Kamis, 24 November 2016

Lima Alasan Mengapa Imam Ali as Disingkirkan Dari Kekhalifahan!


Sebuah Tinjauan Historis Ideologis

Penggeseran posisi Imam Ali as. dari kekhilafahan yang dilakukan oleh Kelompok Saqifah pimpinan sahabat dari pak Quraisy bukan dikarenakan tidak adanya nash penunjukan, akan tetapi lebih dikerenakan adanya pertimbangan ‘maslahat’ mereka dan pertimbangan-pertimbangan tertentu lainnya. Hal itu dapat kita saksikan dalam beberapa pernyataan para arsitek Kelompok Saqifah itu sendiri.

Dan dalam sejarah hidup para sahabat terlihat jelas adanya pola pandang pada sebagian mereka yang lebih memilih ‘bersikap sendiri’ dan mengedepankan pertimbangan kepentingan dan maslahat, khususnya dalam hal-hal sosial dan bahkan dalam sebagian masalah ibadah.

Sikap lebih mengedepankan apa yang mereka anggap membawa maslahat atas nash dan ketetapan Allah dan Rasul-Nya itu disebut-sebut oleh para pendukung mereka sebagai ‘Ijtihad’, yang tentunya berbeda dengan ijtihad yang didefenisikan dan di bakukan dalam disiplin ilmu Ushul Fikih. Ijtihad dalam defenisi ulama Ushul Fikih adalah ‘Mencurahkan segenap usaha untuk mengungkap hukum Allah dari sumber-sumber Syari’at (Al Qur’an dan Sunnah). Sedangkan ‘ijtihad’ dalam hal yang sudah ditetapkan dalam Syari’at dan lebih mengedepankan pertimbangan maslahat, sebenarnya lebih tepat disebut dengan penggilasan nash, pembangkangan atas ketetapan Allah dan berijtihad melawan nash bukan Ijtihad!

Namun demikian fenomena ini adalah sebuah kenyataan sejarah dan atas dasar pola pandang seperti itu sebagian sahabat Nabi saw. bersikap terhadap apa yang di tetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik di masa hidup Nabi saw maupun sepeninggal beliau.

Dan dalam masalah penunjukan Khalifah, mereka juga memberlakukan konsep yang sama, mereka membekukan nash ketika melihat bahwa memberlakukan nash jusrtu tidak membawa maslahat!

Di bawah ini akan saya sebutkan pertimbangan maslahat dan ‘ijtihad’ Kelompok Saqifah dalam pembekuan konsep Imamah Ali dan Ahlulbait as dan menyingkirkan Imam Ali dari tampuk Kekhalifahan dan kepemiminan kaum Muslimin sepeninggal Nabi saw… Setelah itu saya serahkan kepada Anda untuk menilainya.


Alasan Pertama: Imam Ali as. Terlalu Muda Usia

Dalam sebuah dialoq antara Khalifah Umar dn Ibnu Abbas disebutkan sebagai berikut:

Umar: Hai Ibnu Abbas, demi Allah rekanmu itu (Ali maksudnya) adalah paling layaknya orang atas jabatan [Kekhalifahan] ini sepeninggal Rasulullah saw. hanya saja kami takutkan dua hal darinya.

Ibnu Abbas: Wahai Amirul Mukminin, apa dua hal tersebut?

Umar: Kami khawatir atasnya karena mudanya usia dia dan kecintaannya kepada Bani Abdul Muththalib.[1]

Dalam dialoq lain juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: Ketika saya berjalan bersama Umar di sebuah kampung di kota Madinah, tangannya menggandeng tanganku, lalu ia berkata: Hai Ibnu Abbas saya tidak mengira temanmu itu melainkan ia terzalimi/madzlûm.

Ibnu Abbas berkata: Maka saya berkata dalam diri saya, demi Allah bukan saya yang memulainya. Maka saya berkata: Wahai Amirul Mukminin, kalau begitu kembalikan sesuatu yang dirampas darinya.

Maka sepontan ia melepas tangannya dari tanganku, kemudian ia berjalan menjauh dariku sambil mengucapkan kata-kata yang tidak aku pahami, lalu ia berhenti dan sayapun menyusulnya, kemudian ia berkata kepadaku: ‘Hai Ibnu Abbas, saya tidak mengira mereka mencegah rekanmu dari jabatan itu melainkan karena mereka menganggap muda usianya.’

Maka dalam hati saya berkata ini lebih jelek dari yang pertama, maka saya berkata: Demi Allah ia tidak dianggap kecil (muda usia) oleh Allah ketika ia diperintah mengambil alih (penyampaian) surah Bara’ah dari Abu Bakar.[2]

Dan jauh sebelum masa kekuasaan Umar, dan di hari-hari pertama pembaiatan Abu Bakar, ketika Ali as. dipaksa dihadirkan di hadapan Abu Bakar untuk diminta paksa baiat darinya, hal serupa telah dinyatakan oleh Abu Ubaidah kepada Imam Ali as.: Wahai Abul Hasan sesungguhnya kamu masih muda usia dan mereka itu adalah orang-orang tua Quraisy, kamu tidak memiliki pengalaman seperti pengalaman mereka dan pengetahuan tentang urusan-urusan seperti pengetahuan mereka dan saya tidak melihat Abu Bakar melainkan lebih kuat memikul urusan ini dari kamu…. Maka serahkan urusan ini kepadanya dan relakan untuknya, sesungguhnya jika kamu berumur panjang kamulah yang pantas untuk urusan ini kerena keutamaan, kekerabatan, masa lalu dan jihadmu … .[3]


Alasan Kedua: Imam Ali as. terlalu mencintai Bani Hasyim

Dalam dialoq antara Umar dan Ibnu Abbas di atas terlihat bahwa kecintaan Imam Ali as. terhadap Bani Abdul Muththalib dijadikan alasan disingkirkannya Imam Ali as. dari jabatan Kekhilafah.


Alasan Ketiga: Imam Ali as. Berselera Humor dan Melucu

Sekali lagi, dalam sebuah dialoq antara Umar dan Ibnu Abbas, Umar menyatakan alasan di atas.

Ibnu Abbas bercerita: ‘Ketika saya berada di sisi Umar, maka tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam seakan tulang ijanya terurai, maka saya berkata: Wahai Amirul Mikminin tiada menyebabkan nafas yang dalam itu kecuali perkara yang sangat penting?!

Umar: Benar, demi Allah, hai Ibnu Abbas. Saya berfikir maka saya tidak tahu harus menyerahkan kepada siapa kepeminpinan ini sepeninggalku nanti.

Kemudia Umar melanjutkan: Mungkin kamu melihat bahwa rekanmu (Ali) pantas untuknya?

Ibnu Abbas: Apa yang mencegahnya dari itu, mengingat jasanya dalam jihad, bercepat-cepatnya dalam memeluk Islam dan kekerabatannya dengan Nabi serta ilmunya?!

Umar: Engkau benar, akan tetapi ia seorang yang memiliki rasa humor (du’âbah).[4]


Alasan Keempat: Kaum Quraisy tidak suka kalau kenabian dan kekhilafahan ditangan Bani Hasyim

Ibnu Abil Hadid Al Mu’tazili dalam Syahr Nahjul Balaghah dan Ibnu Al Atsîr dalam al Kâmil menyebutkan dialog lain sebagai berikut:

Umar: Hai Ibnu Abbas, tahukah kamu apa yang mendorong puak Quraisy menolak kepemimpinan Ahlul Bait sepeninggal Muhammad?

Ibnu Abbas: Maka aku tidak ingin berterus terang dalam menjawab, lalu aku katakan kepada Umar: Kalau saya tidak mengetahuinya, tentu Amirul Mukminin mengetahuinya.

Umar: Karena mereka tidak menyukai berkumpulnya kenabian dan kekhilafahan pada kalian (puak Bani Hasyim), sebab kalian akan menjadi congkak dan semena-mena tehadap kaum kalian. Oleh sebab itu puak Quraisy memilih untuk mereka seorang pemimpin dan langkah itu benar dan sesuai… .

Ibnu Abbas: Apakah Amirul Mukminin bersedia menjauhkan dariku marahnya lalu mendengarkan pembicaraanku?

Umar: Katakan terserah kamu!

Ibnu Abbas: Adapun ucapan Amirul Mukminin bahwa puak Quraiys membenci (berkumpulnya kenabian dan kekhilafahan pada bani Hasyim), maka sesungguhnya Allah –Ta’ala- telah berfirman: ‘Yang demikian itu adalah kerena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah lalu Allah menghapus (pahala-pahala) amal-amal mereka.’ (QS: Muhammad;9).

Adapun ucapan Anda: Bahwa kami akan conkak. Maka jika kami bakal congkak dikarenakan jabatan Kekhilafahan maka sesungguhnya kami akan congkak dikarenakan kekerabatan kami (dengan Nabi saw), akan tetapi kami adalah kaum yang akhlak kami terbelah dari akhlak Rasulullah yang Allah berfirman tentangnya: ‘Dan sesungguhnya kamu berada di atas akhlak (budi pekerti) yang agung. (QS:Al Qalam;4) dan Allah berfirman kepadanya: ‘Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.’ (QS. Asy Syu’arâ’;215).

Adapun ucapan Anda bahwa puak Qusaiys memilih sendiri…, maka Allah telah berfirman: ‘Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.’ (QS. Al Qashash;68). Dan Anda –wahai Amirul Mukminin- mengetahui sesungguhnya Allah telah memilih dari hamba-Nya untuk jabatan itu. Dan andai puak Quraisy berpendapat seperti yang ditetapkan Allah niscaya mereka tepat dan benar.

Umar: Tunggu, hai Ibnu Abbas, memang hati kalian Bani Hasyim enggan kecuali kebencian yang tiada padam dan kedengkian yang tiada berubah terhadap puak Quraisy.

Ibnu Abbas: Tenang wahai Amurul Mukminin, jangan Anda menuduh hati Bani Hasyim dengan kedengkian, sebab hati mereka dari hati Rasulullah yang disucikan dari noda, mereka adalah Ahlulbait yang Allah berfirman tentang mereka: ’Sesungguhnya Kami berkehendak untuk menghilangkan dari kalian rijs –wahai Ahlulbait- dan mensucikan kalian sesuci-sucinya.’

Adapun ucapan Anda: Mereka sakit hati. Maka benar, bagaimana seseorang yang haknya dirampas dan melihat miliknya di tangan orang lain tidak akan sakit hati?!

Umar: Adapun kamu hai Ibnu Abbas telah sampai kepadaku ucapanmu yang saya tidak ingin memberitahukannya kepadamu, sebab akan menjatuhkan kedudukanmu di sisiku.

Ibnu Abbas: Apa itu wahai Amirul Mukminin, beritahukan kepadaku, kalua ia kebatilan maka orang seperti saya layak menjauhkan kebatilan dari dirinya, dan jika ia adalah haq maka kedudukanku di sisi Anda tidak sepatutnya akan jatuh.

Umar: Telah sampai kepadaku bahwa kamu senantiasa mengatakan: Perkara ini [Kekhalifahan] dirampas dari kami karena kedengkian (rasa hasud) dan dengan kezaliman.

Ibnu Abbas: Adapun ucapan Anda ‘karena rasa hasud’, maka sesungguhnya Iblis telah mengahsud/iri hati kepada Adam sehingga mengeluarkannya dari surga, dan kami adalah anak keturunan Adam yang dihasudi itu.

Adapun ucapan Anda: ‘dengan kezaliman’, maka sesungguhnya Amirul Mukminin mengetahui pemilik hak ini, siapa dia?

Kemudian Ibnu Abbas berkata: Wahai Amirul Mukminin, bukankah bangsa Arab berhujjah atas orang Ajam (non Arab) dengan kedudukan Rasulullah, dan puak Quraisy berhujjah atas seluruh bangsa Arab dengan kedudukan Rasulullah saw, maka kami lebih berhak terhadap Rasulullah dari seluruh puak Quraisy.

Umar: Berdirilah sekarang dan pulanglah kerumahmu!

Maka Ibnu Abbas berdiri dan ketika ia melangkahkan kakinya, Umar memanggilnya: ‘Hai orang yang sedang berpaling, saya tetap seperti dulu, memelihara hakmu.’ Lalu Ibnu Abbas menoleh dan berkata: ‘Sesungguhnya saya punya hak atas Anda wahai Amirul Mukminin dan atas seluruh kaum Muslimin dengan kedudukan Rasulullah saw. maka barang siapa memeliharanya berarti ia memelihara hak dirinya sendiri dan barang siapa menyia-nyiakannya maka ia menyia-nyiakannya.’ Kemudian ia berlalu, maka Umar berkata kepada mereka yang duduk bersamanya: ‘Aduh, Ibnu Abbas, tiada saya melihat ia berdebat dengan seorang kecuali ia mengalahkannya.’[5]


Analisa Ringkas terhadap Dialoq diatas

Kami sengaja menyebutkan kutipan panjang dialaoq antara Umar dan Ibnu Abbas mengingat dialoq tersebut memuat banyak rahasia yang menjadi inti persoalan perselisihan seputar Kekhilafahan. Dan untuk lebih jelasnya saya akan ikhtisarkan dialog itu dalam poin-poin sebagai berikut. [tolong diperhatikan]:

Poin Pertama: Umar berterus terang bahwa puak Quraisy membenci pengaturan Tuhan yang menggabungkan kenabian dan Kekhilafahan pada keluarga Nabi Muhammad saw.

Poin Kedua: Pengaturan Tuhan mengandung arti menzalimi hak suku Quraisy –selain Bani Hasyim-, sebab Dia memberikan kepada Bani Hasyim kenabian dan sekaligus Kekhilafahan, sementara yang lainnya tidak mendapat bagian jabatan apapun.

Poin Ketiga: Kendati hal itu adalah ketetapan Tuhan, namun kalangan Quraisy menolak penggabungan Kenabian dan Kekhilafah dengan alasan bahwa ketetapan itu akan menyebabkan Bani Hasyim akan merasa congkak dan angkuh.

Poin Keempat: Khalifah Umar membekukan ketentuan Tuhan yang menetapkan hak Kenabian dan Kekhilafahan bagi Bani Hasyim dan menyajikan konsep alternatif yang mencabut dari mereka hak Kekhilafahan dan ia menyebutnya sebagai tindakan benar dan lurus.

Poin Kelima: Khalifah Umar menuduh banwa Bani Hasyim curang dan dengki terhadap anak suku Quraisy lain, sebab mereka berusaha mengambil kembali Kekhilfaha dari puak Quraisy.

Poin Keenam: Khalifah Umar memposisikan dirinya sebagai jubir resmi pihak Quraisy dan sekaligus sebagai pembela kepentingan-kepentingan mereka.

Poin Ketujuh: Orang pertama dari kalangan Quraisy yang melahirkan alasan-alasan tersebut dan menyatakannya serta merancang kekuasaan untuk puak Quraisy adalah Umar bin Khaththab sendiri. Jadi beliau adalah anak Quraisy yang bakti dan perancang konsep alternatif.

Poin Kedelapan: Khalifah Umar selalu mewaspadai gerak-gerik semua anggota keluarga besar Bani Hasyim dan khawatir mereka mengambil kembali kekuasaan Kekhilafah dari puak Quraisy. Adapun sikap akrapnya terhadap Ibnu Abbas adalah mata rantai sikap politis yang bertujuan memecah belah kesatuan Bani Hasyim yang selalu setia mendukung Imam Ali as., sebagaimana sebelumnya mereka lakukan terhadap Abbas dengan menawarkan jabatan agar ia meninggalkan Ali as., akan tetapi tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Abbas paman Nabi tersebut.


Ibnu Abbas ra. menghadapi Khalifah Umar dengan beberapa hakikat Syar’iyah

Hakikat Pertama: Sesungguhnya suku-suku Quraisy, diantara mereka adalah Umar sendiri benci terhadap ketetapan Allah Swt. dengan dipilihnya Ahlulbait as. sebagai pemimpin umat Islam.

Hakikat Kedua: Sesungguhnya suku-suku Quraisy menyimpang dari kebenaran Syari’at dan salah karena menyingkirkan pemimpin yang telah ditunjuk Allah dan memilih pemimpin lain.

Hakikat Ketiga: Sesungguhnya kekhawatiran puak Quraisy terhadap kecongkakan Bani Hasyim apabila Kenabian dan Kekhilafah di tangan meraka -walau hal itu adalah ketetapan Allah- sama sekali tidak berdasar.

Hakikat Keempat: Suku-suku Quraisy dalam sikap politis mereka dengan meninggalkan pilihan Allah dan menentukan pilihan mereka sendiri adalah bertentangan dengan ketetapan Syari’at Agama Allah. Mereka mengatakan bahwa sikap itu benar dan menuduh Ahlulbait as. yang disucikan Allah sesuci-sucinya sebagai pihak yang berusaha mengambil kembali hak mereka yang terampas sebagai berbuat curang dan memendam rasa hasud.

Hakikat Kelima: Ibnu Abbas ra. menjelaskan bahwa Umar telah mengetahui siapa sebenarnya pemilik hak Kekhilafah itu, yaitu Ali as., namun kendati demikian mereka menyingkirkannya.

Hakikat Keenam: Sesungguhnya puak Quraisy mendengki dan menzalimi Ahlulbait as. dengan merampas hak Kekhilafah dari tangan mereka.

Hakikat Ketujuh: Sesungguhnya mereka yang menyia-nyiakan hak Ahlulbait as. dalam kepemimpinan umat sebenarnya meraka menzalimi diri mereka sendiri![6]


Alasan Kelima: Kebencian Suku Arab terhadap Imam Ali as

Dan sebelum saya akhiri ulasan ini saya ingin menutupnya dengan menyajikan sebuah fatka yaitu:

Kebencian bangsa Arab dan khususnya puak Quraisy terhadap Imam Ali as. adalah dikarenakan pembelaan beliau terhadap Nabi saw. dan agama Islam, sehingga dengan ketajaman pedang Ali as., musuh-musuh Islam tersungkur, dan korban dari kalangan mereka pun berjatuhan, sehingga walaupun di kemudian hari mereka memeluk Islam rasa dengki dan dendam tersebut masih membara dalam hati mereka. Apalagi mereka yang memeluk Islam bukan karena ketulusan jiwa, akan tetapi karena tujuan-tujuan lain seperti: karena ikut-ikutan, menginginkan mendapatkan materi, takut terhadap kejayaan Islam dan lain lain.


Ibnu Abi al Hadid mengatakan: ‘Ketahuilah bahwa semua darah yang dicucurkan Rasulullah saww. dengan pedang Ali as. dan dengan pedang yang lainnya maka orang-orang Arab sepeninggal Nabi saw. hanya akan menuntut balas semua itu kepada Ali as., dan itu adalah kebiasaan bangsa Arab apabila ada seorang dari mereka terbunuh mereka menuntut balas kepada si pembunuhnya dan apabila ia telah mati atau ada halangan untuk membalasnya, maka mereka akan membalas keluarga yang paling sepadan dengan si pembunuh dari keluargnya.’[7]

Dan selain itu kedengkian itu pada sebagian mereka dikerenakan rasa iri hati dan hasud terhadap berbagai keistimewaan dan keutamaan Imam Ali as. yang selalu disabdakan dan ditablighkan Nabi Muhammad saw. serta kedudukan sentral yang ditetapkan untuk beliau as. Dan perlu diketahui bahwa puak Quraisy adalah terkenal dengan rasa hasud dan iri hati serta kompetisi tidak sehat diantara mereka, sebagaimana ditegaskan oleh Khalifah Umar sendiri kepada Abu Musa al ‘Asy’ari dan Mughirah bin Syu’bah.[8]

Dalam kesempatan lain ia mengemukakan: Ketahuilah bahwa keadan Ali dalam hal ini (kebencian bangsa Arab kepadanya) sangat masyhur dan tidak perlu diperpanjang lagi, tidakkah Anda menyaksikan bagaiamana pemberontakan bangsa Arab dari berbagai penjuru ketika beliau dibaiat sebagai Khialifah setelah dua puluh lima tahun dari wafat Nabi saw. dan semestinya dalam kurun waktu kurang dari itu kedengkian itu sudah terlupakan, tuntutan balas dendam sudah padam dan hati-hati yang membara meredah serta terhibur, berlalunya sebuah generasi dan datangnya generasi baru dan tidak tersisa dari generasi menyandang dendam kecuali sebagaian kecil, namun demikian keadaan beliau dengan puak Quraisy setelah kurun waktu yang panjang itu seperti keadaan beliau apabila menerima jabatan Kekhilafahan langsung sepeninggal anak pamannya (Nabi) saw. dalam sisi penampakan apa yang terpendam dalam jiwa dan gejolak hati, sehingga generasi pelanjut Quraisy dan para pemuda yang tidak ikut serta menyaksikan peristiwa-peristiwa yang dilakuakan Ali as. dan penghunusan pedang terhadap pendahulu dan ayah-ayah mereka juga melakukan apa-apa yang seandainya para pendahulu itu masih hidup tidak akan melakukan seperti itu. Lalu apa bayangan kita kalau beliau duduk di kursi Kekhilafahan sementara pedang beliau masih bercucuran darah bangsa Arab, khususnya Quraisy… .’[9]

Dan inilah salah satu bentuk pengkhianatan umat terhadap beliau seperti yang disabdakan Nabi saw. kepada Ali as.


Habib bin Tsa’labah bin Yazid berkata: ‘Saya mendengar Ali berkata ketika dipaksa memberi baiat untuk Abu Bakar: ‘Demi Tuhan langit dan bumi (beliau ucapkan tiga kali), sesungguhnya ini adalah janji Nabi yang Ummi kepadaku, ‘Bahwa umat akan berkhianat kepadamu sepeninggalku.’[10]


Beberapa bukti adanya kebencian sahabat terhadap Imam Ali as.

Dalam banyak riwayat dapat kita temukan bukti adanya rasa dengki dan kebencian sebagian sahabat Nabi saww. terhadap Imam Ali as. walaupun Nabi saww. dalam banyak kesempatan telah menegaskan bahwa kebencian terhadap Imam Ali as. adalah kemunafikan. Dibawah ini akan kami sebutkan beberapa riwayat hadis yang membuktikan adanya kebencian itu .

Para muhadis seperti at-Turmudzi, ath-Thabarani, an-Nasa’i dan lain-lain meriwayatkan beberapa hadis yang menyebutkan bahwa ada sekelompok sahabat yang bersekongkol menyampaikan keluhan tentang sikap Ali as. kepada Nabi saww. ketika menjadi komandan pasukan yang di kirim ke negri Yaman dengan tujuan menjatuhkan kedudukan Ali as. di hadapan Nabi saww.,melihat tindakan mereka Nabi saww. marah dan menegur mereka agar tidak membenci Ali as. seraya menegaskan bahwa Ali adalah wali mereka sepeninggal Nabi saww.

Setiap kali mereka mengeluhkan tetntang Ali as. Nabi saww. mengatakan kepada mereka dengan nada marah: Apa yang kalian maukan dari Ali?! Apa yang kalian maukan dari Ali?! Dia adalah Pemimpin kalian setelahku.’[11]

Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Maka Khalid bin al Walid[12] menulis sepucuk surat kepada Nabi saw. dan memerintah saya (Buraidah) untuk mengecam Ali, maka saya serahkan surat itu dan saya kecam Ali ra., maka tiba-tiba berubahlah raut wajah Rasulullah saw. dan kemudian beliau bersabda: ‘Janganlah kamu membenci Ali! Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali, dan dia adalah Wali (Pemimpin) kalian setelahku.’[13]

Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Buraidah berkata: ‘Maka Khalid memanggilku dan mengatakan manfaatkan kesempatan ini dan beritakan kepada Nabi saw. apa yang ia lakukan!’ Maka saya berangkat kembali ke Madinah dan sesampainya di Madinah saya menuju masjid dan ketika itu Rasulullah saw. sedang berada di rumahnya sementara sekelompok sahabat beliau di hadapan pintu rumah beliau. Mereka bertanya: ‘Ada berita apa hai Buraidah?’ Saya menjawab: ‘Berita baik, Allah memenangkan kaum Muslimin. Mereka bertanya lagi: ‘Lalu apa yang membawamu pulang?’ Saya menjawab: ‘Ali mengambil seorang tawanan wanita dari bagaian khumus dan saya datang untuk melaporkan hal itu kepada Nabi saw.’. Mereka serempak berkata: Ya. Beritahukan kepada Nabi saw., agar ia jatuh di mata Nabi saw’.

Sementara itu Rasulullah mendenganrkan pembicaraan mereka, lalu beliau keluar dengan muka marah dan bersabda: ‘Mengapakah gerangan ada sekelompok kaum mencela-cela Ali? Barang siapa mencela-cela Ali berarti ia mencelaku dan barang siapa meninggalkan Ali berarti telah meninggalkanku. Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali … .’[14]

Inilah sekelumit dokumen yang membuktikan adanya fakta bahea di antara para sahabat Nabi saw. ada yang sangat mendengki Imam Ali as.


Referensi:

[1] Syarah Nahj al Balaghah; Ibnu Abi al Hadid,1\134.
[2] Ibid. jilid II\juz :6\18.
[3] Syarah Nahj: jilid:II juz:6\5 dan Abdullah bin Saba’ 1\135 menukil dari ath-Thabari: 2\443, 444 dan 446, Abqariyyatu Umar; Aqqad :173, Ar Riyâdl an Nadlirah:1\167 dll. Dan keengganan mereka untuk dipimpin oleh seorang yang muda usia juga pernah mereka tampakkan di masa hidup Nabi saw. ketika mereka membangkang terhadap perintah beliau agar bergabung dengan pasukan Usamah bin Zaid.
[4] Syarah Nahj :Jilid II\juz:6 hal :114 dan jilid III\juz :11\106.
[5] Syarah Nahj: jilidIII\12\107, Tarikh Thabari: 4\223 dan Al Kamil Fit Tarikh: 3\62 (peristiwa tahun 23).
[6] Al Khithath as Siyâsiyah Li Tauhidi al-Ummah al Islamiyah (Ahmad Husain Ya’qub): Pasal: 8: 458-460, Cet. Dâr al-Fajr –London tahun 1415H. Baca juga keterangan Ibnu Abi al Hadid dalam Syarahnya atas Nahjul Balâghah: Jilid III\juz:13 hal:283.
[7] Syarah Najh :jilid III\juz:13 hal:283.
[8] Baca dialoq lengkap mereka dalam Syarah Nahjul Balaghah: jilid:I juz 2\125-126, dan dalam dialoq tersebut Umar menegaskan bahwa yang paling hasud diantara suku Quraisy adalah Abu Bakar.
[9] Syarah Najh: jilid III\juz:13 hal:38.
[10] Syarah Najh: jilid II\juz6 hal:18 .
[11] Hadis riwayat an Nasa’i dalam kita al Khashâish (dengan komentar Abu Ishaq al-Huwaini) diterbitkan Dâr al Bâz – Makkah, hadis no. 84 dengan sanad Shahih .
[12] Dalam espedisi tersebut Nabi saw. mengirim dua pasukan, satu di bawah pimpinan Khalid dan yang lain di bawah pimpinan Imam Ali as. dan Nabi saw. mengatakan: Jika kalian bertemu maka Ali-lah Pimpinan tunggal atas pasukan itu, dan jika kalian berpisah maka setiap pasukan di bawah pimpinan masing-masing, dan sesampainya di Yaman mereka bertemu. (An Nasa’i: hadis no. 85).
[13] Ibid. hadis no. 85 denagn sanad Hasan .
[14] Majma’ az-Zawâid; al Haitsami,9\18 dari riwayat ath Thabarani dalam Mu’jam Awsath.

(Jakfari/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

0 komentar: