Rabu, 30 Desember 2015

Antara Khawarijsme, Wahabisme dan Radikalisme


Oleh: Faisal Djindan

1400 tahun yang lalu, ketika sekelompok orang yang kemudian dikenal dengan nama Khawarij dikepung dan kemudian sebagian besar dari mereka terbunuh dan sebagian kecil lainnya melarikan diri dalam sebuah pertempuran di tepi sungai Nehrawan Irak. Komandan perang Islam saat itu Malik al-Asytar datang kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib menyampaikan laporan sekaligus kabar gembira dengan keberhasilan operasi mereka dalam menghadapi kelompok tersebut. Maka sang Khalifah pun berkata; “Demi Allah tidak dan belum, mereka masih berada dalam sulbi lelaki dan rahim wanita, bilamana seorang pemimpin muncul dari kalangan mereka maka ia akan dipancung sampai yang terakhir dari mereka akan menjadi pencuri dan perampok” (Nahj al-Balaghah, khotbah 59).

Kelompok Khawarij yang tersebut diatas adalah sebuah kelompok dengan ideologi keagamaan saat itu dengan sifat arogan, radikal serta tak memiliki belas kasih membunuh siapa saja yang dianggap memiliki perbedaan dengan faham dan penafsiran dari teks-teks keagamaan dari yang mereka yakini.

Salah satu syiar atau motto mereka adalah “tidak ada hukum (yg dipakai) kecuali hukum Allah”. Motto mereka ini tentunya mereka petik dari salah satu ayat dalam Alquran yang jika diterjemahkan secara parsial dan tekstual akan memiliki interprestasi tunggal sebagaimana yang mereka yakini. Alhasil penafsiran yang mereka buat lalu dilegalkan dalam sebuah praktek praktek yang kemudian berujung kepada sadisme dan brutalisme. Agama (baca:Islam) yang awalnya mengajak umat manusia kepada kasih sayang, akhlak & moral terpuji, membangun peradaban tinggi, menghargai hak-hak sesama kemudian berubah menjadi horor, sadisme, brutalisme, mudah tersulut emosi, anti peradaban, intoleran dan kaku.

Kelompok ini awalnya muncul di era kekhalifaan Ali bin Abi Thalib yang berada pada kurun 30-35H. Khalifah Ali pada saat melihat motto mereka yang diambil dari teks suci Alquran yang mampu menyihir dan mengelabui banyak dari orang awam dengan tegas mengatakan “Perkataan mereka benar tetapi maksudnya salah”, dengan kata lain beliau mengingatkan kepada umat saat itu bahwa teks-teks yang dipakai sebagai argumen adalah benar adanya karena bersumber pada kitab suci Alquran akan tetapi penafsiran yang mereka pakai adalah salah. Jadi era tersebut juga dikenal dengan istilah periode Takwil atau interprestation periode. Dimana saat Nabi saw berdakwa dinamakan periode Tanzil atau wahyu periode maka periode pasca Nabi adalah periode Takwil yang artinya semua sudah menerima Alquran sebagai wahyu tapi problematikanya kemudian bergeser pada interprestasi yang jika sebuah kelompok melakukan true claim dan mengaplikasikannya dalam arogansi dan radikal akan menjadi sebuah ancaman serius bahkan dapat menganulir ruh dari agama itu tersebut.

Menurut sejarawan Islam, pengkafiran paling awal dalam Islam gemar dilakukan oleh kelompok khawarij. Mereka mengkafirkan siapa pun yang berbeda sikap dan pandangan dari mereka. Jargon “hukum hanya milik Allah” telah mengesampingkan peran akal manusia dalam memahami pesan-pesan wahyu.

Aksi-aksi Khawarij ini telah menjadi preseden buruk bagi generasi muslim berikutnya. Dengan aksi-aksi kejam dan destruktifnya mereka tidak hanya mengacaukan stabilitas politik, tetapi juga mendistorsi logika berfikir umat islam dan ini terus di wariskan dari generasi ke generasi. Dewasa ini, para ulama lazim menyebut siapa pun yang mewarisi kebiasaan buruk khawarij sebagai neo-khawarij.

Perkataan Ali bin Thalib yang kami nukil diawal tulisan ini dapat memberikan kepada kita semacam gambaran bahkan ramalan akan sepak terjang mereka. Darinya kita memperoleh pemahaman bahwa radikalisme dan intoleranisme bukan hanya terjadi saat itu, walaupun kelompok Khawarij telah berhasil ditumpas saati itu sang khalifah berujar bahwa “mereka masih ada di sulbi lelaki dan rahim wanita” yang berarti akan lahir disetiap zaman dengan nama atau julukan yang berbeda. Jika saat itu mereka dikenal dengan khawarij maka saat ini mungkin saja mereka dikenal dengan Alqaedah, Taliban, Jabhat Nusra, Boko Haram, Asyabab atau ISIS. Jika dahulu syiar atau motto mereka adalah “tidak ada hukum kecuali milik Allah” maka saat ini syiar dan motto mereka adalah”mendirikan Syariat Allah”..... jadi sekali lagi mereka akan tetap ada di setiap zaman.

Faham Salafi-Wahabi

Pada tahun 1746 aliansi Wahabisme secara resmi memproklamasikan jihad terhadap siapa pun yang memiliki pemahaman Tauhid berbeda. Kampanye mereka biasanya dengan tuduhan Syirik, Bidah atau Khurafat. Siapa pun yang memiliki pemahaman yang tidak sepaham dengan mereka maka akan dianggap murtad dan diwajibkan memeranginya. Dengan demikian predikat muslim hanya merujuk secara eksklusif kepada para pengikut Salafi-Wahabi seperti yang digunakan dalam, buku ‘Unwan al-Majd fi Tarikh al-Najd yang merupakan salah satu buku sejarah resmi Wahabi

Pemahaman ekstrem, kaku, dan keras ala Salafi-Wahabi yang terus dipelihara dan diperjuaangkan oleh pengikutnya hingga saat ini adalah hasil pembacaan tekstual atas sumber sumber ajaran islam. Ini pula yang menyebabkan mereka menolak rasionalisme, tradisi dan berbagai khazanah intelektual islam yang sangat kaya.

Literarur Salafi-Wahabi telah membuat teks teks suci menjadi corpus dan tertutup terhadap pembacaan selain gaya tekstual ala mereka. Pemahaman ini telah memutus teks-teks suci dari konteks risalah maupun konteks masa kini. Islam yang semula sangat apresiatif dan penuh perasaan dalam merespon permasalahan umat tiba-tiba di tangan Salafi-Wahabi menjadi kaku, keras dan tidak berperasaan.

Beberapa tabiat buruk Khawarij pada awal abad pertama islam kini diwarisi kelompok Salafi-Wahabi. Wahabi memang tidak bisa dikatakan sebagai penerus khawarij, bahkan ia dianggap sebagai fenomena yng sama sekali baru dan tidak punya pendahulu sebelumya dalam sejarah islam (Hamid Algar, wahabism: A critical Essay- cet. New York, Islamic Publication International, 2002). Hal ini didasari pada kenyataan bahwa dalam sejarah pemikiran islam Salafi-Wahabi tidak menempati posisi penting apa pun bahkan secara intelektual marjinal. Jika hari ini Wahabisme menjadi signifikan bukan karena kekayaan pemikirannya tapi karena kekuasaan polituk Ibn Saud dan Reyalnya.

Dari perspektif Salafi-Wahabi, memahami agama secara tekstual dan indoktrinal mungkin untuk menghindari kompleksitas pemahaman dan praktik hukum, teologi dan tasawuf umat islam yang telah tumbuh sejak berakhirnya periode wahyu. Namun membayangkan setiap individu dan masyarakat akan mengamalkan islam secara harfiah dari kitab suci dan hadits, tanpa pengaruh tradisi dan budaya setempat tentu sangat tidak realistis dan merupakan mimpi belaka. Justru usaha memahami teks keagamaan secara harfiah ala wahabisme lebih disebabkan ketidakmampuan memahami kompleksitas realitas sosial dalam kaitannya dengan kompleksitas pesan-pesan luhur ajaran islam. Akibatnya semua direduksi sesuai dengan daya tampung atau daya paham si pembaca. Dengan kata lain, keluhuran dan keluasan pesan agama kandas oleh keterbatasan daya pikir mereka yang kaku.

Wahabisme dan Indonesia

Selama beberapa dekade, pelajaran dibangku sekolah sering menceritakan adanya sebuah perang di Sumatra barat yang terjadi di era kolonial yang dikenal dengan perang Padri. Hanya saja perang padri tersebut tidak penah diungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.

Gerakan Padri bermula dari perkenalan haji Miskin, Haji Abdrahman dan Haji Muhammad Arif dengan faham Wahabisme saat menunaikan ibadah haji pada awal abad ke 19, yang ketika itu Makkah dan Madinah sudah dikuasai Wahabi. Terpesona dengan gerakan faham Wahabisme ketiga tokoh tersebut dengan bantuan tokoh tokoh lainnya berusaha menularkannya ke tanah air dengan semangat baru yaitu gerakan pemurnian agama yang merupakan slogan gerakan Wahabi. Salah satu gerakan mereka saat itu adalah memberikan vonis sesat terhadap gerakan tasawwuf Tarekat Syatariyyah dan tarekat tarekat lain secara umum. Tuduhan bidah, khurafat dan syirik mereka layangkan kepada kelompok tasawwuf ini yang keberadaannya sudah ada sejak beberapa abad sebelumnya di Minangkabau.

Beberapa kekerasan yang dilakukan Padri selain mengikuti gerakan kegemaran Wahabisme seperti memusyrikkan, mengkafirkan, membidahkan atau memurtadkan siapapun yang berbeda dengan mereka, juga menerapkan hukun yang sama sekali asing dalam diktum hukun islam. Seperti kewajiban memelihara jenggot yang melanggar didenda dengan 2 Suku (setara dengan 2 Gulden), denda 2 Suku bagi laki laki yang terlihat bagian lututnya dan denda 3 Suku bagi wanita yang terlihat auratnya. Lalu ada denda 5 Suku bagi yang meninggalkan shalat fardhu untuk pertama kali dan hukuman mati bagi yang meninggalkan shalat fardhu untuk berikutnya (http://oman.uinjkt.ac.id/2007/11/kontroversi-kaum-paderi-jika-bukan.html).

Para padri juga melegalkan perbudakan, Tuanku Imam Bonjol seorang tokoh padri terkenal konon mempunyai tujuh puluh orang budak laki-laki dan perempuan. Budak-budak tersebut sebagian berasal dari pampasan perang yang mereka lancarkan kepada sesama muslim karena dianggap telah kafir. (Abdul A’la; genealogi Radikalisme Muslim Nusantara)

Adapun dewasa ini, faham Wahabisme sudah menjalar keseluruh bidang. Jika zaman terdahulu mereka hanya berada pada lingkup dakwah dan majelis ilmu maka sekarang ini mereka eksis dibidang sosial dan politik. Hanya kebanyakan umat islam Indonesia kerap tidak menyadari bahaya laten yang dibawa kelompok garis keras beserta fahamnya. Sebaliknya karena awamnya umat mereka cenderung melihat islam sebagai identik dengan Arab. Mungkin karena faktor inilah umat islam Indonesia tempak enggan mengkritisi Wahabisme yang merupakan faham resmi Kerajaan Arab Saudi dan tentunya faham resmi bagi semua kelompok radikal diseluruh negara-negara islam.

Dalam konteks kebangsaan faham Wahabisme adalah ancaman bagi disitegrasi bangsa. Praktek penyesatan dan pengkafiran dangan basis true claim sepihak ala mereka telah menjadi faktor yang selama ini terbukti menjadi pemicu intoleransi yang terjadi diberbagai tempat. Pemaksaan ajaran secara arogan juga ikut andil dalam menciptakan kekerasan dalam bingkai agama. Sementara dalam konteks politik munculnya ormas-ormas yang berhaluan Wahabisme dengan tegas dan terang-terangang menvonis pancasila dan system demokrasi sebagai Thoghut dan produk haram. Siapa saja dari umat silam yang mendukung ideologi pancasila dan mendukung diberlakukannya demokrasi maka mereka juga dianggap telah menjadi kafir. Maka tak heran ormas semacam HTI, JI dan JAT memiliki cita-cita untuk mengganti ideologi pancasila yang berbhineka dan mengayomi keberagaman dan perbedaan dengan ideologi Khilafah dan penerapan syariat islam yang tentunya sesuai dengan penafsiran tekstual dan indoktrinal mereka.

Sebenarnya, benih gerakan garis keras sudah hadir di Indonesia modern sejak dekade 1970-an, walaupun saat itu kehadirannya bermanis muka dan belum menunjukkan tujuan yang sebenarnya. Karena mereka sadar belum memiliki kekuatan yang memadai. Kekuatan mereka menjadi tampak saat kekuasaan orde baru runtuh. Lalu dengan memanfaatkan atmosfer demokrasi dan kebebasan mereka eksis dan berlindung dibalik legal hukum formal dengan tujuan yang sangat demokratis dan membungkam kebebasan. Ada diantaranya yang yang memilih aksi-aksi jalanan sebagai media pemaksaan ideologinya namun ada juga yang memilih jalur politik praktis dan parlementer.

Secara ringkas bisa dikemukakan bahwa agenda utama kelompok-kelompok garis keras adalah untuk meraih kekuasaan politik melalui formalisasi agama. Mereka beranggapan jika syariah diterapkan sebagai hukum positif dan jika khilafah ditegakkan maka seluruh permasalahan akan selesai.

Seperti diketahui, kelompok kelompok garis keras yang berfaham Wahabi memahami teks-teks keagamaan secara harfiah dan mengabaikan ayat-ayat dan hadist-hadist yang tidak mendukung kepentingan mereka. Maka akhirnya pesan agama pun direduksi sebatas makna atau pesan yang bisa disampaikan dalam rangkaian huruf-huruf saja sesuai dengan ideologi mereka. Ayat-ayat atau hadits-hadits tentang peminum khamr, pencuri atau pembunuh misalnya diturunkan kedalam diktum hukum yang sangat harfiah dan dengan sanksi bermotif dendam.


(Ikmal-Online/STI)

0 komentar: