Kendala dan Strategi Dakwah Perempuan Ahlul Bait
Oleh: Euis Daryati, MA ( Alumni Almustafa International University )
Prolog
Sejak awal, perempuan memiliki peranan yang disignifkan dalam dakwah dan perkembangan agama Islam. Mulai dari pengorbanan Sumayyah, syahidah pertama, dukungan moril dan materil tak terhingga Khadijah, dan tokoh-tokoh perempuan lainnya dalam berbagai bidang.
Pada dataran khusus, para perempuan Ahlul Bait, seperti Fathimah az-Zahro, Zainab al-Kubro, Sukainah dan perempuan lainnya dari sahabat para imam a.s., juga memiliki andil besar dalam dakwah dan perkembangan Islam.
Sayangnya, peranan perempuan dalam dakwah mengalami penurunan. Karena berbagai faktor, kebangkitan Islam yang menggelegarkan dunia tidak dibarengi dengan kuantitas personil muslimah yang berkualitas.
Padahal, bila merujuk al-Quran, kewajiban berdakwah dibebankan pada laki-laki dan perempuan, “Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan…mereka menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari yang munkar, melaksanakan solat, menunaikan zakat, dan taat kepada Alloh dan Rasul-Nya.” [QS at-Taubah:71]
Disamping itu, al-Quran telah mensinyalir beberapa perempuan yang memiliki andil besar dalam keberhasilan dakwah para Nabi sabelumnya, seperti Sarah dan Hajar pendukung keberhasilan dakwah Nabi Ibrahim a.s., Asyiah binti Muzahim, istri Fir’aun pembela risalah Musa a.s. hingga syahid, dan Alloh telah memploklamirkannya sebagai ‘figur lintas gender’, idol bagi laki-laki dan perempuan yang beriman.’. [QS at-Tahrim:11]
Karena itu, dalam makalah ini kita akan berusaha menganalisa kendala-kendala dan strategi-strategi dakwah perempuan Ahlul Bait dan para pengikutnya, dengan membawakan beberapa contoh figur dari mereka.
Definisi Konseptual dan Konsep Umum Dakwah
Secara literal, kata dakwah berasal dari ‘da’a - yad’u’ tsulasi mujarrad yang artinya seruan atau ajakan. Dalam al-Quran, kata ini digunakan untuk menyeru kepada kebaikan, juga pada keburukan, “Dan wahai kaumku! Bagaimanakah ini, aku menyeru kalian pada keselamatan, tetapi kalian menyeruku ke neraka?” [QS al-Mukmin : 40]
Namun, dalam beberapa ayat lainnya, kata dakwah dikhususkan untuk seruan pada kebaikan, “Dan hendaklah di antara kalian ada segolongan orang yang menyeru pada kebaikan, menyuruh pada kebaikan dan mencegah dari yang munkar…”[QS al-Imron:104]
Selain kata dakwah, juga digunakan kata tablig yang terbentuk tsulasi majid, bab taf’il. Secara bahasa bermakna menyampaikan.
Menurut Berniz, tablig adalah aktifitas yang terus menerus demi menciptakan atau mempengaruhi publik. Sedang Lasul mendefinisikan tablig sebagai usaha untuk mengubah paradigma orang lain dan dilakukan secara terencana. [Kode Etik Mubalig:10]
Dengan demikian, dakwah atau tablig ialah upaya terencana untuk mengubah paradigma orang lain melalui penyampaian pesan, dengan tujuan agar tercapai perubahan opini, sikap atau perilaku (to change the opinion, attitude and behavior) pada audiens.
Pesan-pesan dakwah yang disampaikan ialah pesan yang bersifat informatif, persuasif dan instruksif, hingga timbul efek kognitif, efek afektif dan efek konatif pada audiens.
Pesan informatif ialah pesan yang sifatnya memberikan informasi. Pesan persuasif, ialah pesan yang sifatnya menggugah, sedangkan pesan instruksif ialah pesan yang sifatnya berupa perintah atau larangan.
Efek kognitif berkaitan dengan penalaran dan pemikiran seperti yang tidak tahu menjadi tahu, yang tidak jelas menjadi jelas. Efek afektif berkaitan dengan perasaan, seperti setelah mendengar pesan dakwah menjadi sedih, marah, senang atau lainnya. Sedangkan efek konatif atau behavior berkaitan dengan niat, tekad dan perilaku. Misal, seorang suami yang kasar terhadap istrinya, setelah mendengar pesan dakwah bertekad untuk berakhlak baik pada istrinya. Efek konatif muncul setelah efek kognitif dan efek afektif.
Strategi Dakwah
Strategi secara bahasa berasal bahasa Yunani yakni dari kata strategia yang memiliki kesamaan dengan kalimat ‘the art of general’ yang artinya seni seorang panglima. Secara umum, strategi memiliki makna cara untuk mencapai tujuan dengan menggunakan kekuatan dan sumber daya yang ada (Sumarsono, 2001: 139). Sedangkan menurut Syahidin (2003: 168) memberikan arti strategi sebagai usaha untuk merumuskan dan menetapkan berbagai pilihan kebijakan, aksi dan solusi yang paling tepat dan relevan.
Dari definisi tersebut, terdapat dua unsur penting dalam strategi; planning dan management untuk mencapai tujuan.
Strategi dakwah ialah planning dan management dalam dakwah sehingga tepat sasaran. Dalam hal ini, seorang da’i hendaknya berpikir secara konseptual dan bersikap secara sistematik. Untuk menentukkan strategi dakwah, diperlukan pengetahuan tentang kearifan dan budaya lokal, tingkat pendidikan, sarana, termasuk kendala-kendala yang dihadapi. Atau, minim memiliki pengetahuan sosiologi dan psikologi. Jika tidak demikian, maka tidak akan timbul efek dakwah yang diharapkan, baik efek kognitif, afektif maupun konatif. Malah mungkin sebaliknya, akan muncul ‘cultural gap’.
Dalam Jumat ayat 2 dijelaskan tentang strategi dakwah yang sesuai dengan perkembangan zaman; Strategi komunikasi (yatluu aayatihii) adalah strategi penyampaian pesan-pesan. Di sinilah proses dakwah perlu mempertimbangkan dimensi-dimensi sosiologi. Agar komunikasi yang didahuluinya dapat berimplikasi pada peningkatan kesadaran iman.
Strategi pembentukkan karakter suci dan bersih [yuzakkihim] adalah membentuk karakter manusia sesuai karakter Islam.
Strategi pendidikan (Yu’alimu Humul Kitaaba Wa Hikmah). Adalah strategi pembebasan manusia dari berbagai penjara kebodohan. Karena pendidikan adalah proses pencerahan untuk menghindari keterjebakan hidup dalam pola jahiliyah yang sangat tidak menguntungkan, khususnya bagi masa depan umat. [Miftah Faridh, 2001: 48]
Al-Quran pun telah menjelaskan metodologi dakwah; metodologi rasionalitas (bilhikmah), metodologi retorika (mau’idhoh hasanah), dan metodologi debat argumentatif (jidal ahsan). [QS an-Nahl:125] Penggabungan antara strategi dan metodologi dakwah secara tepat akan mendapatkan hasil yang maksimal dan tepat sasaran dalam dakwah.
Kendala-Kendala Dakwah Perempuan
Menurut al-Quran, dakwah merupakan kewajiban laki-laki dan perempuan, dan juga perempuan memiliki peran yang sangat urgen dalam perkembangan Islam dan Ahlul-Bait, tapi kenapa da’i perempuan secara kuantitas dan kualitas sangat minim? Bila kita analisa, maka terdapat beberapa faktor yang menyebabkan minimnya SDM dai perempuan;
Faktor internal
- Minimnya rasa percaya diri perempuan untuk tampil menjadi seorang da’iyah.
Minimnya motivasi perempuan untuk memfasilitasi dirinya dengan ilmu-ilmu yang diperlukan dakwah.
- Rendahnya semangat juang dalam berdakwah.
Faktor ekternal
Paradigma negatif terhadap perempuan yang berkembang di masyarakat menjadikan perempuan itu sendiri kurang percaya diri untuk tampil, dan juga masyarakat pun meragukan kemampuan perempuan. Paradigma negatif itu dapat bersumber pada:
- Budaya atau kultur
Budaya yang dianut masyarakat Indonesia dan beberapa Negara Muslim lainnya ialah budaya patriarki. Yaitu sistem tata keluarga yang mementingkan garis keturunan bapak. Pembagian kerja berdasarkan perbedaan gender. Bapak sebagai kepala keluarga, memiliki peran di publik, sementara aktifitas perempuan dibatasi pada ranah domestik, bertanggungjawab di rumah untuk mengepel, memasak dan melayani suami semata, ‘sumur, dapur dan kasur’ merupakan ruang geraknya.
Perempuan dianggap tabu, dan bahkan melanggar kesusilaan bila belajar tinggi-tinggi, seperti yang pernah terjadi pada masa Nyai Hj. Ahmad Dahlan [1872-1946]. Beliau berhasil merubah kultur kala itu yang menganggap paham ‘suworgo nunut neroko katut’.
Hal ini pun terjadi pada perempuan pengikut Ahlul Bait. Di Iran, Mufassirah dan Mujtahidah Amin berhasil mencapai puncak intelektualitas dan spiritualitas pada saat masyarakat menganggap tabu perempuan menuntut ilmu. Dan berusaha merubah paradigma-paradigma salah tentang perempuan. Begitu juga di Irak, muncul Bintul Huda, aktifis dan intelektual perempuan yang hidup pada masa kondisi perempuan tidak jauh beda dengan Indonesia.
Kultur seperti inilah yang menghambat perempuan untuk berdakwah, karena untuk berdakwah memerlukan berbagai ilmu dan kecakapan, sementara belajar bagi perempuan dianggap tabu. Yang pada akhirnya mengakibatkan minimnya ulama dan perempuan yang menguasai bidang agama.
- Teks-teks agama yang secara zahir telah mendeskriditkan perempuan
Teks-teks agama yang secara kasat mata telah mendeskriditkan perempuan, merupakan salah satu faktor penyebab minimnya personil da’iyah yang berkualitas, dan ulama perempuan yang mumpuni. Faktor ini, di kalangan internal perempuan itu sendiri menyebabkan kurang percaya diri, atau pihak luar pun meragukan kemampuan perempuan.
Teks-teks tersebut telah menciptakan paradigma negatif tentang perempuan. Dimana sebagian dari sumbernya masih harus dianalisa kembali, karena sebagian sumbernya berdasarkan hadis-hadis Isroiliyat, yaitu teks-teks agama yang berasal dari ajaran Yahudi, Nasrani, atau Majusi yang telah masuk ke dalam literatul Islam, seperti;
Tentang penciptaan perempuan
Dalam al-Quran tidak ada satu ayat pun yang secara detail menjelaskan tentang proses penciptaan perempuan. Perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, dimana karakter tulang rusuk ialah bengkok, dan jika diluruskan akan patah. Seperti itulah karakter perempuan dan imej di masyarakat.
Dalam Tafsir Thobari karya Muhamad bin Jarir ath-Thobari, riwayat-riwayat dalam tafsirnya masih perlu dipilah-pilah, terdapat riwayat yang menjelaskan tentang proses penciptaan Hawa. Isi teks riwayat tersebut persis seperti yang terdapat dalam Perjanjian Lama, Kejadian ayat pasal 2 ayat 21-22.
Ternyata, hadis tersebut diriwayatkan oleh Ka’bul Ahbar, tokoh Yahudi yang masuk pada masa Umar bin Khatab. Ia adalah salah satu dari tokoh-tokoh Isroiliyat yang telah mamasukkan teks-teks agama mereka pada literatul Islam.
Kita tidak mempermasalahkan masalah penciptaan perempuan yang tercipta dari tulang rusuk laki-laki, namun perspektif negatif yang timbul dari tafsir semacam itu. Karena banyak mufasir menafsirkan kosa kata ‘min’ dalam ayat ‘wa khalaqa minha zaujaha…’ ‘bagian’, yang artinya bagian dari laki-laki yaitu dari tulang rusuknya.
Ada angin segar dari penafsiran ayat tersebut. Allamah Thabatabai dalam tafsir Mizan menyatakan bahwa dari zahir ayat tidak dapat disimpulkan perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki. Beliau menafsirkan ‘min’ dalam ayat tentang penciptaan perempuan dengan ‘min jinsiyah’. Yang artinya Alloh telah menciptakan perempuan dari jenis dan esensi yang sama dengan Adam a.s. yaitu manusia. Hal ini pun, dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan dari Imam Baqir a.s., seorang sahabat telah bertanya kepada beliau apakah benar perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki? Beliau menjawab, “Bohong apakah Alloh tidak mampu menciptakan Hawa dari tanah? Alloh menciptakan Adam dari tanah, dan dari tanah itu pula Alloh menciptakan Hawa.”[Tafsir Nur ats-Tsaqalain dalam tafsir surat an-Nisa ayat 1]
Perempuan penyebab terusirnya Adam dari surga
Citra perempuan sebagai penggoda, hal ini kembali kepada perempuan pertama, yaitu Hawa. Hawa adalah perempuan yang telah menggoda Adam a.s. untuk memakan ‘buah terlarang’ hingga akhirnya Adam a.s. diusir dari surga.
Dalam al-Qur’an, sejak awal Setan telah membisikkan kepada Adam a.s. dan Hawa untuk memakan ‘buah terlarang’. Karena dalam ayat tersebut menggunakan ‘dhamir mutsana’, kata ganti untuk dua orang. Dan, Adam a.s. pun memakan buah tersebut hingga akhirnya terusir dari surga, bukan karena digoda Hawa. Bahkan, Adam a.s. versi al-Qur’an tidak pernah menyalahkan dan menyatakan bahwa Hawa penyebab ia ikut makan buah terlarang, “Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya…dan syaitan berkata, “Tuhan kamu tidak melarang kalian dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kalian berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal”… Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya....Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka, “Bukankah Aku telah melarang kalian berdua dari pohon itu…?”(QS al-A’raf:19-22)
Dalam ayat itu, Allah telah menegur keduanya yaitu Adam a.s. dan Hawa, bukan Hawa saja.
Bahkan, dalam ayat lain secara tegas menyatakan bahwa Setan menggoda Adam a.s. terlebih dahulu, karena dalam ayat menggunakan ‘dhamir mufrad mudzakar’, kata ganti untuk laki-laki tunggal
Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam a.s.), dengan berkata: “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?“. [QS Thoha:120-121]
Ini berbeda dengan Alkitab, ular (Setan) pertama menggoda Hawa, kemudian Hawa membujuk Nabi Adam a.s. untuk memakan buah terlarang. Akhirnya Adam a.s. ditegur oleh Tuhan karena telah menuruti ucapan istrinya. Dalam pembelaannya, Nabi Adam a.s. dengan tegas telah menyalahkan Hawa yang telah menggodanya untuk ikut makan buah terlarang. Karena itu, Tuhan pun hanya menyalahkan Hawa saja,
“Ular itu berkata kepada perempuan…: “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam tanaman ini jangan kamu makan buahnya, bukan? Lalu sahut perempuan itu…“..tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: “Jangan kamu makan atau raba buah itu, nanti kamu mati. Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi …waktu kamu memakannya …kamu akan menjadi seperti Allah, tahu yang baik dan yang jahat. Perempuan itu melihat, buah pohon itu baik untuk dimakan…Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikan kepada suaminya…dan suaminya pun memakannya. Maka terbukalah mata mereka berdua dan tahu bahwa mereka telanjang…Firmannya: “Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon yang Kularang engkau makan itu?” [Kej. 3:1-11].
Dengan tegas Nabi Adam a.s. pun telah menyalahkan Hawa, “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.”[Kej. 3:12] Mendengar jawaban Nabi Adam as, lantas Tuhan pun menegur Hawa, “Apakah yang telah kau perbuat ini?”[Kej. 3:13]
Karena itu, citra Injil tentang Hawa telah menghasilkan pengaruh luar biasa negatif terhadap perempuan di seluruh tradisi Yahudi-Kristen. Semua perempuan diyakini telah mewarisi dari ibu-ibu mereka, kesalahan dan kutukannya.
Dalam tradisi Kristen, dosa Hawa begitu Fundamental bagi keyakinan Kristen karena latar belakang misi Yesus berakar pada ketidakpatuhan Hawa terhadap Tuhan. Hawa telah berdosa dan kemudian menggoda Adam mengikuti hal yang sama. Akibatnya, mereka diusir dari surga. Mereka telah mewariskan dosa kepada seluruh manusia hingga tiap manusia lahir dalam keadaan berdosa. Untuk mensucikan manusia dari ‘dosa asal/warisan’, Tuhan harus mengorbankan Yesus yang dianggap Anak Tuhan.
Santa Agustine, menyatakan, “Apa perbedaan, apakah yang berada dalam diri seorang istri atau ibu, ia tetaplah Hawa sang penggoda yang harus kita waspadai pada diri setiap perempuan…” [Islam and Feminism: Theory, Modelling and Aplication-Membela Perempuan; Menakar Feminisme dengan Nalar Agama :55]
Teks-teks agama lainnya seperti larangan bermusyawarah dengan perempuan, perempuan sebagai senjatanya setan, yang tak mungkin kita analisa semuanya dalam makalah ini.
Pandangan Negatif Pemikir Besar terhadap Perempuan
Beberapa pandangan negative pemikir-pemikir besar dunia memberikan dampak pandangan negatif pada perempuan, seperti Plato [427-347 SM] menyatakan “Hanya pria yang diciptakan langsung oleh Tuhan…mereka yang hidup lurus akan kembali ke bintang-bintang, sementara yang hidup menyimpang…dapat diasumsikan telah berubah menjadi perempuan generasi kedua.”
Sementara Aristoteles [384-322 SM] memandang perempuan sebagai manusia ‘yang tidak pari purna’. Perempuan adalah ‘pria yang tidak produktif’.
Inilah di antara faktor-faktor yang menjadikan perempuan mengalami kemunduran peranannya dalam dakwah, disamping minimnya lahan dan sarana yang diberikan perempuan dalam ranah ini, juga kurangnya dukungan dari orang terdekat bagi perempuan yang telah berkeluarga.
Karena itu, untuk menghadapi semua kendala ini, khususnya pada masa kontemporer, dengan mengubah cara pandang masyarakat bahwa pencapaian intelektual dan spiritual bukan dominasi pria semata. Laki-laki dan perempuan mempunyai porsi yang sama. Ini terkait dengan kendala faktor internal.
Namun, terkait dengan faktor eksternal perempuan sendiri yang secara perlahan mengubah paradigma negatif masyarakat terhadap perempuan, dengan cara memfasilitasi dirinya dengan keilmuan dan SDM yang memadai.
Strategi Dakwah Perempuan Ahlul-Bait
Kita mulai dengan menganalisa strategi dakwah Sayidah Fathimah a.s. dan Sayidah Zainab al-Kubra;
Sayidah Fathimah a.s dan Dakwah
Semakin tinggi tingkat spiritual seseorang maka semakin luas pula radius dan kapasitas otoritas yang Allah SWT berikan kepadanya. Muhammad Rasulullah s.a.w. adalah makhluk termulia Allah SWT yang memiliki keluhuran tingkat spiritualitas yang tak tertandingi oleh makhluk manapun sehingga pengutusan beliau bersifat rahmatan lil 'alamin. Sedang Fathimah Zahra a.s. adalah belahan jiwa Rasul s.a.w. yang meniscayakan memiliki radius dan kapasitas yang mirip dengan ayahanda beliau sehingga dinyatakan sebagai sayidatu nisa'il 'alamin, penghulu segenap para wanita.
Sayidah Fathimah a.s. bukanlah figur dalam satu atau dua aspek saja, melainkan dalam berbagai aspek kehidupan, serta tanpa mengenal batas zaman. Di saat Allah SWT dalam Al-Qur'an menyebutkan bahwa Sayidah Maryam a.s. merupakan penghulu para wanita di masanya [QS al-Imron : 42], Rasulullah saw menjelaskan bahwa putrinya merupakan penghulu para wanita di seluruh masa, dari awal hingga akhir penciptaan. Al-Qur'an menggunakan kata 'aa'lamiin' yang artinya secara bahasa 'alam semesta' berkaitan dengan Sayidah Maryam a.s. Perlu diketahui, penggunaan seperti itu dalam Al-Qur'an merupakan hal biasa, sebagaimana tentang kaum Bani Israel dimana Allah SWT telah mengutamakan mereka di alam semesta.[QS al-Baqarah : 47] Tentu maksudnya bukan di seluruh alam dari awal hingga akhir, akan tetapi mereka diutamakan atas yang lainnya pada masanya saja.
Sayidah Fathimah a.s. merupakan 'manusia sempurna' (insan kamil). Segenap kesempurnaan insani telah terjelma di dalam dirinya. Sabda-sabda Nabi Muhamad s.a.w. tentang Sayidah Fathimah a.s. telah menggambarkan akan kesempurnaan beliau. Sabda Rasul seperti, "Ketika aku rindu surga maka aku akan mencium Fathimah",[Ilal asy-Syarayi, jil 7, hal 337] "Sesungguhnya Allah akan murka karena murkamu dan akan ridho karena ridhomu", [Mustadrak Shahihain, jil 3, hal 153-154] "Fathimah adalah bagian dariku...". [Ushul Kafi, jil 1, hal 241]
Dalam usia relatif singkat (18 tahun), beliau banyak berperan dalam dakwah Islam. Pada usai kanak-kanak saat ibunya telah meninggal beliau yang membersihkan kepala Rasulullah yang telah dilempari kotoran hewan. Beliau yang menjadi teman dan pelipur lara ayahandanya hingga mendapat gelar ‘ummu abiiha’, ibu ayahnya. Beliau meriwayatkan hadis dari Rasulullah, yang kumpulan hadis-hadis tersebut disebut dengan Musnad Fathimah. Beliau menjawab berbagai pertanyaan para perempuan yang datang kepada beliau menanyakan masalah-masalah agama. Beliau berkhutbah di hadapan Muhajirin dan Anshor di masjid, beliau pun berkhutbah di hadapan perempuan Muhajirin dan Anshor. [Cesyme dar Bastar; Analisa tentang kehidupan Sayidah Fathimah a.s.]
Beliau satu-satunya perempuan yang diajak Rasulullah untuk Mubahalah dengan tokoh-tokoh Nasrani Najran, untuk membuktikan kebenaran ajaran Islam. Mereka menantang Rasulullah, namun saat melihat sosok yanga menyertai Rasulullah, Ali, Hasan Husein dan Fathimah, mereka mengurungkan niatnya dan mengatakan bahwa jika Mubahalah ini terjadi maka tidak akan tersisa seorangpun dari kaum Nasrani. [Ad-Durrul Mantsur, dibawah penjelasan ayat 61 surat al-Imron ]
Dalam tatanan pembentukan karakter, beliau berhasil membentuk karakter seperti Fidhah Hindi, pelayannya yang pasca meninggal beliau tidak pernah bicara kecuali dengan al-Quran. [Banuye Nemuneh:437]
Zainab al-Kubro, Aqiilah Bani Hasyim
Zainab al-Kubra adalah putri Imam Ali as dan Sayyidah Fathimah as. Tingkat kesempurnaan intelektualitas dan spiritualitas beliau dapat dilihat dari gelar-gelarnya.
Beliau dikenal sebagai ‘Aqilah’ Bani Hasyim. Aqilah adalah shighoh mubalaghah (bentuk kata dalam bahasa Arab yang menunjukkan amat atau sangat) dan memiliki akar kata ‘aqal’, yang artinya sangat berakal, atau kapasitas akalnya amat sempurna, atau perempuan yang sangat cerdas.
Keagungan gelar ini lebih dapat kita pahami jika kita menelaah secara seksama isi khutbah Fadak Sayyidah Fathimah as yang diriwayatkan Ibnu Abbas dari Sayidah Zainab. Bagaimana tidak, khutbah beliau yang amat panjang, sangat fasih dan sarat dengan pembahasan yang sangat tinggi seperti tentang risalah Nabi, falsafah hukum-hukum Islam, kondisi umat setelah wafatnya Nabi…, disampaikan saat Sayidah Zainab berusia lima tahun.
Tingkat spiritualitas beliau sangat tinggi dapat dilihat dari ucapan beliau saat Ibnu Ziyad menanyakan musibah yang menimpanya atas pembantaian Imam Husein, beliau menjawab, “Tidaklah aku lihat semua ini melainkan keindahan!”
Kiprah beliau dalam dakwah, beliau lakukan ketika bersama ayahandanya di Kufah, dengan mengajar tafsir kepada perempuan. Dan saat masih di Madinah pun beliau mengajar para wanita, kelasnya senantiasa di padati pengunjung.
Perannya yang sangat menonjol ialah pasca tragedi Asyuro. Dengan kelebihan yang diwariskan dari ayahnya, tercatat sebagai orator ulung. Saat beliau berpidato, mengingatkan orang-orang akan Imam Ali a.s. Beliau berpidato dengan bahasa yang fasih dan isi yang menggugah (pesan dakwah yang bersifat persuasif), telah memberikan efek afektif. Orang-orang Kufah menangis menyesali perbuatannya setelah mendengar pidato Sayidah Zainab.
Beliau berdebat secara argumentatif dengan Ibnu Ziyad, hingga Ibnu Ziyad marah kepadanya karena semua argumennya berhasil dipatahkan, dan tidak mampu lagi berdialog dengannya, “Sumpah demi Tuhan, perempuan ini penyair dan pandai berbicara seperti ayahnya”. [Zainab Minal Mahdi ilal Lahdi:306]
Di Syam pun, dengan pidatonya yang fasih berhasil mengubah opini umum. Masyarakat Syam, yang semula berpesta pora menyambut kepala Imam Husein berubah bersedih dan menyesali perbuatannya. Dengan strateginya yang tepat, Sayidah Zainab telah berdakwah tepat sasaran.
Pada era kontemporer kita menganalisa dari dua tokoh perempuan Ahlul Bait berikut;
Mufassir dan Mujtahidah Amin
Hajjah Sayyidah Nushrat Bigum Amin, terkenal dengan sebutan ‘Banu-ye Isfahani’ lahir pada tahun 1265 HS (sekarang tahun 1392 HS) di Isfahan, Iran. Beliau adalah seorang Syarifah, yang urutan nasabnya kembali ke Rasulullah Saww.
Sewaktu menginjak umur empat tahun, ibunya mengirim beliau ke Maktab (pusat pendidikan) untuk belajar al-Qur’an dan baca tulis. Zaman itu, jarang sekali keluarga yang mengirim anak perempuannya ke Maktab untuk belajar, bahkan sebagian keluarga tidak memperbolehkan untuk mengajarkan baca tulis kepada anak perempuan, karena itu dianggap tabu.
Sayidah Amin terus melanjutkan pelajarannya dan belajar bahasa Arab sampai usia sebelas tahun. Setelah menuntaskan Pendidikan Mukadimah, kemudian melanjutkan pelajaran Fiqih, Ushul Fara’id, Kifayah al-Ushul dan Bahsul-Kharij Shalat dan Thaharat dalam bidang Fiqih, Syawariqu al-Ilham dalam Teologi, dan Ilahiyat al-Asfar dalam bidang Filsafat.
Beliau menikah pada usia lima belas tahun dengan anak pamannya, seorang Mirza, saudagar terkenal di Isfahan. Meskipun telah berkeluarga dan mempunyai anak, beliau tetap belajar. Beliau memiliki delapan anak, namun yang tetap hidup hanyalah seorang dan yang lainnya meninggal dunia. Beliau selalu berusaha untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pelajaran, dan tetap menjalankan kewajibannya sebagai istri dan ibu.
Cintanya pada ilmu membuatnya senantiasa membawa buku ketika bertamu, dan tetap mengikuti pelajaran saat anaknya meninggal. Ia berkata, “Anakku telah pergi ke Rahmat Ilahi, kenapa harus meliburkan pelajaran? Allah telah menganugerahkan dua nikmat kepadaku. Lalu Dia mengambil salah satunya dariku, kenapa aku harus kehilangan yang lainnya, yaitu nikmat belajar?”
Dengan situasi dan kondisi masyarakat yang masih memandang tabu pendidikan bagi perempuan, beliau meneruskan pelajarannya sampai ke tingkat yang lebih tinggi. Pada usia empat puluh tahun derajat keilmuan dan penguasaan ilmu beliau diakui oleh para ulama besar sehingga beliau pun mencapai derajat ijtihad. Beliau satu-satunya perempuan yang mencapai derajat ijtihad pada zamannya. Prestasi beliau yang luar biasa tersebut menyebabkan banyak berdatangannya para tokoh dan ulama dari berbagai negara Islam untuk bertemu dan berbincang-bincang dengan beliau, seperti Ayatullah al-Udzma Mar’asyi Najafi, Allamah Thabathaba’i (pemilik tafsir Mizan), Allamah Muhammad Taqi Jakfari (filsuf muslim ternama) dan para dosen dari berbagai universitas.
Beliau bukan saja mencapai puncak intelektualitas, namun juga spiritualitas. Beliau dikenal seorang sufiyah yang telah mencicipi manisnya ‘fana fillah’ kasyaf dan syuhud.
Strategi Dakwah Mujathidah Amin
Mujtahidah Amin sampai akhir hayatnya menghabiskan waktunya untuk membina dan memperbaiki kondisi kaum perempuan. Beliau berusaha membimbing dan meningkatkan perkembangan intelektual dan spiritual kaum perempuan. Dalam dakwahnya, beliau menggunakan berbagai strategi;
- Strategi komunikasi
Beliau menggunakan strategi komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesan dakwahnya, baik lisan maupun tulisan. Yaitu dengan aktif menulis dan mengajar ilmu-ilmu agama dan tafsir, juga menjawab berbagai pertanyaan di sebuah lembaga yang bernama “Pusat Dakwah dan Pendidikan Agama” di kota Isfahan. Inilah di antara karya-karya beliau;
1. Arba’in Hasyimiyah
2. Jaami’u asy-Syatat.
3. Ma’ad yo Okharin Sairi Basyar
4. An-Nafahaatu ar-Rahmaniyah fii al-Waaridaati al-Qalbiyah
5. Akhlak (terjemah kitab Ibnu Maskawaih)
6. Tafsir Makhzan al-Irfan; tafsir ini terdiri dari lima belas jilid, dan tiap jlid terdiri dari 400 halaman. Tafsir ini mengandung pembahasan irfan (mistik), pesan-pesan akhlak dan pembahasan menarik lainnya tentang al-Qur’an. Karya tafsir ini kemudian membawa beliau menjadi satu-satunya mufassir perempuan dalam dunia Islam.
7. Rawesy-e Khusybakhti wa Taushiyeh be Khoharan-e Imoni.
8. Makhzanu al-La’ali fii Manaqib Maula al-Mawali (Ali as)
9. Sair wa Suluk dar Rawesy-e Auliya wa Thariq-e Sair Su’ada; kitab ini membahas tentang pembahasan irfan (mistik), seperti Kasyf ‘penyingkapan’, Syuhud ‘penyaksian’, fana’ ‘penyatuan’, baqa’ ‘kekekalan’ dan Sair ilallah ‘meniti jalan’ menuju Allah
- Strategi Pembinaan dan pembentukan karakter
Yaitu dengan membimbing dan membina akhlak para perempuan. Hal it dapat dilihat dari karya-karya beliau dalam bidang akhlak dan tasawuf. - Strategi Pembinaan dan pembentukan karakter
-Strategi pendidikan
Yaitu dengan mendirikan pusat pendidikan agama dan SMA khusus perempuan.
Derajat Keilmuan
1. Beliau telah mencapai derajat ijtihad pada usia 40 tahun, dan juga mendapatkan ijazah untuk berijtihad berkaitan dengan hukum syariat dari beberapa ulama besar.
2 . Beliau mendapatkan ijazah untuk meriwayatkan hadis dari beberapa ulama besar.
3 . Beliau selain pakar dalam bidang fiqih, lebih dari itu beliau juga menguasai bidang Filsafat, Irfan (mistik), baik irfan teoritis maupun praktis, dan Tafsir.
Syahidah Bintul Huda
Perempuan Ahlul Bait lainnya yang banyak kiprah dalam dakwah dan pendidikan ialah Syahidah Aminah Bintul Huda [1938-1980 M], saudari Ayatullah Muhamad Baqir Sadr . Ia lahir di Kazimaen Irak. Ia seorang intelektual, penyair, penulis dan guru besar.
Ia menguasai berbagai bidang ilmu agama seperti Ilmu Hadis, Fikih, Akhlak, Tafsir dan sejarah. Derajat keilmuan beliau mencapai tingkat derajat ijtihad. Ia memainkan peran penting dalam menciptakan kesadaran di antara perempuan Muslim Irak. Dia segera menyadari apa yang dia dianggap penderitaan para perempuan Muslim dan bencana besar yang merusak ideologi Islam di negaranya. Pada usia dua puluhan ia mulai menulis artikel di al-Adwaa, majalah Islam dicetak oleh intelektual agama Najaf.
Selain berdakwah melalui tulisan, beliau pun merupakan penulis novel keagamaan yang produktif. Pesan-pesan agama beliau sampaikan melalui novel, seperti di antaranya;
- Liqa’ fil Mustasyfa [Pertemuan di rumah sakit]; menjelaskan tentang Filsafat Materialis secara mudah dalam bentuk tanya jawab.
- Laitani Kuntu A’lamu [Andaikan Aku tahu…!]; kisah-kisah tentang tujuan membangun karakter, dan penyembuhan beberapa penyakit rukhani
- Al-Baahitsah a’nil Haqiqah [Mencari Hakekat]; membahas tentang esensi agama.
Ia pun berdakwah dengan strategi pendidikan dengan mendirikan beberapa sekolah diniyah untuk perempuan di Bagdad, Kazimaen, Basrah, Najaf, Hillah. Pada tahun 1980, pemimpin agama Ayatollah Sayyid Mohammad Baqir al-Sadr dan Bintul Huda, ditangkap dan kemudian dieksekusi oleh rezim Irak.
Epilog
Dengan demikian, jika kondisi perempuan ingin lebih baik maka langkah pertama dari kaum perempuan sendiri yang harus memperbaikinya. Untuk kemajuan dakwah perempuan perlu perjuangan dan kegigihan kaum perempuan untuk menghadang semua tantangan dan kendala.
Kita semua memiliki tujuan yang sama mengajak pada kebaikan, kita juga di bawah bendera yang sama, bendera Islam. Mari kita membangun negeri tercinta ini dengan kemampuan yang dimiliki oleh perempuan, dan dengan berpijak pada persamaan yang ada. Persamaan kita lebih banyak dari pada perbedaannya. Mari kita belajar dari majlis taklim Muslimat-Nu, Aisyiah dan Fathimiyah kota Bangsri yang bergandengan tangan dan hidup rukun. Musuh Islam akan tersenyum bila melihat kita bermusuhan. Ingin Islam jaya ataukah lemah? Hidup muslimah…!
Rujukan:
- Al-Quran
- Al-Mu’jam al-Mufahrast
- Alkitab, Lembaga al-Kitab Indonesia, Jakarta 2003
- Tafsir Thobari, Muhamad Ibn Jarir Att-Thobari
- Tafsir ad-Durrul Mantsur, Jalalludin as-Suyuthi
- Tafsir Nur ats-Tsaqalain, al-A’rusi
- Tafsir al-Mizan, Allamah Thabathabai
- Ilal asy-Syarayi, Syeikh Shaduq.- Mustadrak Shahihain, Hakim Neisyaburi.
- Cesyme dar Bastar, Pur Sayyid Oghoi
- Ushul Kafi, Muhamad Kulaini.
- Khashaish Zainabiyah, Sayid Nurrudin Jazairi
- Zainab Minal Mahdi Ilal Lahdi, Muhamad Kazim Qazwini
- Kode Etik Mubalig, Murtadha Husaeni
- Islam and Feminism; Membela Perempuan; Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, Ali Husain al-Hakim,et.al
- Banuye Nemune, Jam’i az Muallifan Pajuhesykade Baqirululum.
- www.islamicecenter.com/ketabkhaneh.
- http://fa.wikipedia.org/wik/بنتالهدی_صدر
- www.banooyeirani.ir
(Ikmal-Online/STI)
0 komentar:
Posting Komentar