Rabu, 30 Desember 2015

Kepemimpinan Nasional: Harapan dan Kekecewaan


Oleh: Husein Alkaff

Merenungkan masalah bangsa memerlukan kearifan dan menuntut disiplin berpikir sistemik. Tak ada satu pun persoalan bangsa yang terlepas dari persoalan yang lain. Hubungan antar perkara itu dapat bersifat positif (membawa perbaikan) atau negative (memperparah keadaan). Karena itulah kecermatan bekerja dan keluasan wawasan pada segenap komponen bangsa diperlukan. Jangan sampai para pemimpin bangsa terjebak pada sikap parsial atau sektoral, bukan memecahkan keseluruhan masalah, malah menanam bom waktu yang suatu saat bisa meledak dengan dahsyat.

Ada sebuah adagium yang berbunyi “pemimpin adalah produk masyarakatnya “.Perlakuan rakyat terhadap pemimpinnya adalah refleksi sikap budaya itu. Karena warisan budaya yang kuat, masyarakat kita sangat bergantung pada pemimpinnya. Pemimpin menjadi tumpuan dan harapan mereka satu-satunya. Sering kali masyarakat berharap munculnya ratu adil (satrio piningit) di tengah mereka yang dapat membebaskan mereka dari keterpurukan dan kesulitan. Pemimpin nasional dipaksa menjadi setengah dewa sehingga tercerabut dari bingkai kemanusiaannya. Karena itu, kharisma dan harapan setinggi langit disandangkan kepadanya. Ketika aspek kemanusiaan dari seorang pemimpin itu muncul dan keterpurukan tidak kunjung hilang, maka caci-maki dan sumpah-serapah dilontarkan kepadanya. Siapa menabur harapan maka akan menuai kecewa. Sesungguhnya pemimpin nasional bukan datang dari langit dengan kekuatan superanatural bukan pula ratu adil. Pemimpin nasional muncul dari sistem sosial-politik yang ada dengan mekanisme dan aturan main tersendiri. Pemimpin adalah bagian dari masyarakat dan muncul dari dalam masyarakat dengan segenap konteksnya.

Dalam konteks kepemimpinan nasional dewasa ini dan dari sejak bergulirnya roda reformasi pada tahun 1998 telah terjadi pergantian beberapa kali kepemimpinan nasional di Indonesia; mulai dari Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan sekarang presiden Joko Widodo. Reformasi yang sejatinya memberikan harapan bagi rakyat Indonesia yang telah hidup lelah dan bosan dengan gaya ORBA ternyata belum mampu mewujudkan harapan mereka kecuali dalam kebebasan berpolitik. Namun secara umum, kemunculan pemimpin nasional di era reformasi ini masih jauh dari harapan mereka. Hal ini dikarenakan berbagai permasalahan yang masih menggelanyut pemerintahan Indonesia yang sangat komplek, bak benang kusut yang sulit diurai. Dan itu merupakan warisan dari era kepemimpinan ORBA yang sangat panjang, tiga puluh dua tahun.

Belum genap seratus hari Jokowi berkuasa sudah mulai muncul tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dia tidak seperti yang diharapkan oleh para pemilihnya. Rakyat yang memilihnya siap-siap untuk kecewa. Dari kasus-kasus yang berkaitan dengan penegakan hukum ( Misalnya, KPK vs POLRI) masalah ekonomi yang cukup menyengsarakan rakyat kecil (Misalnya, kenaikan BBM dan listrik), kenyamanan dalam berbangsa dan kerukanan sosial ( Misalnya, kenakalan remaja dan arogansi kelompok atas kelompok yang lain) dan NARKOBA. Meskipun demikian, harus diakui bahwa terdapat beberapa kebijakan dan sikap pemerintahan Jokowi yang patut diacungi jempol dan telah mewujudkan sebagian harapan rakyat.

Bagaimanapu juga, baik Habibie maupun Jokowi serta pemimpin-pemimpin lainnya adalah manusia yang dipilih oleh rakyat. Mereka bukan dewa yang turun dari langit. Mereka adalah produk kita, rakyat Indonesia dan bagian dari kita serta cermin dari kita. Para pemimpin nasional tidak bekerja sendirian. Mereka dibantu oleh para menteri beserta bawahan-bawahan mereka, juga dilengkapi oleh dewan legislative sebagai pengontrol. Kebaikan mereka adalah kebaikan kita, dan kejelekan mereka adalan kejelekan kita. Dengan kata lain, kebaikan dan kejelekan mereka adalah kebaikan dan kejelakan rakyat yang mereka pimpin, karena presiden dan para wakil rakyat dipilih oleh rakyat. Rakyat telah melakukan pilihannya, dan itu sebuah karunia yang besar, tapi mereka belum melakukannya dengan baik. Selama rakyat ini belum pandai memilih presiden, pemimpin daerah dan wakilnya, maka selama itu pula harapan mereka jauh dari kenyataan.

Sebagai komunitas yang kecil dan pemilik suara yang sedikit, para pengikut Ahlul Bait boleh-boleh saja menggunakan hak suara mereka dan menentukan pilihan yang menurut mereka baik, tapi tidak perlu berharap banyak dari siapapun yang terpilih; meskipun dia itu pilihan mereka. Kalau saja suara mereka berpengaruh, maka suara mereka pasti menguntungkan kontestan. Setelah kontestan mereka terpilih belum tentu dia melakukan apa yang diharapkan oleh mereka. Kata orang, dalam dunia politik tidak ada lawan dan teman abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi. Kontestan yang terpilih sudah mendapatkan keuntungan dari suara mereka, sementara mereka belum tentu mendapatkan apa-apa darinya;baik kepentingan komunitas maupun kepentingan bangsa secara umum. Lebih dari itu, dukungan yang berlebihan pada pilihan mereka bisa menjadi sebab tumbuhnya permusuhan sektarian dari pihak-pihak yang berseberangan dengan pilihan mereka. Mungkin ucapan Imam Ali as. cocok untuk kondisi mereka dalam ranah politik, “ Dalam kekalutan yang penuh fitnah jangan lah seperti anak unta yang belum mempuyai punggung yang dapat dinaiki dan susu yang dapat diperah “.

Menurut hemat saya, komunitas kecil ini tidak perlu terlibat secara serius dalam kancah politik praktis dan menaruh harapan secara berlebihan pada siapapun yang akan menakhodai negeri ini. Yang terpenting bagi mereka adalah apa yang bisa mereka lakukan demi kebaikan negeri ini meski dalam ruang lingkup yang terbatas. Banyak ladang kebaikan yang dapat digarap untuk memajukan negeri ini sekaligus menguntungkan mereka; kebaikan yang bisa menjadi benteng mereka dari pihak-pihak yang selalu meniupkan kebencian dan permusuhan sektarian, seperti pendidikan, layanan sosial, bantuan hukum, ekonomi kerakyatan dan lain sebagainya. Berkiprah dalam ladang-ladang seperti ini dalam jangka panjang akan membantu negeri ini dari keterpurukan moral, politik dan ekonomi. Melalui pendidikan yang benar dan baik, rakyat menjadi cerdas dan bersikap rasional sehingga dengan sendirinya dan lambat laun akan muncul pemimpin harapan bangsa.

Wallahu a’lam

(Ikmal-Online/STI)

0 komentar: