Balai Penelitian Agama (Balitbang) Makassar merilis hasil survei yang menyebutkan 114 atau 10,4 persen siswa SMA di kawasan Indonesia Timur siap melakukan aksi bom bunuh diri sebagai bentuk perjuangan penegakan agama Islam (jihad). Survei ini melibatkan sebanyak 1100 responden itu dilakukan di lima kota di Indonesia Timur, yaitu Ambon, Palu, Kendari, Makassar dan Samarinda.
“Temuan riset ini patut diberi perhatian yang cukup serius. Mengingat kelompok radikal tidak terlalu membutuhkan banyak orang untuk menjalankan aksinya,” kata Saprillah ketika menyampaikan hasil penelitianya di Kantor Balai Litbang Agama Kota Makassar, seperti dilaporkan seputarsulawesi.com (6/10).
Di wilayah Makassar, sebanyak 22 siswa SMA menyatakan siap melakukan aksi bom bunuh diri. Lima orang di antaranya menyatakan diri sangat bersedia melakukannya, sementara 17 orang lainnya hanya menyatakan bersedia.
Saprillah mengatakan, tujuan survei itu dilakukan untuk menemukan potensi radikalisme agama di berbagai sekolah di Indonesia Timur. Meski sebagian besar siswa masih tidak menyukai tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama, namun bibit radikalisme di temukan di setiap sekolah.
“Bibit radikalisme berbasis agama ditemukan di setiap sekolah. Olehnya itu, ke depannya, perlu ada kampanye agama damai dilakukan di sekolah-sekolah, untuk menekan penyebaran paham radikalisme ini,” katanya
Di sisi lain, menurut survei Kementerian Komunikasi dan Informatika serta UNICEF Indonesia pada 2014, kurang-lebih 43,5 juta anak dan remaja berusia 10-19 tahun di Indonesia adalah pengguna Internet. Artinya, kata Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta – Abdallah, dunia digital sudah menjadi kebutuhan yang tak terelakkan.
“Pada titik ini, kebenaran tampak kabur di tengah riuhnya wacana yang terus dilempar ke ruang publik bak buih di tengah hamparan samudera yang mahaluas,” katanya seperti dikutip tempo.co, 13/9.
Anak muda yang menjadi sasaran adalah anak-anak SMP dan SMA yang sedang dalam proses pembentukan kepribadian. Tidak tertutup kemungkinan anak-anak ini mencari pemahaman agama secara liar, apalagi jika mereka tidak mendapatkan bimbingan atau pemahaman agama dari orang tuanya, gurunya atau ustadznya.
Hasil riset lain, lanjut Abdallah, menemukan bahwa paham intoleransi keagamaan masih ditemukan melalui penyajian buku ajar di sekolah yang kurang mengedepankan aspek dialogis. Misalnya, di antara aspek dialog yang perlu dilakukan soal apa dan siapa itu kafir, musyrik, munafik hingga penjelasan tentang Islam ‘rahmatan lil ‘alamin’. []
(Seputar-Sulawesi/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar