Kamis, 24 November 2016

15 Bukti Palsu Khilafah Abu Bakar, Dan Keshahian 12 Imam


Dalil-dalil Tekstual Penunjukan Atas Abu Bakar

Setelah ini, mari kita telaah hadis-hadis/riwayat yang diandalkan oleh Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb sebagai dalil kokoh atas kekhalifahan Abu Bakar dan senjata tangguh dalam mematahkan argumentasi kaum Syi’ah.


Syeikh berkata:

والأحاديث في صحة خلافة الصدّيق وإجماع الصحابة وجمهور الأمة على الحق أكثر من أن تُحصر ، ومن نسب جمهور أصحابه صلى الله عليه وسلم إلى الفسق والظلم ، وجعل إجتماعهم على الباطل فقد إزدرى بالنبي صلى الله عليه وسلم وإزدراؤه كفر ، ما أضيع صنيع قوم يعتقدون في جمهور النبي صلى الله عليه وسلم الفسق والعصيان والطغيان ، مع أن بديهة العقل تدل على أن الله تعالى لا يختار لصحبة صفيّه ونصرة دينه إلا الأصفياء من خلقه ، والنقل المتواتر يؤيد ذلك – فلو كان في هؤلاء القوم خير لما تكلموا في صحب النبي صلى الله عليه وسلم وأنصار دينه إلا بخير ، لكن الله أشقاهم فخذلهم بالتكلم في أنصار الدين كل ميسر لما خلق له .

“Dan hadis-hadis tentang keabsahan Khilafah ash Shiddîq dan Ijmâ’ para sahabat dan jumhur umat lebih banyak untuk dapat dibatasi. Dan barang siapa menisbatkan kepada mayoritas para sahabat kefasikan dan kezaliman, dan menjadikan kesepakatan mereka atas kebatilan maka telah menghina Nabi saw. dan menghina Nabi adalah kafir. Alangkah sia-sianya perbuatan kaum yang meyakini kefasikan, kemaksiatan dan penentangan pada jumhur/para sahabat Nabi saw., sementara dalil akal menunjukkan bahwa Allah tidak akan memilih untuk bersahabat dengan hamba pilihan-Nya kecuali orang-orang pilihan dari hamba-hamba-Nya. Dan penukilan yang mutawatir mendukung hal itu. Anda ada sedikit kebaikan pada mereka (Syi’ah) pastilah mereka tidak berbicara tentang sahabt-sahabat Nabi saw. dan para pembela agama-Nya kecuali dengan kebaikan. Akan tetapi Allah menyengsarakan dan menghinakan mereka dengan pembicaraan tentang para pembela agama-Nya. Dan setiap individu dimudahlan untuk berbuat sesuai dengan apa yang ia diciptakan untuknya!”


Ibnu Jakfari berkata:

Memalingkan pembicaraan dan diskusi dari tema Khilafah kepada pembicaraan tentang sahabat dan tuduhan mengecam dan menghinakan mereka adalah cara licik dan picik. Ia adalah lari dari inti utama permasalahan yang seharusnya dibicarakan secara ilmiah jauh dari provakasi murahan dan mempermainkan emosi dan parasaan semu kaum awam seputar kemuliaan Nabi saw. dan sahabatnya!

Jika demikian adanya, maka tidakkah seharusnya Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb juga mempertimbangkan dan sekaligus mempermasalahkan sikap sebagian sahabat Nabi mulia, utamanya Imam Ali dan keluarganya, Abbas –paman Nabi saw.- dan seluruh anggota keluarganya, seluruh anggota keluarga besar bani Hasyim dan para pengikut setia Imam Ali as., seperti Salman al Farisi, Abu Dzarr, Bilal, Zubair ibn Awwâm, Miqdad dkk. dalam penentangan mereka atas pembaiatan Abu Bakar?!

Al Ya’qûbi dan sekelompok ulama lain melaporkan, “Dan sekelompok dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar telah menolak memberikan baiat mereka kepada Abu Bakar, mereka berpihak kepada Ali ibn Abi Thalib, di antara mereka adalah Abbas ibn Abdil Muththalib, Fadhl ibn Abbas, Zubair ibn Awwam, Khalid ibn Sa’id, Miqdad ibn Amr, Salman al Farisi, Abu Darr al Ghiffari, Ammar ibn Yasir, al Barâ’ ibn Âzib dan Ubay ibn Ka’ab… “[1]

Apakah dalam pandangan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb para sahabat mulia Nabi saw. tersebut telah menghinakan Nabi saw. karena tidak sudi berbagung dengan kelompok Saqifah dan memberikan baiat setia kepada Abu Bakar?!

Apakah Fatimah –putri kesayangan Nabi saw., dan belahan jiwa beliau- yang tidak sudi memberikan baiat setia kepada Abu Bakar itu akan ia hukum sebagai mati Jahiliiah dan kafir karena tidak mengakui Khalifah Abu Bakar?! Bukankah mati tanpa mengenal Imam zamannya itu mati jahiliyah?! Seperti diterangkan dalam banyak hadis.

Apakah para sahabat mulia Nabi saw. yang menentang kekhalifahan Abu Bakar itu semua dalam pandangan Syeikh Aibnu Abdil Wahhâb hidup dalam keadaan jahiliah segera setelah wafat Rasulullah saw., sebab mati seorang itu sesuai dengan hidupnya, mati jahiliah membuktikan bahwa ia hidup jahiliah pula! Dan kelak di hari pembalasan akan dibangkitkan juga dalam keadaan jahiliah, “Seperti kalian hidup, seperti itu pula kalian akan mati, dan seperti kalian mati, seperti itu pula kalian akan dibangkitkan.” Demikian dalam hadis. Mungkinkah orang yang hidup dalam keaadaan jahiliah dan mati dengan model jahilah, ia akan dibangkitkan dalam keadaan fitrah Iislam dan keimanan sejati?!


o Hadis Ancaman Mati Jahiliyah atas Yang tidak mengakui Imam/ Khalifah

Banyak sekali hadis yang menegaskan hal tersebut, di antaranya adalah sebagai berikut:

مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَعْرِفْ ِامَامَ زَماَنِهِ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيّةً

“Barang siapa mati sedang ia tidak mengenal imam zamannya maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah.”[2]

Muslim dalam Shahih-nya pada Kitabul Imârah, bab al Amr bi Luzûmi al Jamâ’ah, dari Ibnu Umar, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يومَ القِيامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ, وَ مَن ماتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَات مِيْتَةً جاهِلِيَّةً.

“Barang siapa melepas tangan dari keta’atan ia berjumpa dengan Allah pada hari kiamat tanpa memiliki bukti, dan barang siapa mati sedang di lehernya tidak ada ikatan bai’at maka ia mati jahiliyah.”

Dan seperti riwayat Muslim juga pada bab yang sama, dan Bukhari dalam bab kedua pada Kitabul Fitan:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ , فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهلِيِةَ.

“Barang siapa tidak menyukai sesuatu dari Amirnya hendaknya ia bersabar atasnya, kerena barang siapa keluar (memberontak) dari penguasa barang sejengkal ia mati jahiliyah.”

Dan seperti riwayat dari Mu’awiyah dan Ibnu Umar:

من مات بِغَيْرِ إمامٍ مَاتَ مِيْتَةً جَاهلِيِةَ.ً

“Barang siapa mati tanpa imam ia mati jahiliyah.”[3]

Riwayat Muslim juga:

من مات و ليس في عنُقِهِ بيعةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهلِيِةً.

“Barang siapa mati sedang di atas lehernya tidak ada ikatan baiat maka ia mati jahliah.”[4]

من فَارَقَ الجماعَةَ شِبْرًا، فَمَاتَ، فَمِيْتَةٌ جَاهلِيِةًَّ

“Barang siapa meninggalkan jamâ’ah barang sejengkan saja lalu ia mati maka ia mati jahiliah.”[5]

من خرَج مِن الطاعَةِ وفَارَقَ الجماعَةَ فَمَات مَاتَ مِيْتَةً جَاهلِيِةً.

“Barang siapa keluar dari keta’atan dan memisah diri dari jama’âh lalu ia mati maka ia mati jahiliah.”[6]

Tidak ada jalan melainkan mengakui keshahihan hadis-hadis di atas dan menerima kandungannya, dan tidaklah sempurna islam seorang kecuali dengan pasrah mengimaninya. Tidak seorang pun di antara ulama Islam yang terlintas di dalam benaknya untuk meragukan keshahihannya atau meragukan kandungannya serta menolak konsekuensi darinya. Redaksi hadis-hadis tersebut sangat jelas bahwa nasib buruk akan menjadi bagian bagi siapa pun yang mati tanpa mengakui Imam/Khalifah! Dan bahwa kematian jahiliah adalah status yang akan disematkan ke atasnya!

Maka dengan demikian, mengapakah Ali as. membiarkan istri tercintanya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar, bahkan menentangnya dengan keras dan tidak mau berbicara dengannya dan dengan Umar hingga wafat menjemput beliau?!

Di sini hanya ada tiga opsi dalam menyikapi sikap penentangan putri tercinta Rasulullah saw. atas Khilafah Abu Bakar:

Pertama, Fatimah jahil akan sebuah masalah mendasar dalam agama ayahnya, sedangkan ia adalah pribadi yang paling pantas mengatahuinya, sementara itu sahabat mu’allaf, jelata dan muda usia dari umat ayahnya, seperti Mu’awiyah telah mengetahuinya dengan baik! Sehingga karena kehajilannya itu, Fatimah, –wal iyâdzu billah– mati menentang Sunnah dan prinsip agama ayahnya!

Kedua, bahwa hadis-hadis tersebut di atas adalah palsu walaupun ia telah diriwayatkan oleh para muhaddis dari kedua puak besar umat Islam yaitu Ahlusunnah dan Syi’ah!

Ketiga, Fatimah as. tidak memandang Abu Bakar sebagai Khalifah yang sah, sehingga bukanlah sebuah kewajiban agama untuk mengakuinya!

Demikian juga opsi ini berlaku untuk sikap Imam Ali as. yang menentang pembaiatan atas Abu Bakar selama enam bulan!

Apakah ada seorang Muslim yang sadar akan agamanya memilih opsi pertama dan mengatakan bahwa Fatimah as. –putri tercinta dan belahan jiwa ayahnya; Rasulullah saw.- dan Imam Ali as., pintu kota ilmu Rasulullah saw. bodoh akan hal tersebut! Tidak mengetahuinya! Lalu siapa yang harus dipersalahkan dalam kejahilan itu? Rasulullah saw. yang teledor dalam menyajarkannya? Atau Ali dan Fatimah yang tidak peduli terhadap ajaran Rasulullah saw…. tidak bersemangat dalam mempelajarinya!!

Sedangkan opsi kedua jelas tidak ada seorang santri Muslim yang jahil sekalipun meragukan keshahihannya, setelah hadis-hadis tersebut memenuhi syarat-syarat keshahihan dan kesepakatan para imam dan pakar hadis untuk mengakuinya dan menerima kandungannya.

Maka di hadapan kita hanya tersisa satu opsi yaitu opsi ketiga! Kekhalifahan yang ditentang oleh putri tercinta Rasulullah dan tidak diakuinya hingga wafat menjemputnya dan ia berjumpa dengan ayahnya di sisi Allah SWT …. Kekhilafahan yang Imam Ali as. membolehkan dirinya untuk menentangnya dan tidak memberikan baiat setia kepadanya walau barang sehari saja apalagi menentangnya selama enam bulan, dan membiarkan istri tercintanya menentangnya hingga wafat, sementara beliau menyadari bahwa siapa yang mati tanpa mengenal imam zamannya dan tidak ada ikatan baiat di atas lehernya maka ia mati jahiliah…. Kekhilafahan seperti itu sudah sepantasnya tidak wajib kita akui legalitasnya!!

Apakah Anda akan membodohi kaum awam dengan mangatakan bahwa Fatimah as. telah memberi restu atas kekhalifahan Abu Bakar?

Lalu apa yang akan Anda perbuat terhadap ratusan riwayat hadis dan laporan sejarah yang menegaskan penentangan Fatimah as. atas Abu Bakar, utamanya yang diriwayatkan Bukahri dan Muslim?[7] Apakah Anda akan menutup-nutupinya? Atau Anda hendak mengatakan bahwa riwayat itu sisipan kaum Syi’ah?!

Sudah sa’atnya para ulama berfikir cerdas, lapang dada, luas wasasannya, obyektif sikapnya, mulia akhlaknya dan tidak terus-menerus mempermaikan akal pikiran kaum awam serta menari-nari di atas puing-puing kejahilan mereka!

Setelah ketarangan ini, saya akan langsung mengajak Anda menyimak hadis-hadis yang disajikan Ibnu Abdil Wahhâb.


Referensi

[1] Tarikh al Ya’qubi,2/114. Baca juga al Mukhtashar Fi Akhbâr al Basyar,1/156 dan Tatimmah al Mukhtashar,1/187.
[2] Hadis di atas dan hadis-hadis mengandung makna serupa dapat Anda jumpai dalam banyak kitab-kitab mu’tabarah para ulama Ahlusunnah, di antaranya:
1. Shahih Bukhari, bab al Fitan,5/13.
2. Shahih Muslim,6/21-22 hadis1849.
3. Musnad Ahmad,2/83, 3/446 dan 4/96.
4. Shahih Ibn Hibbân,6/49 hadis 4554.
5. Al Mu’jam Al Kabir; Ath Thabarâni,10/350 hadis 10687.
6. Al Mustadrak; Al Hakim,1/77.
7. Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim,3/224.
8. Jâmi’ Al Ushûl; Ibn Al Atsîr Al Jazari,4/7.
9. Musnad Ath Thayâlisi:259.
10. Al Kuna wa Al Alqâb,2/3.
11. Sunan Al Baihaqi,8/156 dan 157.
12. Al Mabshûth; As Sarakhsi,1/113.
13. Syarah Nahj Al Balaghah; Ibn Abi Al Hadid,9/155.
14. Syarah Muslim; An Nawawi,12/44.
15. Talkhîs Al Mustadrak; Adz Dzahabi,1/77 dan177.
16. Tafsir Ibn Katsir,1/517.
17. Syarh Al Maqâshid,2/275.
18. Majma’ az Zawâid,5/218,219,223 dan312.
19. Kanz Al Ummâl,3/200.
20. Taisîr Al Wushûl,2/39
21. dll.
[3] Abu Daud ath Thayalisi dalam Musnad-nya:259 dari Ibnu Umar dan Majma’ az Zawâid,5/ 218 dari Mu’awiyah.
[4] Muslim Kitabul Imârah,4/126 hadis ke 58.
[5] Ibid. hadis ke 55.
[6] Ibid. hadis 53.
[7] Baca berbagai kitab hadis, di antaranya Shahih Bukhari pada Kitabul Maghâzi, bab Ghazwah Khaibar,3/38 dan Shahih Muslim, Kitabul Jihâd wa Sair,2/72.


Menyoroti Hadis-hadis Khilafah Abu Bakar

Ibnu Abdil Wahhâb menyebutkan sekitar lima belas hadis/dalil yang ia akhiri dengan kata-kata kecaman dan luapan emosi terpendam, tanpa menghiraukan konsekuensi berbahaya dari vonis yang ia lontarkan. Ia berkata, ”Dan hadis-hadis ini dan yang semisalnya akan membuat hitam gelegam wajah-wajah kaum Rafidhah dan kaum fasiq yang mengingkari kekhalifahan Abu Bakar ash Shiddîq ra.”

Untuk menyingkat waktu pembaca langsung saja kita ikuti satu persatu hadis yang ia sebutkan:

(1) Hadis Ali as.

عن علي رضي الله عنه قال: دخلنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلنا : يا رسول الله استخلف علينا . قال : إن يعلم الله فيكم خيراً يول عليكم خيركم . فقال علي رضي الله عنه : فعلم الله فينا خيراً فولّى علينا خيرنا أبا بكر رضي الله عنه . رواه الدار قطني .

“Dari Ali ra. ia berkata, “Kami masuk menemui Rasulullah saw. lalu kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, tunjuklah seorang pengganti (Khalifah) yang memimpin kami.’ Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Jika Allah mengetahui pada kalian ada kebaikan pastilah Allah mengangkat seorang yang terbaik untuk memimpin kalian.’ Maka Ali ra. berkata, ‘Allah mengetahui bahwa pada kami ada kebaikan maka Allah mengangkat orang terbaik kami yaitu Abu Bakar ra. untuk memimpin kami.’” (HR. ad Dâruquthni)

وهذا أقوى حجة على من يدّعي موالاة علي رضي الله عنه،

“Dan ini adalah paling kuatnya hujjah melawan orang yang mengaku mengikuti Ali.”


Ibnu Jakfari berkata:

Ini adalah hadis pertama dari dalil-dalil tekstual -sperti yang akan saya sebutkan satu persat- yang dibanggakan Ibnu Abdil Wahhâb –Pendiri Sekte Wahhâbi- dalam menegakkan legalitas kekhilafahan Abu Bakar. Dan dengan sedikit bermodal kesabaran dan sedikit ketelitian saja, serta tidak harus menjadi seorang “Pakar Hadis” Anda pasti dapat membuktikan betapa palsu hadis-hadis di atas yang diatas-namakan Rasulullah saw.

Hadis-hadis yang ia banggakan sebagai bukti kuat dan membungkam mulut-mulut lawan itu ternyata saling kontradiksi antara satu dengan lainnya, selain realita sejarah dan perjalanan peristiwa-peristiwa membuktikan kebohongannya, serta tanda-tanda kepalsuannya begitu kentara! Disamping tentunya bertolak-belakang dengan dogma Wahhabi sendiri!

Agar Anda tidak menuduh saya mengada-ngada dalam menvonis palsu atas hadis-hadis di atas, mari kita teliti satu persatu hadis-hadis tersebut!

Namun sebelumnya ada satu hal yang patut diutarakan dan harus senantiasa diingat dan diindahkan dalam mendiskusikan masalah-masalah yang diperselisihkan antara Syi’ah dan kelompok-kelompok lain di luar Syi’ah, khususnya kaum Wahhabi yang akhir-akhir ini getol membawa Panji Permusuhan dan Pengafiran terhadap kaum Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah Itsnâ Asyariyyah! Yaitu tentang “aturan main” dan etika berdialoq!

Sepertinya masalah yang satu kurang dimengerti atau memang sengaja tidak mau dimengerti, atau sengaja diabaikan dan tidak “digubris” oleh sebagian besar mereka yang gemar menghujat dan menggugat Syi’ah dan ajarannya. Yaitu mengenai kesepakatan akan argument yang boleh dijadikan pijakan dalam berdiskusi! Tentunya dalil yang berhak masuk ke dalam rana diskusi adalah dalil yang telah disepakati terlebih dahulu kehujjahannya oleh kedua belah pihak yang akan berdiskusi! Bukan hanya dalil yang dipercaya oleh satu pihak saja, sementara pihak lainnya tidak mengakuinya!

Di sini, dalam kesempatan ini Anda berhak terheran-heran ketika menyaksikan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dalam gugatan dan hujatannya atas kaum Syi’ah yang tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan dalam upaya ngototnya (namun sayang sia-sia) dalam menegakkan keabsahan Khilafah Abu Bakar … dalam semua itu ternyata Imam Sekte Wahhâbi ini hanya berdalil dengan dalil-dalil yang hanya berlaku di kalangan kelompoknya… legalitasnya tidak pernah disepakati oleh Syi’ah! bahkan rata-rata hadis andalannya itu ternyata telah divonis lemah, munkar, lâ yashihhu/tidak shahih, lâ ashla lahu/tidak punya asal muassal, bahkan tidak jarang yang maudhû’/palsu. Ia hanya pandai mencecer hadis-hadis dan kemudian memaksa Syi’ah untuk menerima konsekuaensi darinya, sementara itu hadis-hadis itu hanya ada dalam kitab-kitab selain Syi’ah dan Syi’ah sama sekali tidak pernah mengakuinya tidak juga kebanyak pakar ahli hadis Ahlusunnah!

Tentunya etika seperti itu sangat jauh dari inshâf, jauh dari obyektifitas diskusi! Semestinya Imam kaum Wahhabi itu mampu membongkar akar akidah Syi’ah melalui riwayat-riwayat Syi’ah sendiri dan menegakkan pondasi Kekhalifahan Abu Bakar di atas dalil-dalil dan hadis-hadis yang diakui Syi’ah karena, misalnya ia termaktub dalam kitab standar andalan mereka! Seperti yang selama ini dilakukan ulama Syi’ah!

Sebab jika etika berdialoq ini tidak ia indahkan, maka apakah ia siap dan sudi menerima dalil-dalil dari kitab-kitab Syi’ah yang diajukan ulama mereka untuk menegakkan pondasi akidah mereka tentang Imamah Ali dan Ahlulbait as.

Apakah jika ulama Syi’ah mengatakan bahwa keyakinan kami tentang Imamah adalah bahwa Nabi telah menunjuk Ali dan Ahlulbait as. sebagai pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi saw. dan siapapun yang menyerobot Ali as. berarti Khilafahnya tidak sah! Semua itu berdasarkan hadis-hadis yang telah diriwayatkan para ulama kami dalam kitab-kitab mereka! Apakah jika hal itu dilakukan ulama Syi’ah, Ibnu Abdil Wahhâb akan menerimanya? Atau justru ia akan mengatakan bahwa, itu adalah hadis-hadis ulama kamu! Kami tidak akan menerimanya! Datangkan hadis-hadis dari riwayat kami, agar kami mau menerimanya! Bukankah demikian sikap yang akan ia tampilkan?! Lalu sekarang mengapakah kaum Syi’ah harus dipaksa menerima hadis-hadis yang hanya diriwayatkan melalui jalur-jalur selain Syi’ah yang kandungannya bertentangan dengan keyaknan dan akidah Syi’ah?!

Jadi semestinya, jika Ibnu Abdil Wahhâb bernafsu untuk menegakkan bukti-bukti kekhilafahan Abu Bakar, ia harus membutkikan dari riwayat-riwayat Syi’ah! sebab dengan demikian ia berhak memaksa kaum Syi’ah untuk menerimanya secara konsekuen hadis-hadis yang ternyata telah diriwayatkan dan dishahihkan para ulama mereka sendiri. Sebagaimana apabila kaum Syi’ah hendak bermaksud menegakkan bukti-bukti imamah Ali dan Ahlulbait as. dan atau membuktikan ketidak-sahan khilafah selain Ali as. maka hendaknya mereka membuktikannya dari riwayat-riwayat ulama kelompok yang menjadi lawan dialoq mereka!

Tetapi sekali lagi saya katakan sangat disayangkan ternyata Ibnu Abdil Wahhâb, seperti juga kebanyakan ulama lainnya yang menghujat dan mengguat Syi’ah tidak pernah mengindahkan etika positif ini…. Mereka hanya mau menang sendiri… maka akibatnya hanya kerancaun dan hilangnya panji-panji kebanaran di tengah-tengah huruk-pikuk kegaduhan!

Dan perlu saya sampaikan juga bahwa sejatinya tidak ada kuwajiban atas saya untuk menanggapi dalil-dalil (hadis-hadis) yang ia ajukan sebab ia riwayat selain Syi’ah yang tidak ada hak baginya untuk memaksa kaum Syi’ah agar menerimanya dan meninggalkan keyakinan yang telah mereka tegakkan di atas dasar hadis-hadis Ahlulbait as. yang telah mereka riwayatkan dengan sanad yang shahih. Kalaupun saya menanggapinya sekarang ini, itu murni karena kebaikan sikap saya yang masih mau meluangkan waktu untuknya! Sama sekali tidak ada kewajiban atas saya, baik wajib aqli maupun wajib akhlaqi!

Setelah ini semua marilah kita kembali meneliti hadis-hadis di atas.


Ahlusunnah Sepakat Tidak Ada Nash Penujukan Dari Nabi saw!

Hal mendasar yang akan membubarkan angan-angan Imam Wahhabi kali ini ialah bahwa termasuk hal yang telah disepakati para pembesar ulama Ahlusunnah adalah bahwa Nabi saw. tidak pernah menujuk siapa Khalifah sepeninggal beliau saw. Ketarangan al Îji sebelumnya telah menegaskan hal itu!

Ada sebuah stitmen penting dan mendasar yang disampaikan Umar –selaku Khalifah kedua- ketika ia diminta para sahabat untuk menunjuk seorang Khalifah yang akan mengantikan posisinya setalah mati nanti, maka ia berkata, ”Jika aku tidak menunjuk seorang pengganti maka ketahuilah bahwa Rasulullah juga tidak menunjuk seorang pengganti dan jika aku menunjuk maka Abu Bakar telah menunjuk.”[1]

Dan di saat-saat terakhir menjelang kematiannya, ketika ada yang mengatakan kepaanya, “Jangan Anda biarkan umat Muhammad tanpa pengembala, tunjuklah seorang pemimpin!” Umar ibn al Khaththâb menjawab, “Jika aku membiarkan maka ketahuilah bahwa orang yang lebih baik dariku (Rasulullah saw. maksudnya) telah membiarkan dan jika aku menunjuk seorang pengganti maka sesungguhnya seorang yang juga lebih baik dariku (Abu Bakar maksudnya) telah menunjuk.”[2]

Selain bukti di atas, Anda dapat menemukan bagaimana Abu Bakar -selaku Khalifah pertama- juga berandai-andai jika ia dahulu bertanya kepada Rasulullah saw. siapa yang berhak atas jabatan kekhalifahan ini dan apakah kaum Anshar memiliki hak untuk menjabat atau tidak. Abu Bakar berkata, “Saya ingin andai dahulu aku bertanya kepada Rasulullah untuk siapa perkara (khilafah) ini sehingga ia tidak direbut oleh seorangpun yang bukan ahlinya? Aku ingin andai aku bertanya, apakah orang-orang Anshar mempunyai hak dalam perkara ini?.”[3]

Umar juga menyesal karena tidak sempat bertanya kepada Rasulullah saw. tentang tiga perkara, yang andai ia mengetahuinya pasti itu lebih ia sukai dari onta berwarna kemerah-merahan atau seperti dalam redaksi lebih ia sukai dari dunia dan seisinya, yaitu siapa Khilafah sepeninggal beliau, tentang hukum waris Kalalah dan hukum riba’.[4]

Semua itu adalah bukti konkrit bahwa baik Abu Bakar maupun Umar tidak pernah mengetahui barang satu huruf pun dari nash-nash penunjukan tersebut. Terlebih lagi jika Anda memperhatikan argumentasi yang diajukan Abu Bakar dan Umar dalam rapat Saqifah… . Sama sekali tidak menyebut-nyebut adanya nash/penunjukan itu!

Adapun riwayat-riwayat yang dibanggakan Ibnu Abdil Wahhâb maka perlu diketahui di sini bahwa para pembesar ulama Ahlusunnah telah menegaskankan kebatilan sebagian besar darinya!

o Riwayat Pertama:

Adapun riwayat pertama maka ia tertolak dengan alasan di bawah ini:

1) Imam Ali as. tidak memberikan baiat selama enam bulan

Berdasarkan riwayat-riwayat shahih yang telah saya sebutkan sebelumnya dari riwayat Imam bukhari, Muslim dan para pembesar ahli hadis lainnya yang mengatakan bahwa Imam Ali as. tidak memberikan baiat kepada Abu Bakar selama enam bulan, sebab beliau menganggap Abu Bakar bersikap semena-mena dalam hal ini. Jika benar Imam Ali as. telah mendengar Nabi saw. bersabda demikian pastilah beliau orang pertama yang akan bergegas membaiat Abu Bakar dan tidak akan membiarkan Fatimah istrinya menentang Abu Bakar dan menolak memberikan baiat!


2) Abu Bakar mengaku ia bukan orang yang paling baik

Sumber-sumber terpercaya Ahlusunnah menukil bahwa segera setelah diangkat sebagai Khalifah, Abu Bakar berpidato dan berkata, “Sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pemimpin atas kalian sementara aku ini bukan orang terbaik kalian.”[5]

Dan ini adalah bukti nyata bahwa Abu Bakar tidak menilai dirinya memiliki keunggulan di atas lainnya seperti yang ramai-ramai diklaim oleh pengikutnya.


3) Umar menuduh baiat Abu Bakar adalah faltah

Dalam sebuah kesempatan, Umar menyatakan di hadapan khalayak ramai ketika berpidato bahwa pembaiatan atas Abu Bakar itu terjadi secara faltah, tergerah-gesah, akan tetapi menyelamatkan umat dari dampak buruknya.


Referensi:

[1] Baca Shahih Bukhari,9/100, pada Kitabu al Ahkâm, Bab al Istikhlâf dan Shahih Muslim, 3/1454 bab al Istikhlâf wa tarkihi, Hilyah al Auliyâ’,1\44, as Sunan al Kubrâ, 8\149 dll.
[2] Murûj adz Dzahab; as Mas’udi,:2\253. Dâr al Fikr.
[3] Tarikh ath Thabari:4\53dan al Iqd al Farîd,2\254.
[4] Musnad Imam Ahmad,1/35, Tafsir al Qurthubi,6/30, Al Bidayah wa an Nihayah,3/247 dan Sunan al Baihaqi,8/149. Hadis serupa juga dapat Anda jumpai dalam tafsir Ibnu Katsir,1/595 dari riwayat al hakim dengan sanad shahih bertdasarkan syarat Bukhari&Muslim.
[5] Al Kâmil fi at Târîkh,2/232, Târîkh ath Thabari,3/210 dan at Tamhîd:487.


o Hadis Jubair ibn Muth’im

وعن جُبير بن مطعم قال : ” أتت امرأة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأمرها أن ترجع اليه ، فقالت : إن جئت ولم أجدك – كأنها تقول الموت – ، قال : إن لم تجديني فأتي أبا بكر” رواه البخاري ومسلم .

“Dari Jubair ibn Muth’im ia berkata, “Ada seorang wanita datang menemui Nabi saw. lalu beliau memerintahkannya agar kembali kepada beliau di waktu lain, maka wanita itu berkata, ’Jika aku datang lalu tidak mendapatimu –maksudnya beliau wafat-, bagaimana? Maka Nabi bersabda, “Jika engkau tidak mendapatiku maka datangi Abu Bakar.’” (HR. Bukahri & Muslim)


(1) Hadis Ibnu Abbas

وعن إبن عباس رضي الله عنه قال : جاءت إمرأة إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم تسأله شيئاً ، فقال : تعودين ، فقالت : يا رسول الله إن عدت فلم أجدك – تعرض بالموت – ، فقال : إن جئت فلم تجديني فأتي أبا بكر فإنه الخليفة بعدي ” رواه إبن عساكر .

“Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata, “Ada seorang wanita datang menemui Rasulullah saw. untuk meminta sesuatu, lalu beliau bersabda, ‘Kembalilah di waktu lain!’ Ia berkata, ‘Jika aku kembali lalu aku tidak mendapatimu –mati maksudnya-. Maka beliau bersabda, ‘Jika engkau kembali dan tidak mendapatiku maka datangi Abu Bakar, karena sesungguhnya ia adalah Khalifah setelahku.’” (HR. Ibnu ‘Asâkir)


Ibnu Jakfari Berkata:

Adapun dua riwayat tersebut adalah bertolak belakang dengan riwayat shahih yang deriwayatkan melalui jalur para parawi yang tsiqah dari Dzuaib bahwa, “Ketika Nabi saw. menjalang wafat, Shafiyyah (istri beliau) berkata, ‘Wahai Rasulullah, semua istri Anda memiliki keluarga yang menjadi tempat berlindung mereka, sedangkan engkau telah mendeportasi keluargaku, lalu jika terjadi apa yang terjadi (wafat maksudnya), kepada siapakah aku ini berlindung?’ Maka rasulullah saw. bersabda, ‘Kepada Ali ibn Abi Thalib.’”

Baca Majma’ az Zawâid,9/112-113, ia berkata, “Hadis ini diriwayatkan ath Thabarani dan seluruh perawinya adalah perawi hadis shahih.”

Hadis shahih riwayat Ahlusunnah ini menjadi hujjah kuat kami bahwa Nabi saw. telah menyerahkan urusan kaum Muslimin termasuk para istri beliau, sepeningal beliau kepada Ali ibn Abi Thalib, setelah beliau menetapkannya sebagai Pemimpin Tertinggi umat ini.

Selain itu, riwayat keempat dari Ibnu Abbas ra. yang juga disebutkan dalam ash Shawâiq-nya:11 sebagai bukti yang menunjukkan Khilafah Abu Bakar tanpa sanad sangat bertentangan dengan banyak hadis riwayat Ibnu Abba ra. lainnya yang tegas-tegas mengatakan bahwa Imam Ali as., seperti hadis riwayat Ibnu Abbas ra. bahwa Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya dia (Ali) adalah saudaraku, washiku (pengemban wasiat kepemimpinanku), dan Khalifahku sdi tengah-tengah kalian, maka dengar dan ta’ati dia!” dan hadis “Tidak sepatutunya aku pergi kecuali engkau hai Ali sebagai Khalifahku.”

Bukankah Ibnu Abbas ra. seperti juga ayah dan keluarganya termasuk orang pertama yang enggan membaiat Abu Bakar?! Semua bukti tersebut akan membohongkan penukilan itu dari Ibnu Abbas ra. dan juga penukilann dari Jubair ibn Muth’im!


Di antara hadis-hadis palsu itu adalah:

o Hadis Ibnu Umar

وعن إبن عمر رضي الله عنهما قال :” سمعت رسول الله يقول : يكون خلفي إثنا عشر خليفة ، أبو بكر لا يلبث إلا قليلا ” رواه البغوي بسند حسن .

“Dari Ibnu Umar ra. ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Akan datang setelahku dua belas Khalifah. Abu Bakar tidak akan lama menjabat.’” (HR. al Baghawi dengan sanad hasan)

Adapun riwayat keempat dari Ibnu Umar yang menyebut-nyebut jumlah para Khalifah sepeninggal Nabi saw. adalah dua belas, dan nama Abu Bakar secara khusus disebut dibelakangnya adalah bagian dari riwayat yang menyebut setelahnya nama Umar yang akan terbunuh sebagai syahid dan nama Utsman yang akan dipaksa oleh umat untuk menaggalkan busana kekhalifahan yang Allah kenakan padanya, yang dikatakan Ibnu Abdil Wahhâb sebagai riwayat al Baghawi dengan sanad hasan, maka perlu diketahui bahwa tambahan itu adalah maudhû’ (palsu).

Hadis tersebut adalah dari riwayat al Baihaqi sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir dalam Târîkh-nya,6/206 lengkap denga sanadnya. Dan pada mata rantai sanadnya terdapat nama-nama perawi bermasalah sebagai berikut:
A) Abdullah ibn Shâleh si pembohong besar, al Kadzdzâb.
B) Rabî’ah ibn Saif.

Imam Bukhari berkomentar tentangnya, “Ia banyak memiliki hadis-hadis munkar, manâkîr.”

Adz Dzahabi menyebutkan hadis tersebut dalam kitab al Mîzân-nya dari riwayat Yahya ibn Ma’in lalu berkata, “Saya terheran-haran terhadap sikap Yahya ibn Ma’in, padahal ia orang yang agung dan teliti, bagaimana ia meriwayatkan hadis batil seperti itu lalu mendiamkannya. Dan Rabî’ah adalah pemilik hadis-hadsi munkar dan yang aneh-aneh.”[1]

Jadi, atas dasar apa ia mengatakan bahwa sanad riwayat tersebut sanadnya hasan?

Selain itu telah datang banyak riwayat shahih tanpa menyebut tambahan pada bagain akhir riwayat.

Para ulama Syi’ah Imamiyah berhujjah dengan hadis-hadis tersebut bahwa dua belas Khalifah yang dimaksud adalah para Imam suci dari Ahlulbait Nabi saw., diawali oleh Imam Ali ibn Abi Thalib, Imam hasan dan Imam Husain serta kesembilan dari keturunan Imam Husain yang ditutup dengan Imam al Mahdi; Muhammad ibn Hasan al Askari as., seperti dapat dibuktikan kebenarannya dalam riwayat-riwayat Ahlusunnah sendiri di antaranya adalah:

أنا سيد النبيين و علي سيد الوصيين , و إن اوصيائي يعدي إثنا عشر أولهم علي و آخرهم القائم المهدي.

“Sesungguhnya aku adalah penghulu para nabi dan Ali penghulu para washi.Dan sesungguhnya para washiku sepeninggalku ada dua belas yang pertama adalah Ali dan yang terakhir adalah al Qaim al Mahdi.”[2]

Sementara itu, selain Syi’ah hingga sekarang masih belum menemukan kata sepakat siapa yang dimaksud dengan dua belas Khalifah itu!


Dua Belas (12 Imam) Khalifah!

Pada mathlab tentang dibatasinya Khilafah hanya pada dua belas orang, Syeikh Ibnu Abdul Wahhâb menuliskan ketarangan sebagai berikut:

ومنها دعواهم إنحصار الخلافة في إثني عشر فإنهم كلهم بالنص والابصار عمن قبله وهذه دعوى بلا دليل مشتملة على كذب فبطلانها أظهر من أن يبين ويتوسلون بها إلى بطلان خلافة من سواهم ، في ذلك تكذيب لنصوص واردة في خلافة الخلفاء الراشدين وخلافة قريش .

“Di antara kesesatan Syi’ah adalah klaim mereka bahwa Khilafah hanya terbatas pada dua belas Khalifah, dan mereka semuanya ditetapkan berdasarkan nash/ penunjukan dari Khalifah sebelumnya. Ini adalah klaim tanpa dalil, lagi memuat kebohongan. Kebatilannya lebih terang untuk harus diterangkan. Dengannya mereka mencari bantuan untuk membatalkan Khilafah selain dua belas Khalifah (Imam) mereka. Pada yang demikian terdapat pengingkaran terhadap nash-nash yang datang tentang khilafah para Khulafâ’ yang Rasyidin dan Khilafah Quraisy.”


Ibnu Jakfari berkata:

Adapun tuduhannya bahwa klaim Syi’ah tanpa dalil, maka itu hanya sekedar klaim batil tanpa dalil, seperti akan kami buktikan bahwa klaim Syi’ah justru sesuai dengan dalil! Selain itu, saya tidak mengerti mengapa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb tidak mau membebani dirinya untuk membuktikan kepalsuan klaim Syi’ah dan hanya mencukupkan diri dengan mengatakan bahwa “kebatilannya lebih terang untuk harus diterangkan” bukankah sikap pasif itu membuktikan ketidak-mampuannya mematahkan argumentasi-argumentasi pandangan Syi’ah yang didukung oleh dalil-dalil shahih dan kuat?!

Sabda Nabi saw. Bahwa Jumlah Khalifah Sepanjang Usia Umat Islam adalah dua Belas!

Banyak sekali hadis yang telah diriwayatkan dan dishahihkan para muhaddis dan ulama Ahlusunnah, di antaranya adalah para penulis Shihâh, Musnad, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud, Imam Ahmad, al Hakim dkk. bahwa jumlah pemimpin/Khalifah adalah dua belas, tidak lebih tidak kurang, semuanya dari suku Quraisy. Tidak ada perbedaan kecuali dalam redaksi: Khalifah atau Amîr atau Rajul atau Qayyim.

Di bawah ini akan saya sebutkan sebagian darinya:

o Hadis Bukhari:

Dari Jabir ibn Samurah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:

يكونُ اثْنا عشرَ أميرًا

“Akan ada dua belas Amir.”

Lalu beliau mengucapkan sebuah kalimat yang aku tidak mendengarnya, lalu ayahku berkata, “Nabi saw. bersabda:

كُلُّهُمْ مِنْ قُريش.

“Semuanya dari suku Quraisy. ”[3]



o Hadis Mulsim:

Imam Muslim meriwayatkan beberapa riwayat tentangnya, di antara dari Jabir bin Samurah, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah bersabda:

لا يزالُ الدينُ عزيزا مَنِيْعًا إلى اثني عشر خليفةً

“Agama ini senantiasa akan jaya dan terpelihara hingga berlalu dua belas Khalifah.”

Lalu beliau menyampaikan sebuah kata yang aku dibuat tuli (tidak mendengarnya) oleh orang-orang! Aku bertanya kepada ayahku, “Apa yang beliau sabdakan?” Ia menjawab:

كُلُّهُمْ مِنْ قُريش.

“Semuanya dari suku Quraisy.”[4]

Jabir ibn Sarumah, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:

لا يزالُ الإسْلاَمُ عزيزاً إلى إثْنَيْ عشر خليفَةً.

“Agama Islam senantiasa akan berjaya hingga berlalu dua belas Khalifah.”

Kemudian beliau berkata sebuah kata yang tidak kufahami, lalu aku bertanya kepada ayahku, “Apa yang beliau sabdakan?” Ia menjawab, “B eliau bersabda:

كُلُّهُمْ مِنْ قُريش.

“Semuanya dari suku Quraisy!.”

Hadis-hadis serupa juga telah diriwayatkan oleh Imam at Turmudzi dalam Sunan-nya, Abu Daud dalam Sunan-nya, al Hakim dalam al Musdatrak-nya, ath Thabarâni dalam al Mu’jam al Awsath-nya dkk.

Sebagian ulama di luar mazhab Syi’ah merasa kebingungan memaknai hadis-hadis di atas, sehingga pada akhirnya tidak sedikit yang memaksa diri menyebutkan tafsir dan pemaknaan yang tidak bertanggung jawab, sebagaimana sebagian lainnya menyerah dan mengaku tidak memahami apa sebenarnya maksud sabda Nabi saw. tersebut.

Ibnu al Jawzi –salah seorang alim yang tidak jarang dibanggakan kaum Wahhâbi- bertaka, “Aku telah lama merenungkan dan meneliti maksud hadis ini dan mencari tau tentangnya diberbagai tempat yang mungkin memberikan jawabannya, akan tetapi aku tidak mendapatkan kejelasan maksud dari hadis itu.”[5]

Adapun Ibnu Taimiyyah –panutan utama pendiri sekte Wahhabi- dengan tegas mengatakan bahwa yang dimaksud dengannya bukanlah dua belas Imam dari Ahlulbait as. yang diyakini Syi’ah! Dan salahlah sebagian orang Ahli Kitab (Yahudi) yang menganggap bahwa dua belas Khalifah itu adalah para imam Syi’ah. Ibnu Katisr menukil pendappat gurunya; Ibnu Taimiyah sebagai berkata, “Guru, Syeikh kami Allamah Abu al Abbas ibn Taimiyyah berkata, ‘Mereka yang dikabar-gembirakan dalam hadis Jabir ibn Samurah dan ditetapkan bahwa mereka akan berpencar di antara umat (Islam), dan kiamat tidak akan terjadi sehingga kedua belas itu ada. Dan salahlah banyak orang yang berkohormatan memeluk Islam dari kaum Yahudi maka mereka menganggap behwa mereka itu (dua belas Khalifah/Amir) itu adalah para imam yang dianjurkan kaum Rafidhah, lalu mereka (orang-orangYahudi) itu mengikutinya.”[6]

Jika demikian, lalu siapakah dua Khalifah yang dikabar-gemnbirana Allah dan Rasul-Nya akan membawa kejayaan Islam menurut Ibnu Taimiyyah? Di sini Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa mereka itu adalah: 1) Abu Bakar, 2) Umar, 3) Utsman, 4) Ali. Kemudian berkuasalah pemimpin yang disepakati umat Islam dan ia mendapat kejayaan dan kekuatan, yaitu, 5) Mu’awiyah, 6) Yazid putra Mu’awiyah, 7) Abdul Malik ibn Marwan, dan keempat pelanjutnya dari keturunannya, di antara adalah Umar ibn Abdul Aziz. Setelah itu terjadilah di negri Islam apa yang terjadi hingga sekarang.

Sesunggunya bani Umayyah telah berkuasa di seantero penjuru dunia Islam. Kekuasaan di masa mereka berjaya. … Mereka itulah dua belas Khalifah yang telah disebutkan dalam Taurat ketika mengabar-gembirakan kepada Ismail bahwa akan lahir dari keturunannya dua belas pemimpin.”[7]

Kabar gembira yang ia maksudkan adalah apa yang tertera dalam kitab Perjanjian Lama, Kejadian:17;20. Allah berfirman: “Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas raja, dan Aku akan membuatnya menjadi bangsa yang besar.”

Jadi dalam pandangan Ibnu Taimiyyah –Salaf dan rujukan utama kaum Wahhabi- Mu’awiyah dan putranya Yazid, Abdul Malik ibn Marwan –si jagal yang haus darah-, Sulaiman ibn Abdil Malik dkk adalah termasuk pribadi-pribadi agung yang telah dikabar-gembirakan Allah kepada Nabi Ismail dan kemudian juga dikabar-gembirakan dan dibanggakan oleh Rasulullah saw… dalam banyak sabdanya.

Mungkinkah Allah memberkati Yazid yang dengan kejam dan penuh nafsu setan membantai mkeluarga suci Rasulullah saw. di padang Karbala?! Akal sehat siapam yang eken menerima omongan bahwa Allah telah memberkati Mu’awiyah yang dengan tanpa iman memerangi Khalifah yang sah; Ali ibn Abi Thalib as. dan membunuh dengan darah dingi para sahabat Nabi saw. serta sebagai Penganjur kepada api nereka, seperti disabdakan Nabi saw. sendiri?!

Dan apakah …?! Dan apakah….?!


Referensi:

[1] Mîzân al I’tidâl,2/48.
[2]Yanâbi’ al Mawaddah :Bab :77 :3\105
[3] Shahih Bukhri, Kitabul Ahkâm, Bab al Istikhlâf,8/127.
[4] Shahih Muslim, 6/3.
[5] Fath al Bâri; Ibnu Hajar al ‘Asqallâni,13/181.
[6] Al Bidayah wa an Nihayah,6/250.
[7] Minhaj as Sunnah, 8/238.


Di antara hadis-hadis palsu yang kerap kali dijadikan oleh sebagian musuh Syi’ah –di antaranya adaalah Pendiri Sekte Wahhabi; Ibnu Abdil Wahhab an Najdi- hujjah untuk menegakkan kebsahan kekhalifahan Abu Bakar adalah hadis riwayat sahabat Anas ibn Malik di bawah ini:

بعثني بنو المصطلق إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أسأله إلى من ندفع صدقاتنا بعدك . فقال : إلى أبي بكر. رواه الحاكم وصححه.

“Suku bani Mushthaliq mengutusku kepada Rasulullah saw. agar aku bertanya kepada beliau kepada siapa kami menyetor harta (hasil bumi) desa Fadak sepeninggal Anda nanti. Maka beliau bersabda, ‘Kepada Abu Bakar.’” (HR Al Hakim dan ia menshahihkannya.)


Ibnu Jakfari berkata:

Pertama yang membuktikan kepalsuan hadis ini adalah adanya kesepakatan Ahlusunnah bahwa Nabi saw. tidak pernah menunjuk seorang Khalifah yang akan menggantikan beliau dalam memimpin umat ini. Sedangkan riwayat tersebut menetapkan adanya penunjukan itu!

Selain itu teks/matan hadis itu sangat mengundang kecurigaan adanya rekayasa dari para pemalsu dengan tujuan yang bias jadi mereka anggap baik, yaitu mendukung kekhilafahan Abu Bakar, Umar dan Utsman dengan dalil tekstual/nash.

Riwayat itu adalah potongan dari riwayat panjang yang menyebut-nyebut Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman.

Coba Anda perhatikan lanjutan riwayat di atas dalam riwayat al Hakim:

“…. Kemudian aku datangi mereka (kaum Yahudi bani Mushthaliq) dan aku kabarkan kepada mereka. Mereka berkata, ‘Kembalilah kepadanya dan tanyakan jika terjadi terhadap Abu Bakar sesuatu kejadian (mati), kepada siapa?’ Maka aku datangi lagi beliau dan aku tanyakan, maka beliau bersabda, ‘Kepada Umar.’ Kemudian aku datangi mereka dan aku kabarkan kepada mereka. Mereka berkata, ‘Kembalilah kepadanya dan tanyakan jika terjadi terhadap Umar sesuatu kejadian (mati), kepada siapa?’ Maka aku datangi lagi beliau dan aku tanyakan, maka beliau bersabda, ‘Kepada Utsman.’ Kemudian aku datangi mereka lalu aku kabarkan kepada mereka. Mereka berkata, ‘Kembalilah kepadanya dan tanyakan jika terjadi terhadap Utsman sesuatu kejadian (mati), kepada siapa?’ Maka aku datangi lagi beliau dan aku tanyakan, maka beliau bersabda, ‘Jika terjadi atas Utsman kejadian maka benar-benar celaka masa ini untuk kalian.”[1]

Hadis-hadis yang menyebutkan urutan seperti itu dapat dipastikan kepalsuannya, ia adalah buatan kaum Al Bakriyah untuk menandingi hadis-hadis penunjukan Imam Ali as., seperti ditegaskan para ulama Ahlusunnah sendiri.

Ibnu al Jauzi berkata, “Dan sebagian kaum yang tidak ada harganya di sisi Allah telah bersikap fanatik, mereka mengaku berpegang teguh dengan Sunnah, lalu mereka memalsu atas nama Nabi saw. hadis-hadis keutamaan untuk Abu Bakar.”[2]


Siapakah mereka itu yang Ibnu Jauzi maksud kalau bukan kaum al Bakriyah?

Ibnu Abil Hadid al Mu’tazili menerangkan, “Dan ketika kaum Al Bakriyah menyaksikan apa yang dilakukan kaum Syi’ah[3], maka mereka memalsu hadis-hadis keutamaan untuk Abu Bakar untuk menghadapi hadis-hadis keutamaan Ali itu… “[4]
Setelahnya ia menyebutkan beberapa contoh hadis-hadis palus produk kaum Al Bakriyah itu, dan di antaranya adalah hadis senada dengan hadis nomer sembilan di bawah ini.


Referensi:

[1] Al Mustadrak,3/77. Dar al Fikr, Thn.1398 H/1978 M.
[2] Al Maudhû’ât,1/303.
[3] Di sini perlu saya katakana bahwa apa yang dilakukan kaum Syi’ah tidak lebih dari berargumen dengan hadis-hadis shahih tentang keutamaan Imam Ali as. yang telah diriwayatkan dan dishahihkan para ulama Ahlusunnah sebagai bukti imamah dan hak kepemimpinan Ali as, baik dengan penujutuk jelas atau secara tersirat. Jadi apa yang salah dari para ulama Syi’ah?! Kaum Syi’ah tidak mengada-ngada atau memalsu hadis-hadis tersebut! Sebab hadis-hadis itu telah diriwayatkan melalui jalur-jalur Sunni dan dishahihkan para ulama berdasarkan syarat-syarat yang diterima!
[4] Syarah Nahjul Balaghah,11/49.


Di antara riwayat-riwayat yang tak henti-hentinya dibanggakan sebagian penentang konsep Imamah Ali ibn Abi Thalib as. seperti Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb; pendiri Sekte Wahhâbiyah dkk. Yang mengatakan bahwa Nabi saw. menuliskan wasiat penunjukan atas Abu Bakar, sebab beliau saw. khawatir akan ada orang yang menginginkan jabatan itu. Kerena Allah dan Rasul-Nya serta kaum Mukmin hanya menghendaki Abu Bakar bukan selainnya! Tidak Ali as. atau selainnya! Yang kemudian mereka simpulkan bahwa sesiapa yang enggan mengakui Khilafah Abu Bakar ash Shihddîq berarti ia benar-benar telah keluar dari keimanan alias kafir, munafik atau terserah Anda menyebutnya!

Riwayat itu adalah sebagai berikut:

وعن عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم في مرضه الذي مات فيه ادعي لي أباك وأخاك حتى أكتب كتاباً فإني أخاف أن يتمنى متمن ويقول قائل : أنا أولى ، ويأبى الله و المؤمنون إلا أبابكر. رواه مسلم وأحمد.

“Dari Aisyah ra. ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda di sa’at sakit yang mengantarkan kepada kamatiannya, ‘Panggilkan ayahmu dan saudaramu untukku agar aku menulis sepucuk surat, karena aku khawatir ada seorang yang menginginkan dan berkata, ‘Aku lebih berhak atas Khilafah.’ Semantara Allah dan oraang-orang yang beriman tidak memaukan kecuali Abu Bakar.” (HR Muslim dan Ahmad.)

Setelah membawakan riwayat di atas, Ibnu Abdil Wahhâb an Najdi (pendiri sekte Wahhabiyah) menyimpulkan:

وهذا الحديث يُخرج من يأبى خلافة الصديق عن المؤمنين .

“Dan hadis ini mengeluarkan siapa saja yang menolak Khilafah Abu Bakar ash Shiddîq dari kelompok kaum Mukminin!”


Ibnu Jakfari:

Demikianlah mereka hendak menyimpukan sebuah kesimpulan serius yang menvonis kafir dan keluar dari lingkaran kaum Mukminin sesiapa yang enggan atau menolak menerima kekhalifahan Abu Bakar –putra Abu Quhafah-!!

Sementara hadis itu penuh masalah!

Pertama yang perlu kita ketahui adalah:

A) Hadis itu telah menvonis kafir/keluar dari keimanan sesiapa yang enggan menerima kekhalifahan Abu Bakar, persis seperti yang disimpulkan Syeikh –dan itulah memang yang menjadi tujuan utama pembuatnya-… Dan itu artinya ia telah menvonis banyak pembesar sahabat Nabi saw. yang akhyâr/baik lagi istiqamah dari kalangan as Sâbiqînal awwâlîn, baik kaum Anshar maupun Muhajirin dari lingkaran keimanan… utamanya Ali ibn Abi Thalib –Khalifah keempat kaum Muslimin-, paling utamanya umat setelah ketiga Khalifah (menurut Ahlusunnah)-. Sebagaimana telah ditegaskan Siti Aisyah akan keengganan beliau menerima kekhilafahan Abu Bakar, seperti telah lewat saya buktikan! Sebagaimana juga hadis itu menvonis keluar dari lingkaran keimanan seluruh Bani Hasyim, seperti ditegaskan az Zuhri bahwa tidak seorang pun dari Bani Hasyim memberikan baiat dan mengakui Abu Bakar selama enam bulan![1] Seperti juga para pengikut setia Imam Ali as., seperti Ammar ibn Yasir, Zubair ibn Awwam, Miqdad ibn Aswad, dkk.

B) Kalaupun mereka kemudian setelah bertahan enam bulan menentang kekhalifahan Abu Bakar memberikan baiat untuknya, maka di sini perlu disadari bahwa,
(1) Apa nasib dan status Imam Ali dan mereka yang menentang kekhalifahan Abu Bakar selama enam bulan penentangan itu? Apakah kita menetapkan status kafir untuk mereka!? Lalu kapan mereka itu kembali memeluk Islam dan masuk ke dalam lingkaran keimanan? Dan apakah harus dengan mengucapkan syahadatain/dua kalimat syahadat plus dengan tambahan wa asyhadu anna Aba Bakr Khalifatu Rasulillah/dan aku bersaksi bahwa Abu Bakar adalah Khalifah Rasulullah!
(2) Sa’ad ibn Ubadah tetap pada pendiriannya menolak kekhalifahan Abu Bakar! Seperti juga putri kesayangan dan belahan jiwa Rasulullah saw.; Fatimah az Zahra as., apakah kaum Wahhâbi akan tegas dalam menvonis mereka kafir?!

C) Sejak kapan dan atas dasar apa keimanan kepada kekhalifahan Abu Bakar sebagai ushûluddîn dan sekaligus penentu keimanan? Bukankah menurut pandangan Teologi Sunni keimamahan adalah bagian dari furû’uddîn!? Mengapakah sedemikan kacaunya doqma-doqma kaum Nawâshib/para pembenci Ali dan Ahlulbait Nabi saw.?! mengapakah ketika berbohong atas nama Rasulullah saw. mereka tidak menggunakan sedikit kecerdasan mereka? Coba Anda perhatikan ayat-ayat Al Qur’an yang menetapkan criteria iman dan kafir, tidak sedikitpun menyinggung bahwa keimanan seorang bergantung kepada menerima atau menolak Khilafah Abu Bakar dan atau Umar! Perhatikan hadis-hadis tentang batasan-batasan iman dan kufur dalam Shahih Bukhari dan Muslim serta kitab-kitab Shihâh lainnya, adakah menerima atau menolak kekhalifahan Abu Bakar menjadi penentu, atau bahkan sedikit memberikan pengaruh atas keimanan dan kekafiran? Semua itu tidak akan pernah Anda temukan! Lalu mengapakan mereka membuat-buat kepalsuan atas nama agama? Kaburat kalimatan takhruju min afwâhihim!

D) Riwayat seperti di atas tidak lain hanya sekedar upaya konyol sebagian kaum pemalsu untuk menandingi hadis-hadis shahih yang telah diriwayatkan para ulama Ahlusunnah, utamanya Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang menegaskan bahwa Nabi saw. di detik-detik terakhir kehidupan beliau hendak menuliskan sebuah wasiat keselamatan terakhir untuk umat manusia, namun sebagian sehabat Nabi saw. yang sedang menjenguk beliau mengacaukan niatan itu dan menentangnya, sehingga beliau pun mengusir meraka! Di bawah ini akan saya sebutkan beberapa riwayat hadis Bukhari tersebut.
Hadis pertama:

Dari ibnu Abbas ra., ia berkata: Ketika sakit Nabi saw. kian parah, beliau bersabda, “Berikan kepadaku selembar kertas, akan aku tuliskan untuk kalian sebuah wasiat yang kalian tidak akan tersesat setelahnya.” Umar berkata, “Sesungghuhnya Nabi saw. telah dikuasai oleh sakitnya, dan kita sudah memiliki Kitab Allah, cukup bagi kita Kitab Allah”. Lalu para pengunjung berselisih dan terjadilah keributanpun, kemudian Nabi saw. bersabda, “Menyingkirlah kalian dariku! Tidak sepantasnya terjadi perselisihan (keributan) di hadapanku.”

Maka Ibnu Abbas keluar dan berkata, “Sesungguhnya bencana yang sebenar banar arti bencana ialah dihalanginya Rasulullah saw. dari penulisan wasiat beliau.”[2]


Riwayat kedua :

Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Ketika Rasulullah saw. terbaring sakit yang membawa wafat beliau dan ketika itu di dalam rumah ada banyak orang (pengunjung), di antara mereka ada Umar bin Khaththab, Nabi saw. bersabda, “Berikan kepadaku (selembar kertas), aku akan tuliskan untuk kalian sebuah wasiat yang dengannya kalian tidak akan tersesat.” Lalu Umar berkata, “Sesungguhnya ia telah dikuasai oleh sakitnya itu, dan kalian telah memliki Al Qur’an, cukup bagi kita Kitab Allah“. Maka berselisih dan ributlah penghuni rumah, di antara mereka ada yang berkata, ‘Berikan pada Rasulullah kertas itu agar beliau menulis wasiat yang dengannya kalian tidak akan tersesat selamanya.’ Dan di antara mereka ada yang berkata seperti ucapan Umar. Maka ketika berselisih dan banyak berbuat keributan serta perselisihan di hadapan Nabi saw., beliau bersabda, “Menyingkirlah kalian!!”

Ubaidullah berkata, “Ibnu Abbas berkata, “Bencana yang sebenar- benar bencana adalah dihalanginya Rasulullah saw. dari penulisan wasiat untuk mereka dikarenakan keributan dan perselisihan mereka.”[3]


Riwayat ketiga :

Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, “Hari kamis! Tahukah kamu apa hari kamis itu?! Kemudian ia menangis sampai janggutnya terbasahi oleh derasnya cucuran air mata, lalu ia melanjutkan, ‘Sakit Rasulullah saw.makin keras, lalu beliau bersabda, ‘Bawakan kepadaku selembar kertas, aku akan tuliskan surat wasiat, setelahnya kalian tidak akan tersesat selamanya!’

Lalu mereka berselisih dan membuat keributan– dan tidaklah pantas di hadapan Nabi saw. ada keributan-, mereka berkata, ‘Rasulullah saw. telah melantur.’ Maka Nabi saw. bersabda, “Tinggalkan aku , apa yang aku alami lebih baik dari apa yang kalian mengajakku kepadanya.”[4]


Umar ibn Al Khaththab Mengakui Kebenaran!

Apa yang kami katakan bahwa Nabi saw. telah berniat mempertegas pengangkatan Imam Ali as. di Ghadir Khum dengan surat wasiat tertulis di akhir hayat beliau telah diakui mkebenarannya oleh Umar ibn al Kthaththab sendiri. Karenanya ia dan rekan-relannya berusaha menghalangi penulisan itu dengan alasan bahwa sudah cukup Kitab Allah ada di tengah-tengah umat Islam! Dan kemudian dikatakan oleh para pendukungnya bahwa niatan Umar itu sebenarnya baik, yaitu karena kasihan kepada Nabi saw. agar beliau tidak usah repot-repot.

Perhatikan pengakuan Umar dalam dialoq dengan Ibnu Abbas di bawah ini:

Umar: Hai Abdullah jawablah dengan jujur, apakah Ali masih menyimpan di hatinya anggapan bahwa ia lebih berhak dalam jabatan khilafah ini?

Ibnu Abbas: Ya, benar.

Umar: Apakah ia mengklaim bahwa Rasulullah telah menunjuknya sebagai Khalifah?

Ibnu Abbas: Ya, benar, bahkan aku tanyakan tentang penunjukan itu kepada ayahku dan ia pun membenarkan.

Umar: Aku tahu, bahwa ia memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Rasulullah, dan ketika beliau di hari–hari akhir ingin menunjuknya dengan nama terang, maka aku halangi beliau.”[5]

Maka dengan demikian riwayat adanya niatan penulisan surat pengangkatan Abu Bakar adalah sekedar sebuah kepalsuan belaka yang dibuat-buat oleh kaum Al Bakriyah demi membela keabsahan khilafah Abu Bakar, sementara ia sendiri tidak butuh pembelaan itu!


Dan yang tidak kalah palsunya dari riwayat palsu di atas adalah dongen riwayat yang akan kami paparkan dalam tulisan akan datang. Nantikan!


Referensi:

[1] Lebih lanjut baca Târikh ath Thabari,3/208 dan al Kamil fi at Târikh,2/321.
[2] Shahih Bukhari, Kitabul Ilmi, bab Kitabatul ilmi, 1\38-39.
[3] Shahih Bukhari, Kitabuth Thib, bab Qaulul Maridh Qûmû!, 7\155-156, Shahih Muslim pada akhir Kitabul Washiyah, Musnad Ahmad, 4\356 hadis ke: 2992.
[4] Shahih Bukhari, Kitab Fadhlul Jihad, bab Hal Yusytasyfa’u Ila Ahlidz Dzimmah,4\84-85.
[5] An Nidhâm As Siyâsi: 142 menukil dari Syarah Nahjul Balaghah; Ibnu Abil Hadid, 3\105.


Untuk lebih meyakinkan kaum awam, para Nawâshib membawa-bawa nama suci Imam Ali as. untuk mereka palsukan! Dan itu adalah cara lugu dan hanya orang lugulah yang termakan olehnya!

Mereka mengada-ngada atas nama Imam Ali as. bahwa Rasulullah saw. telah meminta dan dengan agak sedikit atau bahkan sangat memaksa Tuhan agar mau berpihak kepada Ali; anak asuh kesayangan dan menantu tercintanya, akan tetapi sepertinya Tuhan tidak menggubris permintaan itu! Karena Allah tidak menginginkan Imam Ali as. yang memimpin umat setelah wafat Nabi saw.! Entah mengapa? Mungkin Allah tidak memaukan keadilan yang akan diterapkan di muka bumi oleh Ali! Atau karena Ali terlalu muda usia, jadi biar yang tua-tua dulu kebagian duduk di kursi jabatan itu…? Atau …? Hanya Allah yang Maha tau dan tentunya para pemalsu juga tau!

Agar Anda tidak terlalu lama menanti riwayat itu, saya segera hadisrkan di bawah ini:

عن علي رضي الله عنه قال : قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم :” سألت الله أن يقدمك ثلاثاً فأبى الله إلا تقديم أبي بكر ” وفي رواية زيادة ” ولكني خاتم الأنبياء وأنت خاتم الخلفاء” رواه الدار قطني والخطيب وإبن عساكر .

“Dari Ali ra. ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda kepadaku, ‘Aku memohon kepada Allah sebanyak tiga kali agar Dia mengajukanmu (menjadi Khalifah) akan tetapi Dia enggan kecuali mengajukan Abu Bakar.” (HR ad Dâruquthni, al Khathîb dan Ibnu ‘Asâkir)


Ibnu Jakfari berkata:

Riwayat di atas dibanggakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhab sebagai senjata paten keabsahan khilafah Abu Bakar dan kepalsuan akidah Syi’ah dalam Imamah Ali as.

Akan tetapi setelah Anda memerhatikan riwayat di atas, pasti Anda tidak ragu lagi mengatakan bahwa ia adalah sebuah kepalsuan murahan dan carut mawut kandungannya sudah cukup sebagai bukti kepalsuannya.

Sebab jika benar, lalu mengapa Imam Ali as. enggan menerima kekhilafahan Abu Bakar selama enam bulan?! Dan jika kekhalifahan Abu Bakar adalah ketetapan Tuhan, maka ia sangat bertolak belakang dengan doktrin Sunni yang menolak adanya penunjukan/nash atas siapapun, baik Ali maupun Abu Bakar! Apakah Syeikh Wahhâbi ini hendak menyebarkan doktrin kaum Al Bakriyah yang bertolak belakang dengan ajaran Ahlusunnah sendiri?!

Makin banyak hadis/riwayat yang Syeikh Wahhâbi kutip makin jelas kejahilannya akan ilmu hadis dan ketidak mampuannya dalam memilah antara hadis/riwayat shahih yang dapat dijadikan hujjah dan riwayat palsu atau batil yang dilayak dijadikan hujjah! Atau ia mengetahui kualitas setiap hadis yang ia kutip, hanya saja “semangat 45”nya dalam membela “kebenaran” telah menjadikannya merasa halal untuk berdalil dengan hadis-hadis palsu sekalipun!


Pujangga Arab klasik bertutur:

Jika engkau jahil, maka itu adalah sebuah bencana… dan jika engkau telah mengatahuinya (namun tetap bersikap degil) maka musibah itu sungguh besar.

Para santri abangan saja mampu mengenali kepalsuan riwayat di atas, lalu bagaimana dengan “Syeikhul Islam”nya kaum Wahhâbi?! Pasti ia mengatahuinya…. Kalau tidak, alangkah jahilnya ia.

Hadis (baca dongen murahan) di atas telah diriwayatkan oleh al Khathib dalam Tarikh-nya, 11/213. adz Dzahabi telah menyebutnya dalam Mizân al I’tidâl-nya, 2/222 dari jalur al Khathib dari Abu Juhaifah dan ia berkata, “Hadis ini palsu/bathil, penyakit (penyebab)nya adalah Ali ibn Hisain al Kalbi.” Ibnu Hajar juga menolak hadis itu dalam kitab al Fatâwâ al Haditsiyah:126


Ibnu Jakfari berkata:

Jika urusan kekhalifahan itu telah ditetapkan Tuhan, dan Allah SWT berbuat sesuai yang Ia kehendaki, dan tiada kehendak di sisi kehendak Allah, dan Allah telah menghendaki Abu Bakar, seperti dalam riwayat sebelumnya, lalu apa gerangan anggapan kita terhadap Nabi saw. yang memaksa Allah dengan panjatan doanya agar Allah menunjuk Ali, dan setelah ditolak permohonan itu beliau masih bersikeras memohonnya hingga tiga kali?! Bukankah akan lebih sopan Nabi bertanya terlebih dahulu siapakah di antara umat beliau yang paling laik menjabat sebagai Khalifah, bukan berdoa dan memaksa Allah hingga tiga kali agar menunjuk Ali as. yang tidak Allah kehendaki?! Bagaimana dapat samar atas Nabi saw. siapa yang laik dari umat beliau untuk jabatan Khalifah, sehingga beliau meminta dsengan sedikit memaksa agar Allah mengangkat orang yang tidak dikehandaki Allah, langit-langit dan bumi serta kaum Mukmin?! Apa motivasi di balik pemaksaan Nabi saw. dengan mengulang-ngulang permohonan agar Allah menunjuk Ali as., padahal beliau tahu bahwa Allah SWT tidak menghendaki Ali?!


Saya pikir Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dan para Wahhâbiyûn tulen perlu merenungkan kenyataan ini! Dan agar mulai mengintropeksi diri dalam berdalil agar tidak sembarang “comot riwayat” tanpa meneliti kualitasnya!! Dan mulai sadar bahwa kebenaraan tidak akan dapat ditutup-tutupi dan kebatilan tidak akan pernah bisa ditegakkan dengan bantuan apapun, apalagi dengan hadis-hadis palsu!

Di antara hadis yang diandalkan oleh Ibnu Abdil Wahhab –pendiri sekte Wahabiyah- dan juga oleh para pemuka kaum Nawâshib adalah riwayat yang mereka nisbatkan kepada Nabi saw. bahwa beliau telah menegaskan nama-nama para Khalifah dalam sebuah peristiwa ketika beliau berpatisipasi dalam membangun sebuah masjid. Hadis itu sebagai berikut:

وعن سفينة قال : لما بنى رسول الله صلى الله عليه وسلم المسجد وضع في البناء حجراً وقال لأبي بكر: ضع حجرك إلى جنب حجري. ثم قال لعمر: ضع حجرك إلى جنب حجر أبي بكر. ثم قال : هؤلاء الخلفاء بعدي” رواه إبن حبان ، وقال أبو زرعة: إسناده قوي لا بأس به ، والحاكم وصححه والبيهقي .

“Dari Safinah ia berkata, “Ketika Rasulullah saw. membangun masjid, beliau melatakkan batu pada bangunan dan berkata kepada Abu Bakar, ‘Letakkan batumu di samping batuku!’ Lalu berkata kepada Umar, ‘Letakkan batumu di samping batu Abu Bakar.’ Setelahnya beliau bersabda, ‘Mereka adalah para Khalifahku sepeninggalku.” (HR Ibnu Hibbân, dan berkata Abu Zar’ah, ‘Sanadnya kuat, tidak mengapa-ngapa’, dan al Hakim dan ia menshahihkannya serta al Baihaqi.)


Ibnu Jakfari berkata:

Adapun hadis tentang silih bergantinya para Khalifah yang akan menggantikan Nabi saw.; Abu Bakar kemudian Umar kemudian Utsman dari sahabat Safinah adalah hadis riwayat Ibnu Hibbân dan al Hakim. Ibnu Hajar telah menyebutnya dalam kitab ash Shawâiq-nya:14 dan Ibnu Katsir dalam al Bidâyah wa an Nihâyah,6/204.

Namun sangat disayangkan hadis tersebut tidak memiliki sanad yang dapat dipertahankan. Para muhaddis Sunni telah meriwayatkannya dari jalur Nu’aim ibn Hammâd (W. 228H). Sementara itu semua yang akrab dengan kajian penelitian sejarah para periwayat mengatahuyi bahwa Nu’aim ibn Hammâd yang adalah seorang yang sangat cacat dalam dunia periwayatan. Ia adalah seorang pembohong besar dan pemalsu hadis.

Al Azdi berkata, “Nu’aim sering memalsu hadis untuk mendukung Sunnah dan kisah-kisah palsu dalam mencacat Nu’man, semua palsu. Lebih lanjut Anda saya persilahkan merujuk berbagai buku Rijâl untuk mengenali siapa sejatinya di pemalsu hadis di atas tersebut.

Sebagaimana juga dalam mata rantai riwayat tersebut terdapat seorang parawi yang sangat cacat yaitu Hasyraj ibn Nubatah, seperti akan saya sebutkan nanti ketika mendiskusikan hadis (no. 14) bahwa Khilafah adalah tiga puluh tahun!

Selain itu, ketika meriwayatkan hadis al hakim yang semakna dengan hadis di atas, adz Dzahabi menegaskan kepalsuannya dengan mengatakan, “Anda hadis itu benar pastilah ia sebagai nash/penunjukan tiga Khalifah! Dan ia sama sekali tidak shahih!”

Lagi pula andai benar Nabi saw. telah mensabdakan penujukan itu pastilah Abu Bakar dan Umar pasti akan berhujjah dengannya pada rapat darurat di pendopo Saqifah bani Sâidah.


Persembahan Buat Kaum Salafiyah Wahhabiyah dan Blog Haulasyiah!

Berikut Kutipannya:

ISYARAT RASULULLAH ABU BAKAR SEBAGAI KHALIFAH, bantahan syubuhat syi’ah ke 5
Posted on Agustus 6, 2007 by haulasyiah

Pada edisi kali ini, akan kami sajikan adanya isyarat dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tentang penunjukan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah sepeninggal beliau shalallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini merupakan bukti dan penguat akan keabsahan beliau sebagai halifah sebagaimana telah kami sebutkan pada edisi 36. Isyarat ini sekaligus meruntuhkan syubhat dan kesesatan yang dilontarkan oleh Syi’ah Rafidlah yang meragukan keabsahan kekhalifahan beliau

Para ulama telah berbeda pendapat tentang bagaimana pengangkatan Abu Bakar ash-Shidiq sebagai khalifah. Apakah pengangkatan tersebut ditentukan dengan nash secara langsung dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam atau dilakukan dengan musyawarah antara kaum muslimin. Sebagian ulama berpendapat bahwa pengangkatan beliau sebagai khalifah ada lah hasil dari musyawarah dari kaum muslimin ketika itu.

Sedangkan Hasan al-Bashri dan sebagian para ulama dari kalangan ahlul hadits berpendapat bahwa terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah adalah dengan nash yang samar dan isyarat dari rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. (Lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 471).

Dalil-dalil yang menunjukkan akan adanya isyarat secara tidak langsung (bukan wasiat) dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang mengisyaratkan bahwa Abu Bakarlah yang lebih pantas menjadi khalifah sangat banyak. Isyarat-isyarat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dipilih sebagai imam Shalat pengganti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam

Hadits-hadits yang menunjukkan diperintahkannya Abu Bakar untuk memimpin shalat menggantikan Rasulullah, shalallahu ‘alaihi wasallam sangat masyhur. Salah satu di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Musa radhiallahu ‘anhu berikut:

مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ فَاشْتَدَّ مَرَضُهُ فَقَال مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيقٌ مَتَى يَقُمْ مَقَامَكَ لاَ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ فَقَالَ مُرِي أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَإِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ قَالَ فَصَلَّى بِهِمْ أَبُو بَكْرٍ حَيَاةَ رَسُولِ اللَّهِ. ]متفق عليه)

Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sakit parah beliau berkata: “Suruhlah Abu Bakar untuk mengimami manusia”. Maka berkatalah Aisyah: “Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang laki-laki yang amat perasa (mudah menangis). Bagaimana dia akan menggantikan kedudukanmu, dia tidak akan mampu untuk memimpin manusia”. Rasulullah berkata lagi: “Perintahkanlah Abu Bakar untuk mengimami manusia! Sesungguhnya kalian itu seperti saudara-saudaranya nabi Yusuf”. Abu Musa berkata: maka Abu Bakar pun mengimami shalat dalam keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. (HR. Bukhari Muslim)


2. Perintah untuk meneladani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

اقْتَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ… (رواه الترمذي والحاكم وصححه الألباني في الصحيحة: 1233)

Teladanilah dua orang setelahku, Abu Bakar dan Umar… (HR. Tirmidzi dan Hakim, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1233)

Syaikh Albani menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan dari beberapa shahabat, seperti Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah Ibnul Yaman, Anas bin Malik dan Abdullah bin Umar. Hadits ini juga dikeluarkan oleh banyak pakar-pakar ahlul hadits seperti Tirmidzi, Hakim, Ahmad, Ibnu Hibban, ath-Thahawi, al-Humaidi, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abi ‘Ashim, Abu Nu’aim, Ibnu Asakir dan lain-lain. (Lihat Silsilah Ahadits ash-Shahihah, juz 3 hal. 234, hadits no. 1233)


3. Abu Bakar adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam

Disebutkan dalam suatu riwayat dari ‘Amr bin ‘Ash:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ عَائِشَةُ قُلْتُ مِنَ الرِّجَالِ قَالَ أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ عُمَرُ فَعَدَّ رِجَالاً. )رواه البخاري ومسلم)

Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengutus Abu Bakar memimpin pasukan dalam perang dzatu tsalatsil. Aku mendatangi Rasulullah dan bertanya kepada beliau: “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Aisyah.” Aku berkata: “Dari kalangan laki-laki wahai Rasululah?” Beliau menjawab: “Ayahnya”. Aku berkata: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Umar”. Kemudian beliau menyebutkan beberapa orang. (HR. Bukhari dalam Fadhailil A’mal, fathul Bari juz ke 7, hal. 18 dan Muslim dalam Fadhailus Shahabah juz ke-4 hal. 1856 no. 2384)


4. Abu Bakar dijadikan wakil menggantikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam

Diriwayatkan dari Jubair bin Muth’im, dia berkata:

أَتَتِ امْرَأَةُ النَّبِيَّ فَأَمَرَهَا أَنَ تَرْجِعَ إِلَيْهِ قَالَتْ أَرَأَيْتَ إِنْ جِئْتُ وَلَمْ أَجِدْكَ كَأَنَّهَا تَقُوْلُ الْمَوْتَ قَالَ إِنْ لَمْ تَجِدِيْنِيْ فَأْتِي أَبَا بَكْرٍ. (رواه البخاري)

Datang seorang wanita kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka Rasulullah menyuruhnya untuk datang kembali. Maka wanita itu mengatakan: “Bagaimana jika aku tidak mendapatimu?” –seakan-akan wanita itu memaksudkan jika telah meninggalnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menjawab: “Jika engkau tidak mendapatiku, maka datangilah Abu Bakar”. (HR. Bukhari 2/419; Muslim, 7/110; lihat ظلال الجنة hal. 541-542, no. 1151)

Hadits ini merupakan isyarat yang jelas dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa yang akan menggantikan dirinya sepeninggal beliau adalah Abu Bakar ash-Shidiq radhiallahu ‘anhu.


5. Rencana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menuliskan wasiat kepada Abu Bakar radhiallahu ‘anhu

Lebih tegas lagi ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sakit, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada ‘Aisyah untuk memanggil ayahnya, Abu Bakar, untuk diberikan wasiat kepadanya. Tetapi kemudian beliau mengatakan: “Allah dan kaum mukminin tidak akan ridla, kecuali Abu Bakar”. Lihatlah riwayat lengkapnya sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ: ادْعِي لِي أَبَا بَكْرٍ أَبَاَكِ وَأَخَاكِ، حَتَّى أَكْتُبُ كِتَابًا، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَتَمَنَّى مُتَمَنٍّ، وَيَقُوْلُ قَائِلُ: أَنَا أَوْلَى، وَيَأْبَى اللهُ وَالْمُؤْمِنُوْنَ إِلاَّ أَبَا بَكْرٍ.

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anhuا, ia berkata; berkata kepadaku Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Panggillah Abu Bakar Bakar, Ayahmu dan saudaramu, sehingga aku tulis satu tulisan (wasiat). Sungguh aku khawatir akan ada seseorang yang menginginkan (kepemimpinan –pent.), kemudian berkata: “Aku lebih utama”. Kemudian beliau bersabda: “Allah dan orang-orang beriman tidak meridlai, kecuali Abu Bakar”. (HR. Muslim 7/110 dan Ahmad (6/144); Lihat Ash-Sha-hihah, juz 2, hal. 304, hadits 690)

Dalam riwayat ini jelas, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menghendaki dengan isyaratnya beliau bahwasanya Abu Bakar radhiallahu ‘anhu lah yang lebih layak menjadi khalifah sepeninggalnya. Tetapi beliau tidak jadi menulis wasiatnya, karena beliau yakin kaum mukminin tidak akan berselisih terhadap penunjukkan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah. Dan hal ini terbukti, setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam wafat, kaum muslimin sepakat untuk menunjuk Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah.


6. Abu Bakar adalah orang terdekat dan kekasih Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ جَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ عَبْدٌ خَيَّرَهُ اللَّهُ بَيْنَ أَنْ يُؤْتِيَهُ زَهْرَةَ الدُّنْيَا وَبَيْنَ مَا عِنْدَهُ فَاخْتَارَ مَا عِنْدَهُ فَبَكَى أَبُو بَكْرٍ وَبَكَى فَقَالَ فَدَيْنَاكَ بِآبَائِنَا وَأُمَّهَاتِنَا قَالَ فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ هُوَ الْمُخَيَّرُ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ أَعْلَمَنَا بِهِ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ إِنَّ أَمَنَّ النَّاسِ عَلَيَّ فِي مَالِهِ وَصُحْبَتِهِ أَبُو بَكْرٍ وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً وَلَكِنْ أُخُوَّةُ اْْلإِ سْلاَمِ لاَ تُبْقَيَنَّ فِي الْمَسْجِدِ خَوْخَةٌ إِلاَّ خَوْخَةَ أَبِي بَكْرٍ. (متفق عليه)

Dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk di atas mimbar, beliau bersabda: “Allah memberikan pilihan kepada seorang hamba antara diberi keindahan dunia atau apa yang ada di sisi-Nya. Maka hamba tersebut memilih apa yang ada di sisi-Nya. Maka Abu Bakar pun menangis seraya berkata: bapak-bapak dan ibu-ibu kami sebagai tebusan wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Abu Sa’id berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam itulah hamba yang diberi pilihan tersebut dan ternyata Abu Bakar adalah orang yang paling tahu di antara kami. Maka bersabdalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya manusia yang paling berjasa kepadaku dengan harta dan jiwanya adalah Abu Bakar. Kalau aku mengambil seorang kekasih, niscaya aku akan mengambil Abu Bakar sebagai khalil (kekasih), tetapi persaudaraan Islam lebih baik. Tidak tersisa masjid satu pintu pun, kecuali pintunya Abu Bakar. (HR. Bukhari dengan Fathul Bary, juz 7, hal. 359, hadits 3654; Muslim dengan Syarh Nawawi, juz 15 hal. 146, hadits 6120).

Al-Khullah adalah kecintaan yang paling tinggi. Para ulama menyatakan bahwa derajat khullah lebih tinggi dari tingkatan mahabbah. Oleh karena itu seorang yang disebut sebagai khalil, lebih tinggi kedudukannya daripada habib. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bahwa Allah hanya mengambil dua orang manusia sebagai khalil, yaitu nabi Ibrahim dan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan masalah mahabbah Allah sering menyebutkan dalam al-Qur’an, Allah mencintai orang-orang yang beriman, sabar, berjihad di jalan-Nya dan lain-lain.

Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyatakan kalau saja beliau menjadikan khalil, maka niscaya Abu Bakarlah orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakar adalah orang yang terdekat dan paling dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja beliau shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengambil khalil dari kalangan manusia.

Dengan disebutkannya beberapa isyarat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam di atas cukuplah kiranya menjadi hujjah yang tegas bahwa Abubakar adalah seorang yang paling layak menjadi khalifah. Dan kekhalifahannya adalah sah, tidak ada yang menyelisihi kecuali orang-orang yang dalam hatinya adanya penyakit.

Namun perlu diketahui bahwa pendapat ahlus sunnah ini adalah pernyataan yang keluar dari hujjah yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara ijma’, hal ini sama sekali tidak keluar dari kebencian kepada ahlul bait. Adapun tentang keutamaan ahlul bait, insya Allah akan kami bahas pada edisi mendatang.

Wallahu a’lam

Ust. Muhammad Umar As-Sewed

Nikuli dari: Buletin Manhaj Salaf Cirebon

*****

Kisah Abu Bakar Menjadi Imam Shalat Di Hari-hari Akhir Hidup Nabi saw. adalah Kisah Kepalsuan

Tak henti-hentinya saudara-saudara kami Ahlusunnah, dan khususnya yang Nawâshib di antara mereka, di antaranya adalah Pendiri Sekte Wahhabiyah dan kaum Wahabi …. Tak henti-hentinya mereka berdalil dengan kasus ditunjuknya Abu Bakar menjadi imam shalat di hari-hari akhir kehidupan Nabi saw. bahwa sebenarnya penunjukan itu oleh Nabi saw. adalah sebuah isyarat atau bahkan dianggap sebagai penunjukan samar/khafiy atas kekhalifahan Abu Bakar…

Akan tetapi, semua itu tidak berdasar… di sampan peristiwa penujukan itu adalah palsu!

Ibnu Abdil Wahhab berkata:

وما صح من أمره صلى الله عليه وسلم أبا بكر في مرض موته بإمامة الناس وهذا التقديم من أقوى إمارات حقيقة خلافة الصديق وبه إستدل أجلاء الصحابة كعمر وأبي عبيدة وعلي رضي الله عنهم أجمعين.

“Dan apa yang telah shahih bahwa Nabi saw. di waktu sakit kematiannya memerintah Abu Bakar untuk memimpin shalat. Dan pengajuan itu adalah isyarat terkuat akan hakikat Khilafahnya ash Shiddîq (Abu Bakar). Dan dengannya para pembesar sahabatseperti Umar, Abu Ubaid dan Ali ra. berdalil.”

Dalam blog haulasyiah, seorang pendekar Wahabiyah juga membanggakan dalil di atas dan mendendangkan nyanyian lama tanpa meneliti dan memerhatikan kepalsuannya… seakan mereka bersepakat untuk bergantung di atas lumut demi menyelamatkan doqma klasik mazhabnya…

Ust. Muhammad Umar As-Sewed berkata:

“Dalil-dalil yang menunjukkan akan adanya isyarat secara tidak langsung (bukan wasiat) dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang mengisyaratkan bahwa Abu Bakarlah yang lebih pantas menjadi khalifah sangat banyak. Isyarat-isyarat tersebut adalah sebagai berikut:

Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dipilih sebagai imam Shalat pengganti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam

Hadits-hadits yang menunjukkan diperintahkannya Abu Bakar untuk memimpin shalat menggantikan Rasulullah, shalallahu ‘alaihi wasallam sangat masyhur. Salah satu di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Musa radhiallahu ‘anhu berikut:

مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ فَاشْتَدَّ مَرَضُهُ فَقَال مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيقٌ مَتَى يَقُمْ مَقَامَكَ لاَ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ فَقَالَ مُرِي أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَإِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ قَالَ فَصَلَّى بِهِمْ أَبُو بَكْرٍ حَيَاةَ رَسُولِ اللَّهِ. ]متفق عليه)

Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sakit parah beliau berkata: “Suruhlah Abu Bakar untuk mengimami manusia”. Maka berkatalah Aisyah: “Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang laki-laki yang amat perasa (mudah menangis). Bagaimana dia akan menggantikan kedudukanmu, dia tidak akan mampu untuk memimpin manusia”. Rasulullah berkata lagi: “Perintahkanlah Abu Bakar untuk mengimami manusia! Sesungguhnya kalian itu seperti saudara-saudaranya nabi Yusuf.”[1] Abu Musa berkata: maka Abu Bakar pun mengimami shalat dalam keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. (HR. Bukhari Muslim)”

Kemudina selanjutnya ia menyebutkan beberapa dalil yang telah kami bantah habis dalam edisi-edisi yang telah lewat.

http://haulasyiah.wordpress.com/2007/08/06/isyarat-rasulullah-abu-bakar-sebagai-khalifah-bantahan-syubuhat-syiah-ke-5/


Ibnu Jakfari berkata:

Setelah penelitian panjang terhadap riwayat-riwayat yang dijadikan dalil oleh Syeikh Ibnu Abdil Wahhabdan kaum nawâshib Wahhâbiyah, dan pembuktian bahwa dalil-dalil tersebut tidak mampu bertahan di hadapan kritik dan pembuktian akan kepalsuannya, maka di sini tidak tersisa dari dalil yang diandalkan Syeikh kecuali berhujjah dengan shalat Abu Bakar di hari-hari akhir hidup Nabi saw. … Dan adapun klaimnya bahwa para pembesar sahabat, di antaranya Imam Ali as. telah berhujjah dengannya untuk membuktikan keabsahan Khilafah Abu Bakar adalah sebuah kepalsuan lain yang tidak akan mampu ia buktikan di hadapan kajian ilmiah… ia hanya sebuah kepalsuan yang diatas namakan Imam Ali as. oleh para pemalsu yang sektarian demia membela doktrin mazhabnya. Sebab jika benar, lalu mengapa Imam Ali as. enggan memberikan baiat untuk Abu Bakar bahkan menentangnya selamma enam bulan, seperti diriwayatkan dalam berbagai riwayat shahih, di antaranya oleh Imam Bukhari?!

Semua itu tidak berdasar, dan hanya kepalsuan belaka!!

Adapan mengaitkan-ngaitkan antara menjadi imam shalat (yang disitilahkan dengan imamah shughrâ) dengan kekhalifahan (yang disitilahkan dengan imamah kubrâ) adalah kesimpulan yang mengada-ngada, dan hanya dilontarkan oleh kaum jahil yang tidak mengerti permasalahan Khilafah/Imamah Kubra dalam teoloqi Islam, khususnya teoloqi Ahlusunnah wal Jama’ah! Sebab:

Pertama: Para ulama Sunni sendiri telah mengakui tidak adanya relevansi antara menjadi imam dalam shalat dan menjabat sebagai Khalifah, sebab ia adalah dua masalah yang sangat berbeda dalam segala seginya termasuk dalam syarat-syarat yang dibutuhkan oleh masing-masing. Ibnu Hazm telah mengakui kenyataan ini, ia berkomentar, “Adapun orang yang mengklaim bahwa Abu Bakar diajukan menjadi Khalifah karena diqiyas karena ia diajukan sebagai imam dalam shalat maka ia adalah batil/salah secara pasti, bâthilun biyaqînin. Sebab tidak setiap yang berhak menjkadi imam dalam shalat ia berhak menjadi Khalifah. Yang berhak menjadi imam dalam shalat adaalah yang paling bagus qira’atnya, walaupun ia seorang ajami (non Arab) ataupun orang Arab, sementara tidak berhak menjabat sebagai Khalifah kecuali seorang dari suku Quraisy. Bagaimana akan diqiayaskan antara keduanya, semantara qiyas itu seluruhnya batil.”[2]

Selain Ibnu Hazm, Syeikh Abu Zuhrah –seorang tohok ulama Azhar- juga menolak prinsip relasi tersebut, ia berkata, “Sebagian dari mereka berkata, ‘Nabi saw. telah merelakan ia menjadi imam dalam urusan akhirat kita (shalat), lalu apakah kita tidak meralakannya menjadi imam dalam urusan dunia kita?!’. Akan tetapi ia memaksa adalah relasi yang tidak berdasar, sebab politik (mengurus) urusan dunia berbeda dengan urusan ibadah. Maka dengan demikian isyarat itu tidaklah jelas mengandung penunjukan. Selain itu, dalam rapat di Saqifah yang di dalamnya terjadi persaingan tidak sehat antara kaum Muhajirin dan Anshar dalam memperebutkan jabatan Khilafah tidak seorang pun berdalil dengan dalil tersebut. Yang jelas mereka tidak meyakini adanya relasi antara imamah shalat dan jabatan kepemimpinan umat Islam (Khalifah/Imamah Kubrâ).”[3]

Kedua: Dalam fikih Ahlusunnah tidak memberi perhatian dalaam kualitas seorang imam dalam shalat, sebab seorang yang fajir sekalipun boleh dan sah menjadi imam shalat sementara makmunya orang-orang shaleh, waliyullah. Para ulama Ahlusunnah berdalil dengan sabda Nabi saw. yang mereka akui keshahihannya, “Shalatlah di belakang seorang yang barr/baik mapun yang fajir/jahat/derjana.” Sebagaimana mereka juga berdalil dengan bermakmumnya para pembesar sahabat di belakang Walîd ibn ‘Uqbah ketika memimpin shalat dalammkeadaan mabok berat di masa ketika ia menjadi gubernur wilayah Kufah di masa kepemimpinan Khalifah Utsman ibn Affan.

Andai menjadi imam dalam shalat adalah bukti legalitas kekhalifahan seorang pastilah Salim maula Abu Hudzaifah, Amar ibn ‘Âsh dan Abdurrahman ibn ‘Auf lebih berhak menjadi Khalifah sebab mereka pernah memimpin shalat dan di antara yang menajdi makmun adalah Abu Bakar![4] Sementara itu dalam riwayat-riwayat Ahlusunnah Abu Bakar kemudian mundur setelah kedatangan Nabi saw. ke dalam masjid dan menggantikannya menjadi imam shalat![5]


Abu Bakar Tidak Menjadi Imam Dalam Shalat Tersebut!

Seluruh riwayat yang mengisahkan peristiwa tersebut menegaskan bahwa beberapa saat setelah Abu Bakar memimpin shalat, Nabi saw. segera keluar bergegas menuju masjid dengan dipanggul Imam Ali as. dan al Fadhl putra Abbas ra. atau Abas sendiri dalam keadaan sakit parah sehingga kedua kaki suci beliau tidak menginjak ke tanah, kemudian beliau yang memimpin shalat dan menyingkirkan Abu Bakar dari posisinya sebagai imam shalat!

Jadi jika benar Nabi saw. yang memerintah Abu Bakar untuk menjadi imam shalat, mengapakah kemudian beliau memaksa diri bangkit menuju masjid dan menyingkirkan Abu bakar dari posisinya?! Bukankah kebangkitan Nabi saw. menuju masjid dalam keadaan seperti itu ingin menepis anggapan bahwa beliaulah yang memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dalam shalat!

Sibthu Ibn Jauzi telah menulis sebuah buku untuk membuktikan bahwa Abu Bakar tidak menjadi imam dalam shalat pada kasus tersebut. Dalam buku tersebut ia menyusun tiga bab, pertama pembuktian bahwa Nabi saw. keluar menuju masjid dan menyingkirkan Abu Bakar, kedua pembuktian adanya ijma dari Abu Hanifa, Malik, Syafi’i dan Ahmad tentang hal tersebut, ketiga, pembuktian kelemahan riwayat yang mengatakan bahwa Abu bakar lah yang menjadi imam dalam shalat tersebut. Dan ia mensifati yang mengatakannya sebagai gedil dan mengikuti hawa nafsu.

Ibnu Hajar al Asqallani –penutup para huffâdz- juga menegaskan bahwa Abu Bakar tidak menjadi imam dalam shalat itu. Ia berkata, “Telah banyak sekali riwayat dari Aisyah dengan tegas menunjukkan bahwa yang menjadi imam dalam shalat tersebut adalah Nabi saw.”[6]

Jadi andai mereka berdalil dengan shalatnya Abu Bakar sebagai bukti keabsahan Khilafahnya, niscaya orang lain dapat berdalil dengan disingkirkannya Abu Bakar dari posisinya sebagai imam shalat adalah isyarat kuat bahwa ia sama sekali tidak memiliki kelayakan untuk menjadi imam shalat apalagi menjadi Khalifah!

Keempat: Bukti-bukti otentik mengatakan bahwa Abu Bakar saat itu termasuk yang diperintah Nabi saw. untuk bergabung dengan tentara di bawah komandan Usamah ibn Zaid. Jadi tidak mungkin Nabi saw. yang memerintah Abu Bakar untuk menjadi imam shalat ketika itu![7]

Kelima: Andai dalil yang mereka banggakan itu shahih dan sempurna sanad dan matan dalam pandangan Ahlusunnah, maka itu masih belum cukup, -seperti sering saya tegaskan- sebab ia hanya diriwayatkan oleh ulama Ahlusunnah sendiri, ulama Syi’ah tidak pernah meriwayatkannya dan tidak pula pernah menshahihkannya… Sementara kebutuhan mereka dalam membela keabsahan Khilafah Abu Bakar adalah dalam menghadapi hujatan ulama Syi’ah, lalu bagaimana dalam mempertahankan dan/atau membuktikannya, mereka (Ahlusunnah) berhujjah dengan dalil sepihak? Bukankah yang demikian itu menyalai etika berdialoq?


Al Khulashah

Jadi apa yang sedang mereka banggakan adalah gugur dengan sendirinya. Dan dengan gugurnya dalil-dalil yang mereka banggakan dan mereka andalkan dalam menegakkan keabsahan khilafah Abu Bakar maka runtuhlah pilar mazhab mereka yang mereka tegakkan di atasnya!! Walhandu Lihhahi….


Catatan Kaki:

[1] Terjemahan hadis di atas oleh ustadz Wahabi bernama Muh. Umar as Sewed adalah salah, sebab kata shawâhib dengan wazan (bentuk kata) fawâ’il menunjukkan perempuan… jadi tidak benar jika diterjemahkan dengan: saudara-saudaranya nabi Yusuf. Akan tetapi yang dimaksud dengannya adalah wanita-wanita yang mengganderungi Nabi Yusuf as. Tapi tak mengapalah kesalahan itu, dan saya tidak akan mengatakan bahwa ia diakibatkan karena sang ustadz pujaan kaum Wahabi itu baru belajar bahasa Arab…. Sebab bisa jadi beliau adalah pakar dalam bahasa Arab, namun kali ini tergelincir… Semoga tidak keseleo atau patah tulang dalam ketergelincirannya kali ini!! Amîn.
[2] Al Fishal Fi al Milal wa an Nihal,4/109.
[3] Tarikh al Madzâhib al Islamiyah:23.
[4]Lebih lanjut baca Shahih Bukhari, Kitabul Ahkâm, Bab Istiqshâul Mawâli wa Isti’mâlihim,9/88, Shahih Muslim, Bab al Mashu ‘ala al Imamah1/230, Musnad Imam Ahmad,4/248, 250 dan 251, Sunan Abu Daud,1/37, Sunan Ibnu Mâjah,1/392, Sunan an Nasa’i, 1/77, Bab Kaifa al Mashu ‘Ala al Imamâh, Sirah Ibn Hisyâm,4/272, Sirah Ibn Katsir,3/513 pada bab peperangan Dzatus Salâsil.
[5] Shahih Bukhari, Bab man Dakhala Liyaummu an Nâsa Fa jâa al Imam fa Yataakhkhara al awal,1/174
[6] Fathu al Bâri,2/123.
[7] Fathu al Bâri,8/124, ath Thabaqât al Kubrâ; Ibnu Sa’ad,4/66, Tarikh al Ya’qûbi,2/77, Tarikh al Khamîs,2/154 dll.

(Jakfari/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

0 komentar: