyah,2/115 dan Sunan Abu Daud,2/250.
[7] Al Madkhal,2/48.
[8] An Nihayah; Ibnu Atsîr,3/240.
[9] Ibid.
[10] Al Bidayah wa an Nihayah,2/252 dari riwqayat Abu Nu’aim, Majma’ az Zawâid,9/244 dari riwayat ath Thabarani dan Kanzu ‘Ummâl,7/64 dari riwayat ar Ruyâni dan Ibnu ‘Asâkir.
[11] ‘Ajâib al Makhlûqât,1/114.
[12] Al Khithath; al Miqrizi,1/490. baca juga al Hadhârah Fi al Qarni ar Râbi’ al Hijri,1/138.

(Jakfari/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

0 komentar: