Saat hadir dalam acara Sinau Bareng dengan tema Budaya Lingkungan Hidup di IAIN Surakarta akhir November lalu, mengawali paparannya Cak Nun mengajak hadirin lebih sadar tentang dampak globalisasi dan kapitalisme global yang saking dahsyatnya, bahkan dapat menghancurkan kedaulatan budaya, negara dan bangsa.
“Kalau bisa ada ekstra pembelajaran atau penelitian, meskipun tidak harus menjadi ekstrakurikuler. Anda tak bisa hidup dengan fokus Anda sendiri, Anda harus hidup peduli dengan tema atau fokus hidup bersama. Harus rajin berlatih asosiasi, intelektual dan emotif-emosional. Itulah thariqat ilmiah. Jika dilihat dari keputusan-keputusan yang diambil, manusia yang beragama itu tak lebih dari sepuluh persen, demikian juga dengan umat Islam yang beragama Islam itu paling sepuluh persen. Agama mayoritas sekarang ini, yang dianut adalah globalisasi,” terang Cak Nun memberikan titik pijak sudut pandang.
“Anda melakukan sesuatu disadari atau tidak, keputusan atasnya ditentukan oleh globalisasi. Anda dibuat suka beli, suka ke mall. Anda dibikin berpikir hanya segaris saja dan tidak multigaris. Itulah globalisasi. Jika dulu di warung, orang makan dulu baru bayar. Sekarang, di mall atau tempat lain, Anda bayar dulu baru makan. Globalisasi bermuatan kecurigaan dan ketidakpercayaan kepada orang lain. Tidak ada suasana iman. Diputuslah hubungan kepercayaan,” paparnya lebih lanjut.
Ketika dulu warung mempersilakan pembeli makan dulu baru bayar, bahkan saat mereka mengambil lauk-pauk tak diamati, itu dikarenakan filosofinya bukan jualan, melainkan menjalankan kehidupan dan budaya dengan jalan buka warung. “Itu sebabnya Budaya Lingkungan Hidup yang menjadi tema malam ini sangat relevan,” respons Cak Nun.
Hadir di tempat yang sama, selaku tuan rumah, Rektor IAIN Surakarta Dr. Mudhofir mengemukakan latar belakang tema yang diangkat malam itu dengan mendeskripsikan masa depan manusia yang dilingkupi oleh ledakan penduduk, kerusakan lingkungan, kehancuran pangan, berkurangnya daya tampung bumi, dan lain-lain akibat filosofi yang salah atas alam oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan perilaku sebagian manusia. Dampaknya, alam kerap dikendalikan sekadar hanya untuk kepentingan memenuhi hasrat keserakahan sekelompok orang, meniadakan kearifan berbagi dan menyebabkan masa depan manusia dipenuhi beragam ancaman.
Dalam konteks inilah agama Globalisasi yang disampaikan Cak Nun sangat berhubungan dengan gejala-gejala yang disebut Pak Rektor. Agama globalisasi yang salah satu wujudnya adalah kapitalisme global itulah yang potensial menghancurkan kedaulatan negara dan menjadikannya lemah tak berdaya.
Malam itu Cak Nun juga benar-benar mengajak para mahasiswa yang hadir lebih berkonsentrasi dan konstan berpikir. Penjelasan tentang Globalisasi dan tahap-tahapnya yang berjalan hingga hari ini bahkan diperkaya dengan menyitir tafsir lain atas nubuat Ajisaka sebagaimana dikemukakan Ki Ronggowarsito, seorang pujangga Jawa yang pernah menyebut suatu masa bernama Kalabendu. Yakni masa ketika akan terjadi keadaan “Cino gari sakjodo, Jowo gari separo, Londo gela-gelo.”
Apa maksud dari nubuat tersebut?
Tafsir lain yang belum jamak didengar ini menuturkan bahwa maksud Cino gari sakjodo adalah orang Cina tinggal satu pasangan. Laki-laki dan perempuan. Tapi jumlahnya bisa saja menjadi sangat banyak, karena dari sakjodo tadi memungkinkan reproduksi dan melahirkan keturunan dalam jumlah yang banyak.
Sedangkan Wong Jowo gari separo bisa berarti tidak lengkap, tidak satu pasangan. Hanya perempuan saja, atau laki-laki saja. Sehingga pilihannya akan kawin dengan orang dari kelompok yang tinggal sakjodo tadi, sehingga habislah kedaulatan antropologis manusia Jawa.
Cak Nun tidak memastikan hal tersebut benar sebagai tafsir, melainkan menghubungkannya dengan kemungkinan akibat penjajahan globalisasi atas bangsa Indonesia ini. Kemungkinan itu bernama goro-goro yang mengakibatkan keadaan seperti digambarkan kalimat nubuat “Wong Cino gari sakjodo, Wong Jowo gari Separo” itu.
Kebijakan-kebijakan negara yang mempersilakan globalisasi masuk merusak dan menjajah, dalam bahasa yang lain kata Cak Nun, dapat dibaca sebagai menabung dendam. Itulah globalisasi yang intinya bermuatan pasar bebas tanpa keseimbangan dan absennya peran negara dalam melindungi warganya. Globalisasi semacam itulah yang sangat berpotensi meluluhlantakkan kedaulatan budaya, negara dan bangsa. Tak terkecuali budaya, negara dan bangsa Indonesia.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar