Oleh: Dr. Kholid Al-Walid, M.Ag.
Di pertengahan 2015 ini di antara hal menarik untuk kita amati adalah Muktamar Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tiga ormas yang cukup memiliki pengaruh di Indonesia ini menggelar hajatnya. Sebagai Ormas Islam yang paling berpengaruh di Indonesia, NU memiliki peran yang sangat mendasar dalam beragam hal di Indonesia, baik itu kenegaraan maupun ke-ummatan. Apa yang terjadi di NU jelas memberikan makna signifikan bagi bangsa Indonesia.Tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia” yang diusung pada Muktamar NU ke-33 yang berlangsung dari tanggal 1-5 Agustus 2015 lalu, memberikan pesan mendalam atas eksistensi NU sebagai warna Islam yang telah menjadi bingkai bagi Islam di Indonesia.
Tema tersebut di usung bukan sekedar tanpa maksud, sekalipun di NU sendiri mendapatkan tentangan, akan tetapi bahwa NU menyadari betul ancaman yang serius terhadap Ummat Islam di Indonesia dan eksistensi NU itu sendiri. Progresifnya gerakan Islam Radikal Salafi-Wahabi merupakan ancaman yang serius bagi NU. NU sendiri berdiri awalnya sebagai respon atas gerakan Wahabi yang dikembangkan awalnya oleh Muhammadiyah, dan di era ini kita menyaksikan gerakan yang begitu agresif dari kalangan Salafi Wahabi masuk jauh di jantung-jantung masyarakat NU dan menyerang langsung pada tradisi-tradisi keislaman yang biasa melingkupi kehidupan warga NU, seperti ziarah, tahlil, sekaten, syuroan, maulidan dan sebagainya.
Disamping hal tersebut yang juga sangat disayangkan banyaknya pesantren dan Kyai NU yang tidak menyadari keadaan ini bahkan memberikan keleluasaan bagi berkembanganya dakwah kalangan radikal entah karena kurangnya pengetahuan keadaan global Ummat Islam atau hutang budi pada Kerajaan Arab Saudi yang kerap memberikan bantuan bagi perkembangan dan pembangunan pesantren-pesantren yang dimiliki Kyai NU. Banyaknya Masjid-masjid NU yang beralih tangan kepada kalangan Salafi menjadi bukti mendasar betapa gerakan ini mampu masuk jauh ke masyarakat NU.
Tema yang diusung pada Muktamar untuk menegaskan kembali warna NU di Indonesia dan upaya menolak infiltrasi dan corak ke-Islaman yang dikembangkan oleh kalanngan Salafi Wahabi yang cenderung ke-Araban’ dan penolakan pada tradisi yang dikembangkan NU. Sayangnya Tema ini mendapat penolakan juga pada sebagian Kyai dan kalangan di NU sekalipun penolakan tersebut kemudian dapat ditenangkan dengan penjelasan oleh para Pengurus PBNU, namun diluar itu usaha untuk memecah NU kental terasa.Isu utama yang digunakan oleh kelompok yang ingin memecah belah NU adalah dengan menuduh bahwa Kyai Said Aqil Siradj sebagai Syiah dan antek Iran dan penyusupan JIL (Jaringan Islam Liberal) di tubuh NU.
Kalangan radikal di tubuh NU yang berusaha menjegal Kyai Said Aqil Siradj menyuarakan bahwa Kyai Said Aqil Siradj adalah penganut Syiah dan pembela Syiah di Indonesia. Kelompok ini berlindung di tubuh NU Jawa Timur yang memang dari awal berseberangan dengan Kyai Aqil Siradj, mengingat Kyai Said Aqil Siradj bukanlah trah dari keturunan dan keluarga Kyai Wahid Hasyim pendiri NU. Beberapa tokoh awal yang dimunculkan sebagai kandidat seperti. KH. Sa’ad Ali mantan pimpinan BIN, Kyai Sholahuddin Wahid (Gus Sholah; adik kandung Kyai Abdurrahman wahid) diharapkan mampu mengimbangi Kyai Said Aqil Siradj, sehingga umumnya mereka yang radikal berlindung dibalik figur-figur tersebut. Di tengah proses Muktamar Gus Sholah mengundurkan diri setelah melihat pengaruh Kyai Said Aqil Siradj jauh lebih besar dan juga tuduhan yang dilontarkan kubu Gus Sholah (Setelah Muktamar Gus Sholah dan kelompoknya menolak keabsahan hasil Muktamar Jombang) bahwa kubu Kyai Said Aqil Siradj telah melakukan kecurangan.
KH.Hasyim Muzadi mantan Ketua NU, juga melakukan upaya-upaya penentangan terhadap kubu Kyai Aqil Siradj. Tidak jelas mengapa KH. Hasyim Muzadi melakukan penentangan terhadap KH Aqil Siradj, namun kemungkinannya hal tersebut akibat perbedaan pandangan setelah naiknya KH.Aqil Siradj sebagai ketua PBNU menggantikan KH. Hasyim Muzadi. Hasil pemilihan Muktamar yang kembali menghendaki KH. Aqil Siradj menakhodai NU dengan suara yang cukup dominan memberikan gambaran peta konstalasi NU yang menginginkan NU yang tetap dalam Khittahnya. KH. Aqil Siradj masih dianggap sebagai figur yang mampu memimpin NU untuk memainkan peran pentingnya di dalam percaturan politik kenegaraan dan memimpin ummat NU yang sekarang menghadapi tantangan yang cukup signifikan.
Dalam proses pemilihan Rais al-Amm, Dewan Formatur (Ahl Hal wa al-Aqd) menunjuk KH. Mustofa Bishri (Gus Mus) sebagai figur yang dianggap sebagai pemersatu di dalam tubuh NU (Di Muktamar yang memanas Gus Mus berhasil meredam kembali dan mengembalikan pada kondisi yang kondusif). Konflik yang hampir saja membuat perpecahan di tubuh NU siapa yang layak untuk menjabat Rais Aam Syuriah NU, namun sayangnya beliau menolak sehingga kemudian pilihan jatuh pada KH. Ma’ruf Amin, Kyai NU yang berasal dari Banten ini memang sudah dikenal kiprahnya secara Nasional terutama sebagai ketua MUI dan Penasehat Presiden SBY. Keterpilihan KH. Ma’ruf Amin membuat NU ke depan menjadi berbeda, mengingat perbedaan pandangan yang mendasar antara KH. Ma’ruf Amin dengan KH. Said Aqil Siradj.
KH.Ma’ruf Amin dikenal dekat dengan Arab Saudi dan kelompok-kelompok Salafi Wahabi. Dengan terpilihnya KH. Ma’ruf Amin sebagai Rais Aam seakan menjadi angin segar bagi kelompok-kelompok keras di NU yang pada saat yang sama merupakan oposan KH. Said Aqil Siradj. Pekerjaan rumah yang cukup besar dihadapi NU kedepan, adalah menghadapi tantangan dari gerakan-gerakan radikal Trans-Nasional yang sekarang begitu marak di Indonesia. Gerakan-gerakan ini umumnya memiliki Ideologi Wahabi Salafi yang paling bertentangan dengan doktrin dan tradisi Ahlussunnah wal Jamaah yang dikembangkan NU. Sayangnya di tubuh NU sendiri kelompok-kelompok ini mampu menyelusup dan ikut mewarnai bahkan berhasil menimbulkan konflik di antara tokoh-tokoh NU sendiri. Upaya membenturkan antara NU dan Syiah di Indonesia terlihat cukup jelas terdengar. Beberapa tokoh dan Ulama menyerukan sikap tegas NU terhadap Syiah, bahkan beberapa tokoh penggagas Fatwa Sesatnya Syiah yang dikeluarkan MUI Jatim adalah tokoh-tokoh NU. Semangat inklusif dan pluralis yang begitu kental ketika Gus Dur memimpin NU, belakangan menjadi kabur.
Disamping itu NU ke depan memiliki tantangan berat dalam ikut menjaga keutuhan NKRI, mengingat beragamnya parpol dan ancaman disintegrasi yang kerap muncul. Pada kontek ini NU diharapkan mampu menjadi elemen perekat bangsa sehingga apa yang terjadi pada sebagian besar negeri Islam di Timur Tengah tidak terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia tentu berharap banyak pada kiprah NU dihadapan ancaman-ancaman tersebut.
Muktamar Muhammadiyah kali ini mengemban tema ”Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan” tema ini diangkat sebagai upaya untuk menunjukkan rasa nasionalis dan kebangsaan Muhammadiyah. Pengurus Muhammadiyah menyadari ancaman yang serius terhadap Islam dengan munculnya gerakan radikal seperti ISIS. Karena itu Muhammadiyah dalam Mukatamar ini ingin menunjukkan bahwa Muhamadiyah menolak gerakan-gerakan yang dianggap merusak Islam. Rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan Muhammadiyah, berulangkali menyatakan penolakannya terhadap ISIS dan mengajak ummat, pemerintah untuk mewaspadai gerakan Islam yang berafiliasi pada ISIS.
Muktamar Muhamadiyah ke-47 berlangsung di Makassar dan dihadiri 5000 orang tidak sepanas Muktamar NU. Ada upaya-upaya dari kalangan Salafi Wahabi di Muhammadiyah pada Muktamar ini mencoba untuk melakukan infiltrasi. Dengan dipimpin oleh Yunahar Ilyas gerbong ini masuk dan berusaha untuk memenangkan proses pemilihan Ketua Umum Muhamadiyah. Ada 13 calon di Dewan Formatur dan pemilihan dari Dewan Formatur menetapkan Chaidar Nashir sebagai Ketua Umum dan Abdul Mu’ti sebagai Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Muhamadiyyah periode 2015-2020.
Chaidar Nashir adalah figur yang cukup dikenal di kalangan Muhammadiyah, sebagai akademisi Chaidar Nashir biasa berbicara terbuka. Pandangan-pandangannya yang moderat mendapat dukungan besar dikalangan Muhammadiyah. Awal setelah dirinya terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah dengan terbuka Chaidar menyatakan bahwa Syiah adalah bagian Islam. Sebuah pernyataan yang cukup memukul kalangan-kalangan radikal di Muhammadiyah. Namun demikian kehadiran Yunahar Ilyas di jajaran Ketua Harian Muhammadiyah merupakan signal eksisnya kelompok-kelompok Wahabi Salafi di Muhammadiyah. Pasangan Chaidar Nashir dan Abdul Mu’ti sebenarnya cukup memberikan harapan bagi perkembangan Muhammadiyah ke depan sebagai sebuah organisasi Islam Pembaharu. Muhammadiyyah tentu diharapkan menjadi organisasi yang dapat memberikan pencerahan bagi ummat Islam Indonesia dengan pemikiran-pemikiran Islam yang baru dan tercerahkan bukan Islam yang rigit dan kaku seperti Islam yang dikembangkan Wahabi Salafi. Tantangan Muhammadiyah ke depan adalah bagaimana melepaskan ummat Islam Indonesia dari kebodohan, khususnya dalam pemahaman keagamaan sehingga terjebak pada sikap-sikap radikal dan intoleran. Di satu sisi Muhammadiyyah sebagai Gerakan Pembaharu diharapkan tampil untuk memimpin gerakan Moderasi ini (Islam al-Washatiyyah) tapi di sisi lain kedekatan Muhammadiyah dengan doktrin Wahabi menjadi ladang subur bagi kelompok-kelompok radikal Salafi Wahabi untuk berlindung. Kita tentu masih berharap banyak pada Muhammadiyah untuk memimpin pembaharuan dan pencerahan bagi Ummat Islam Indonesia.
Penutup dari rembukan besar Ummat Islam di tahun ini adalah Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Surabaya tanggal 24 sampai 27 Agustus 2015 di Hotel Garden Palace. Tema yang diusung dalam Munas MUI ini cukup menarik yaitu, ‘Islam Wasathiyah untuk Indonesia dan Dunia yang Berkeadilan dan Berkeadaban’. Dr. H. Noor Ahmad selaku sekretaris panitia, bahwa tema kali ini memiliki makna yang cukup esensial terkait komitmen MUI sendiri untuk mengembangkan Islam Wasathi di Indonesia. Apa itu Islam Wasathi? Islam Wasathi adalah Islam yang berkeadilan, moderat, seimbang, berkemajuan, toleran, dan berkomitmen kebangsaan.
Sebuah tema yang tentu menjadi harapan Ummat Islam di Indonesia. MUI selama ini diharapkan menjadi payung besar bagi Ummat Islam dengan diangkatnya tema tersebut, MUI dapat berperan mendasar sebagai ormas yang menghimpun para Ulama Indonesia untuk menghadapi beragam tantangan Ummat khususnya elemen-elemen radikal yang akan memecah belah Ummat Islam. Sayang tema yang baik ini tidak terlihat pada sikap Pengurus MUI, terbukti penolakan Pengurus MUI terhadap Organisasi Ahlul Bait Indonesia (ABI) dan Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) sebagai ormas Islam yang diakui keabsahannya oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk ikut sebagai peserta Munas.
Pemilihan Surabaya sebagai tuan rumah dalam Munas MUI bukan tanpa alasan. Alasan mendasar bahwa MUI Jawa Timur bersedia menanggung seluruh pembiayaan penyelenggaraan Munas termasuk pembiayaan transportasi dan akomodasi peserta Munas. Namun dibalik alasan tersebut ada alasan lain bahwa MUI Jatim membawa agenda khusus yaitu upaya menggoalkan Fatwa Sesat Syiah yang sudah dikeluarkan MUI Jatim. Alasan kedua ini menjadi penting bagi MUI Jatim mengingat penentangan MUI Jatim terhadap Syiah begitu keras dan dorongan untuk menjadikan fatwa tersebut sebagai fatwa Nasional menjadi agenda penting bagi MUI Jatim untuk menyelenggarakan Munas di Surabaya agar dapat mendominasi Munas dan mengarahkan sesuai keinginan.
Agenda ini sangat benderang untuk ditangkap disamping penolakan terhadap perwakilan Ormas Syiah untuk hadir, juga dari awal sambutannya Abdus Shomad Bukhari sebagai Ketua Panitia Munas dan Ketua MUI Jatim, sudah menyatakan maksudnya bahkan menyamakan antara Syiah dan PKI. Abdusshomad pada sambutannya menyatakan “Munas ini harus membahas Syiah dan memfatwakan kesesatan Syiah. Syiah di Indonesia sekarang ini kecil tapi kalau sudah besar mereka akan berbuat makar dan mengganti NKRI. Kenapa di Timur Tengah tidak aman padahal mereka Muslim, ya karena adanya Syiah. Lihat seperti di Iraq sekarang ini.”
Pada beberapa kesempatan di Munas MUI, baik Abdusshomad maupun beberapa tokoh MUI lainnya seperti Tengku Zulkarnain menyatakan kebenciannya terhadap Syiah dan mendesak peserta Munas untuk menghasilkan rekomendasi penentangan dan penyesatan terhadap Syiah. Menariknya bahwa radikalisme sebagai ancaman utama bagi ummat Islam Indonesia dan NKRI tidak menjadi agenda utama. Taujihat terhadap tema yang diusung seharusnya menjadi pedoman, akan tetapi Taujihat tersebut diabaikan begitu saja.
Dalam Sidang komisi ada dua komisi krusial yaitu Komisi Fatwa dan Komisi Rekomendasi, seakan sudah ada skenario yang diatur, problem Syiah muncul dan mendapat sambutan antusias dari kalangan anti Syiah dan kelompok wahabi Salafi. Pada komisi fatwa pada akhirnya ditetapkan untuk membuat team pengkaji Syiah. Butir Rekomendasi dari Komisi Fatwa sebagai berikut : “b. Terkait pembahasan mengenai Syiah: i. Komisi C Merekomendasikan Pengurus untuk melakukan pengkajian secara mendalam tentang Syiah di Indonesia, ajaran dan prakteknya.” Sedangkan pada Komisi Rekomendasi, Abdusshomad selaku pimpinan Sidang sejak awal tidak memberikan ruang untuk membahas draft rekomendasi yang sudah disiapkan Pengurus MUI Pusat dan langsung foKus untuk merekomendasikan Fatwa Sesatnya Syiah. Sehingga pada point ke 13 Rekomedasi termaktub sebagai berikut :
13. Mengamanatkan kepada pengurus MUI Pusat agar konsisten dalam berpegang dan mengimplementasikan Pedoman Identifikasi Aliran Sesat (Keputusan Rakernas MUI 2007), dan mengeluarkan fatwa kesesatan Syiah Rafidhah dan Ghulat. Hal ini sesuai dengan kesepakatan Kongres Umat Islam Indonesia ke VI yang dirumuskan dalam Risalah Yogyakarta bahwa Umat Islam Indonesia adalah berfaham Ahlussunnah wal Jama’ah. Oleh karena itu, harus dicegah masuknya faham-faham yang bertentang dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, terutama faham Syi’ah Rafidhah dan Ghulat karena hal tersebut dapat mengancam stabilitas dan keutuhan NKRI.
Hal ini bertentangan sekali dengan tema yang diusung pada Munas MUI ke-IX ini, sama sekali semangat Washatiyyah yang dikumandangkan tidak terlihat pada Munas sendiri. Keterpilihan Ma’ruf Amin sebagai Ketua Umum MUI periode 2015-2020 dikenal sebagai figur yang sangat dekat dengan kelompok-kelompok garis keras. Jika kita melihat komposisi Pengurus Harian di jajaran MUI, kita mendapati nama-nama Yunahar Ilyas, Abdusshomad Bukhori, Tengku Zulkarnain, Amirsyah Tambunan, Zaitun Rasmin adalah nama-nama yang selama ini dikenal sebagai pengusung gerakan Anti Syiah dan sebagian merupakan penganut Wahabi Salafi. Jika melihat komposisi tersebut maka ke depan mengharapkan MUI mampu menjadi payung dan rumah besar bagi seluruh ummat Islam adalah harapan yang Jauh Panggang dari Api. Dan bukan tidak mungkin jika KH. Ma’ruf Amin tidak mampu mengendalikan Pengurus Harian yang berada di bawah kepemimpinannya, maka MUI justru berkembang menjadi bagian Masalah Ummat Islam. Kita semua tentu tidak berharap demikian namun jika melihat apa yang sudah terjadi dengan komposisi Pengurus Harian yang demikian sangat mungkin kekhawatiran di atas terjadi.
Ancaman atau Peluang ?
Jika kita mengamati apa yang terjadi pada tiga perhelatan yang digelar oleh tiga Ormas Islam besar di Indonesia, kita menyaksikan bagaimana sepak terjang dari gerakan Radikal dan Intoleran cukup benderang. Upaya yang dilakukan oleh kelompok ini cukup memberikan pengaruh mendasar pada tiga ormas Islam tersebut. Hal ini tentu memberikan pesan kuat bahwa kedepan Ummat Islam khususnya Masyarakat Syiah di Indonesia akan menghadapi keadaan yang lebih sulit dari sebelumnya untuk dapat diterima kehadirannya sebagai bagian ummat Islam Indonesia. Upaya-upaya untuk menegasikan eksistensi Syiah di Indonesia akan semakin dahsyat dan kita akan melihat jalinan antara legitimasi fatwa dan pandangan tokoh-tokoh penting dari tiga Ormas tersebut dengan gerakan yang secara langsung berupaya untuk menegasikan Syiah di Indonesia. Kalangan Wahabi Salafi da Intoleran akan merasa memiliki legitimasi untuk bersikap lebih keras terhadap Syiah dan Ummat Syiah serta kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh Ummat Syiah di Indonesia. Jelas ini sebuah ancaman bagi eksistensi Syiah di Indonesia.
Jika kita berhenti hanya pada tingkat tersebut, tentu menimbulkan kekhawatiran bagi Syiah di Indonesia. Namun pertanyaan mendasar; Bukankah pengikut Syiah sudah terbiasa dengan kondisi ini bahkan yang lebih sulit?, Bukankah Syiah hidup dan berjuang selama ini karena pengorbanan-pengorbanan para Imam Suci Ahlul Bait yang mendapatkan perlakuan buruk sepanjang sejarah? Namun realitasnya; Berhasilkah semua usaha itu memadamkan api Syiah? Justru sebaliknya. Hal-hal tersebut menambah gelora pengikut Syiah untuk terus berjuang dan mengembangkan diri. Dalam kontek ini kita melihat hal tersebut sebagai peluang untuk semakin mengenalkan ke masyarakat muslim Indonesia atas eksistensi Syiah di Indonesia mengenalkan kemuliaan-kemuliaan ajaran Ahlul Bait. Tentu saja diperlukan kecerdikan untuk mengatur strategi bagaimana menjadikan ancaman ini sebagai peluang yang perlu dimanfaatkan maksimal.Ummat Syiah dituntut untuk lebih kreatif dalam memainkan peranannya sebagai bagian aktif dari masyarakat Indonesia. Jika kita membaca kembali sejarah kehadiran NU yang lahir dari sebuah ancaman yang dilakukan oleh gerakan Pembaharuan Wahabi yang begitu bergelora pada saat itu untuk memberantas praktik-praktik yang dianggap TBC oleh kalangan wahabi, akan tetapi KH. Wahid Hasyim justru menjadikan ancaman tersebut sebagai peluang yang pada akhirnya kita menyaksikan kehadiran NU yang begitu integral bagi ummat Islam Indonesia. Demikianlah keadaan Ummat Syiah saat ini. Masa yang kita hadapi saat ini adalah masa yang paling luar biasa strategis untuk mewarnai masa depan Syiah di Indonesia. Bukankah Ummat Syiah selalu berada di antara dua hal “Syahadah dan Intizhar”.
(Ikmal-Online/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar