Oleh: Ustadzah Euis Daryati, M.A.
Diriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, "Seorang anak adalah tuan pada usia 7 tahun pertama, hamba sahaya pada usia 7 tahun kedua, dan menteri pada usia 7 tahun ketiga. Jika engkau merasa puas (sesuai harapan) pada akhlaknya pada usia 21 tahun, jika tidak (sesuai harapan akhlaknya) maka pukullah bagian samping tubuhnya, dengan itu engkau telah menyampaikan uzur di hadapan Allah SWT."
Dalam kesempatan ini saya akan menjelaskan mengenai pendidikan anak usia 7 tahun pertama. Anak-anak usia 7 tahun pertama itu karena faktor kematangan fisik, mental, dan lain-lain, memang harus banyak dilayani. Dari sisi ini, memang ia bagaikan seorang tuan. Tak heran bila anak kecil ‘memerintah’ ibunya, “Ummi, mau makan!”
Tapi apa seorang 'tuan' diperbolehkan berbuat sewenang-wenang? Apakah kita harus memanjakan anak dan membiarkannya melakukan apa saja yang dikehendakinya? Bila kita melihat kepada riwayat-riwayat Ahlul Bait, kita akan menemukan jawaban dari pertanyaan ini.
Seseorang mengadukan perihal anaknya kepada Imam Kadzim as. Beliau berkata, "Janganlah engkau memukulnya, diamkanlah (tidak diajak bicara sebagai hukumannya), tapi jangan berlama-lama mendiamkannya."
Diriwayatkan oleh Ali bin Atsbat, yang mengatakan bahwa Rasulullah melarang mendidik dalam keadaan marah.
Artinya, orang tua tidak boleh mendidik anak dengan kemarahan, apalagi kekerasan. Namun, juga tidak berarti membiarkan saja perilaku buruk anak. Seperti diceritakan seorang akhwat, dalam sebuah majelis, ada anak kecil yang ‘nakal’, dia melakukan berbagai ulah yang membuat kotor ruangan. Si ibu terlihat kalem saja dan sama sekali tidak menegur anaknya. Rupanya ibu itu merasa sedang mematuhi hadis Nabi tentang "memperlakukan anak usia 7 tahun pertama sebagai tuan". Tentu ini tidak tepat. Ortu tetap harus mengenalkan ‘hukuman’ saat anak melakukan kesalahan. Namun hukumannya bukan pukulan, melainkan dengan ‘mendiamkan’-nya. Ibu bisa mengatakan, “Adek, Ummi nggak mau main sama Adek kalau Adek terus membuang-buang makanan.”
Mendidik Akhlak Sejak Dini
Imam Ali as berkata kepada Imam Hasan as, "Sesungguhnya hati anak itu seperti tanah yang kosong, apa saja yang dilemparkan ke dalamnya akan menerimanya. Karen itu aku bersegera mndidikmu dengan adab, sebelum hatimu mengeras dan akalmu menjadi sibuk karena berbagai urusan (Nahjul Balaghah).
Hadis ini juga bisa menjadi pegangan bahwa menyegerakan untuk menanamkan nilai-nilai dan aturan-aturan kepada anak sejak dini. Karena, mendapatkan anak yang berkarakter baik, sholeh atau sholehah itu tidak instan. Perlu proses secara perlahan dan konsisten sejak dini, sebelum dipengaruhi oleh nilai-nilai buruk dari lingkungan. Namun tentu metode dan cara menanamkan nilai dan aturan itu berbeda-beda sesuai tuntutan usia. Contohnya saja, apakah mendidik anak usia 4 tahun untuk sholat tentu berbeda dengan anak usia 8 tahun. Anak usia 4 tahun harus diajak sholat dengan berbagai teknik yang kreatif dari ibu dan ayah. Misalnya, untuk anak perempuan, belikan mukena dan sajadah yang lucu, dijanjikan akan didongengi setelah sholat, dll.
Selain itu, ada kata mutiara yang masyhur "belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu." Yang dimaksud belajar di sini tentunya bukan belajar formal saja, tapi termasuk juga penanaman nilai dan akhlak. Jika kita mendidik karakter anak sejak kecil, insya Allah akan berbekas hingga dewasa. Sebaliknya, karakter buruk yang dipelajarinya sejak kecil, juga akan menempel hingga dewasa. Itulah sebabnya orang tua perlu sangat waspada dalam mendidik anak pada usia dini. Jangan sampai anak dibiarkan tanpa pengarahan, karena akibatnya akan membekas sampai tua.
Selain itu, anak usia 7 tahun pertama harus dididik sesuai kondisi kejiwaan anak pada usia itu, yaitu jiwa bermain yang sangat dominan. Masa kecil adalah masa di mana anak harus bermain. Melalui bermain-lah dia mempelajari banyak hal. Jadi, orang tua dalam mengajari anaknya, penting sekali menggunakan media bermain. Misalnya, menghafal Quran sambil bermain tebak-tebakan: “Hayo surah apa yang diawali huruf qaf?” Anak yang tidak dibiarkan bermain, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang hatinya kering. Tak heran bila ada julukan “masa kecil kurang bahagia" terhadap orang-orang dewasa yang tingkahnya bak anak-anak, misalnya sikut-sikutan karena berebut jabatan duniawiah, atau tak bertanggung jawab atas urusan keluarganya.
Pentingnya bermain bagi anak, juga disampaikan Imam Shadiq as. Beliau berkata,"Anak itu biarkan bermain pada usia 7 tahun pertama.”
Ayatullah Jawadi Amuli memberikan penafsiran menarik atas surat Al Hadid ayat 20. Beliau menafsirkan ayat berikut sebagai fase-fase kehidupan manusia secara kejiwaan, "Sesungguhnya kehidupan dunia itu permainan (laibun), hura-hura (lahwun), perhiasan(zinatun), saling membanggakan (tafakhur), mengumpulkan harta dan anak.”
Dengan kata lain, dalam ayat ini dijelaskan faktor-faktor apa yang mendominasi kejiwaan manusia pada setiap fase hidupnya:
Laibun: masa kanak-kanak adalah masa bermain. Kita melihat mereka main masak-masakan, bermain peran sebagi ibu dan ayah, perang-perangan, dll. Jangan dianggap ini semua sia-sia. Justru, permainan merupakan pembelajaran hidup bagi anak-anak.
Lahwu : masa remaja, dimana secara kejiwaan mereka cenderung hura-hura.
Zinatun : peralihan masa remaja ke dewasa, dimana mereka lebih cnderung ingin menonjolkan penampilan fisik dan kecantikan.
Tafakhur : adalah ketika manusia berumah tangga, satu sama lain saling membanggakan benda-benda, anak, dan harta yang dimiliki
Fase terakhir adalah ketika manusia menjadi tua, dan ia telah mengumpulkan anak-cucu dan harta.
Tentu saja, manusia yang selamat adalah mereka yang tidak akan membiarkan jiwanya didominasi oleh hal-hal buruk.
Khusus tentang masa bermain, mari kita ingat hadis Rasulullah. Beliau bersabda,"Barangsiapa yang punya anak kecil maka berperilakulah seperti ank kecil."
Rasulullah juga pernah bersabda, "Kelincahan (kenakalan) di waktu kecil menunjukkan kebijaksanaa di waktu dewasa.”
Hadis ini bisa dimaknai bahwa ketika berinteraksi dengan anak, ortu perlu bersikap lincah, penuh canda tawa, dan gemar bermain, seperti layaknya anak-anak. Ortu juga harus memandang ‘kenakalan’ anak sebagai bentuk kecerdasan. Jangan marah ketika anak mencoret dinding. Justru saat itu dia sedang berkreasi. Arahkan saja agar anak mencoret di kerta yang disediakan, atau tempellah dinding dengan kertas supaya anak leluasa mencoret dan berkreasi. Imam Khomeni pernah berkata bahwa aturlah rumahmu sedemikian rupa hingga tidak mengekang rasa ingin tahu anak. Maksudnya, jauhkan barang-barang yang berbahaya, atau barang mahal yang mudah rusak. Jangan sampai hanya karena kuatir atas keselamatan barang, lalu anak dilarang melakukan ini-itu dan berkreativitas.[]
(Ikmal-Online/STI)
0 komentar:
Posting Komentar