Selain NU dan Muhammadiyah, mungkin tak banyak kaum Muslimin di Indonesia yang familiar dengan ormas Islam bernama Al Jam’iyatul Washliyah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Washliyah saja.
Sekadar diketahui, Al Jam’iyatul Washliyah merupakan organisasi Islam yang lahir pada 30 November 1930 dan bertepatan dengan 9 Rajab 1349 H di kota Medan, Sumatera Utara. Ormas Islam ini lahir ketika bangsa Indonesia masih dalam masa penjajahan Hindia Belanda (Nederlandsh Indie). Sehingga para pendiri Al-Washliyah ketika itu turut pula berperang melawan penjajah. Tak sedikit para tokoh Al-Washliyah yang ditangkap Belanda dan dijebloskan ke penjara.
Tujuan utama berdirinya organisasi Al Washliyah ketika itu adalah untuk mempersatukan umat yang berpecah belah dan berbeda pandangan. Perpecahan dan perbedaan tersebut merupakan salah satu strategi Belanda untuk terus berkuasa di bumi Indonesia. Oleh karena itu, Organisasi Al-Washliyah turut pula berperan dalam upaya meraih kemerdekaan Indonesia dengan menggalang persatuan umat di Tanah Air, khususnya di bumi Sumatra.
Penjajah Belanda yang menguasai bumi Indonesia terus berupaya agar bangsa Indonesia tidak bersatu, sehingga mereka terus mengadu domba rakyat. Segala cara dilakukan penjajah agar rakyat berpecah belah. Karena bila rakyat Indonesia bersatu maka dikhawatirkan bisa melawan pejajah Belanda.
Tahun ini, dalam memperingati hari ulang tahunnya yang ke-86, Al-Washliyah mengundang Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Zulkifli Hasan untuk hadir memberikan Orasi Kebangsaan.
Sebagai wujud apresiasi dan dukungan kepada organisasi Islam tersebut, Zulkifli meluangkan waktunya untuk hadir dan memenuhi undangan.
Acara peringatan HUT ke-86 Al Jam’iyatul Washliyah berlangsung pada Jumat (2/12/2016) malam di Teater Sasono Langen Budoyo, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Pada acara tersebut, Zulkifli didaulat membawakan orasi kebangsaan terkait Empat Pilar MPR RI.
Saat berorasi, Zulkifli banyak berbicara tentang Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Menurutnya, Pancasila sudah ada dalam diri umat Islam Indonesia. Para pendiri bangsa terdahulu mencetuskan Pancasila berdasarkan dua landasan, yaitu nilai-nilai keagamaan yang dianut rakyat Indonesia dan nilai-nilai keindonesiaan yang dimiliki setiap individu.
Dalam Pancasila, ada sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu, sikap dan perilaku pemimpin maupun rakyat Indonesia harus mencerminkan sila tersebut.
“Aksi super damai tanggal 2 Desember kemarin adalah implementasi rasa Ketuhanan yang sangat tinggi. Saya terharu sekaligus bangga sebagai umat Islam Indonesia. Luar biasa sekali. Indah sekali, mereka membela agamanya dengan ibadah, kedamaian dan keramahan. Mereka tunjukan bahwa ramah bukan berarti lemah dan bukan bukan berarti bisa seenaknya diinjak-injak,” katanya.
Diungkapkan Zulkifli, umat Islam sekaligus peserta aksi damai adalah rakyat yang Pancasilais, karena mereka berperilaku dan bertindak sesuai dengan Pancasila.
Sebaliknya, menurut Zulkifli, orang yang tidak Pancasilais adalah orang yang menistakan agama. Sebab, Pancasila mengajarkan masyarakat untuk saling menghargai perbedaan ajaran agama dan keyakinan.
Persatuan dan kesatuan tentu akan terusik jika ada salah satu pihak yang melakukan penistaan terhadap agama. Zulkifli juga berpendapat bahwa hal yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukanlah aksi menuntut penegakan hukum, melainkan individu yang melakukan penistaan agama.
Ia melanjutkan pembahasan ke sila ketiga yang berbunyi “Persatuan Indonesia”. Sila tersebut mengimbau seluruh lapisan masyarakat Indonesia untuk bersatu dan membela satu sama lain. Dengan kata lain, jika ada individu atau kelompok yang tidak mendapatkan haknya sebagai warga negara, maka pemerintah harus memastikan hak itu terpenuhi. Begitu pula dalam mengambil tindakan, pemerintah harus mengedepankan kepentingan rakyat.
“Kepentingan rakyat harus diutamakan. Misalnya, soal tenaga kerja. Kita harus mementingkan menyerap tenaga kerja Indonesia, jangan asing, karena itu tidak sesuai Nasionalisme. Begitu juga dengan kekayaan alam. Bung Karno pernah bilang, kalau kalian belum bisa menggali tambang kekayaan alam Indonesia, tunggulah sampai anak cucu kita bisa. Itulah Nasionalisme kepentingan rakyat yang tidak bisa dikompromi. Semua untuk kesejahteraan rakyat,” tegas Zulkifli.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar