Sebagian pengamat menilai, salah satu kekuatan menonjol di balik Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama ialah adanya sejumlah konglomrat Cina. Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun mengatakan, publik mengenal para pemodal itu sebagai sembilan naga atau sembilan barongsai.
Politikus muda Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia juga mengaku curiga, ada kekuatan besar yang melindungi Ahok sehingga diperlakukan berbeda dengan tersangka lain dalam kasus penistaan agama. Menurut Doli, indikasi ada kekuatan besar yang melindungi Ahok mengarah kepada kelompok taipan yang sedang menjalani bisnis properti dan melakukan reklamasi Teluk Jakarta.
“Kalau selama ini disebut ada 9 Naga, indikasinya kan banyak,” katanya seperti dikutip sindonews (29/11)
Tidak hanya itu, dalam minggu-minggu terakhir, di media sosial juga beredar kicauan bahwa, melalui Ahok, konglomerat “Sembilan Naga” akan lebih leluasa menguasai ekonomi Indonesia yang memang sebagian besar sudah berada dalam genggaman mereka. Benarkah demikian?
Menurut Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif, jawabannya: tidak salah. Tapi, kata Eks Ketua Umum Muhammadiyah ini, tidak perlu melalui Ahok yang mulutnya dinilai liar dan jalang itu, karena prosesnya sudah berjalan puluhan tahun, jauh tersimpan dalam rahim paruh kedua abad ke-20 setelah kekuasaan Bung Karno terempas karena salah langkah dalam mengurus bangsa dan negara.
“Tapi pihak manakah yang memberi fasilitas kepada para naga yang jumlahnya bisa puluhan itu—bukan sebatas sembilan?” kata pria yang akrab disapa Buya Syafi’i ini di tempo.co
Menurut Buya, tidak sulit mencari jawaban atas pertanyaan ini. Fasilitatornya adalah penguasa dan pihak perbankan Indonesia yang sebagian besar beragama Islam.
“Sekali lagi, sebagian besar beragama Islam. Pihak-pihak inilah yang memberi surga kepada para naga itu untuk menguasai dunia bisnis di negeri ini,” kata guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta ini.
Semestinya, lanjut Buya, pembenci Ahok tidak hanya mahir bermain secara hiruk-pikuk di hilir lantaran buta peta, karena masalah utamanya berada di hulu—setidak-tidaknya bisa ditelusuri sejak rezim Orde Baru.
“Selama masalah besar dan utama ini dibiarkan berlanjut, jangan bermimpi kesenjangan sosial yang masih menganga dapat dipertautkan. Dan, prahara sosial bisa muncul setiap saat untuk meluluhlantakkan apa yang telah dibangun selama ini.”
Di mata pria 81 tahun ini, sikap benci dan marah tanpa bersedia mengoreksi diri secara jujur dan berani, sorak-sorai demo, akan berujung pada kesia-siaan. Apalagi, kabarnya, kekerasan juga telah menjadi ladang usaha bagi sebagian orang yang punya mentalitas duafa, sekalipun menikmati mobil super-mewah.
“Tapi, Tuan dan Puan, jangan salah tafsir. Yang bermental patriotik dan nasionalis dari kelompok etnis ini juga tidak kurang jumlahnya. Saya punya teman dekat dari kalangan ini, sekalipun mereka belum tentu masuk dalam barisan naga itu.”
Dan, lanjut Buya, naga itu pun tidak semuanya masuk dalam lingkaran konglomerat hitam. “Cinta teman dekat saya ini kepada tanah leluhur sudah lama mereka tinggalkan dan tanggalkan. Tanah air mereka tunggal: Indonesia! Mereka lahir dan berkubur di sini, sikap mereka tidak pernah mendua.”
Adalah sebuah angan-angan kosong sekiranya Ahok dijatuhi hukuman selama 400 tahun, sementara mentalitas terjajah atau jongos tetap diidap sebagian kita.
“Ujungnya hanya satu: kalah,” tegasnya
Dan juga, kekalahan mendorong orang menuju sikap kalap yang bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Maka, menurut Buya, amatlah nista bila nama Tuhan disebut-sebut untuk membenarkan mentalitas kalah dan kalap ini.
“Tanpa perbaikan mendasar dalam struktur kejiwaan kita, maka ungkapan Bung Karno tentang bangsa kuli di antara bangsa-bangsa bukan mustahil menjadi kenyataan.” []
(Maarif-Institute/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar