Oleh: Wahyu Hidayat
Sayyidah Zainab al-Kubra tumbuh dan berkembang di rumah tempat para malaikat berlalu lalang. Di rumah yang nama-nama suci Allah selalu dikumandangkan, yang para penghuninya merupakan pengejawantahan segala kesempurnaan, kezuhudan, keberanian, kedermawanan, ahklak mulia, penghambaan, keadilan dan segala sifat sempurna lainnya. Kakeknya Rasulullah SAW yang merupakan manusia paling sempurna di alam semesta dan penghulu para nabi , cukup memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan kepribadian beliau. Nabi Muhammad SAW senantiasa memperhatikan para putra dan putri Sayyidah Fatimah Zahra dengan sepenuhnya serta mengasihi mereka.
Sayyidah Zainab al-Kubra demikian Rasulullah SAW memberi Gelar kepada cucunya dengan al-Kubra yang berarti yang besar atau agung merupakan anak dari Sayyidah Fatimah Az-Zahra (Putri Rasulullah SAW) dan Sayyidina Ali Karramallah Wajhah, saudara -saudara Sayyidah Zaenab bernama Sayyidina Hasan dan Sayyidana Husain.
Wanita Mulia yang Lahir tanggal 5 Jumadil Awal tahun 6 Hijriyah ini senantiasa selalu dibawa oleh Rasulullah SAW. Suatu hari sang nabi Rasulullah SAW menggendong Zainab sambil menangis hingga bercucuran air matanya sambil berkata : “Wahai putriku Fatimah ketahuilah bahwa cucuku ini akan ditimpa berbagai musibah dan menghadapi banyak cobaan”, begitupun sewaktu Malaikat Jibril berkunjung ke rumah Rasulullah SAW dan melihat Zainab cucu Rasulullah SAW, Malaikat jibril pun ikut menangis “Aku sedih melihat anak ini yang akan menyaksikan dan menghadapi berbagai macam cobaan dan musibah.” kata Jibril as. Demikianlah Ramalan yang telah digambarkan Rasulullah SAW.
Salah satu gelar termasyhur beliau ialah ‘Aqiilah’. Ibnu Duraid dalam karyanya ‘Jamharotul Loghah’ berkata: “Fulanah Aqiilatul qaum berarti perempuan itu ialah perempuan paling mulia dari kaumnya.” Terdapat kisah tentang Sayyidah Zainab dalam berbagai sumber yang mengisyaratkan tentang kesempurnaan akal beliau. Dalam sejarah disebutkan bahwa pada suatu hari Sayyidah Zainab yang masih kecil bertanya kepada ayahnya, “Ayahku sayang, apakah engkau mencintaiku?” Kemudian Imam Ali menjawab: “Bagaimana mungkin aku tidak mencintaimu, kau adalah buah hatiku”. Lantas beliau berkata lagi: “Ayahku sayang, kecintaan hanyalah untuk Allah SWT sementara kasih sayang untuk kita”.
Dalam riwayat lain pula dijelaskan bahwa suatu hari Imam Ali mendudukkan putrinya Zainab al-Kubra dipangkuannya lalu beliau mengelus-ngelus kepalanya seraya berkata: “Putriku sayang, katakan satu.”“Satu,” timpal beliau. Kemudian Imam Ali melanjutkan ucapannya: “Putriku sayang, katakan dua”. Namun Sayyidah Zainab diam tidak menjawabnya. Lalu Imam Ali mengulangi ucapannya seraya berkata: “Berkatalah wahai cahaya mataku”. Sayyidah Zainab menjawab: “Ayahku sayang, aku tidak dapat mengatakan dua dengan lidahku yang dengannya aku katakan satu.” Mendengar hal itu lantas Imam Ali memeluknya dan menciumnya dengan penuh rasa haru. Kisah di atas menunjukkan kematangan dan kemampuan daya pikir lebih yang dimiliki oleh Sayyidah Zainab . Padahal beliau kala itu masih kanak-kanak. Dalam usia dini beliau dapat memahami bahwa ketika beliau telah mengatakan Tuhan itu Esa maka beliau tidak dapat mengatakan Tuhan itu dua. Dengan kata lain beliau telah memahami kontradiksi antara konsep monoteisme dengan dualisme. Inilah salah satu perwujudan gelar ‘aqiilah (sangat berakal)’ yang disandang Sayyidah Zainab al-Kubra, berupa kematangan dan kecerdasan akal tinggi.
Keutamaan lain yang dimiliki Sayyidah Zainab ialah beliau memiliki ilmu tanpa ada yang mengajari. Imam Ali Zainal Abidin berkata: “Wahai bibiku… engkau berilmu tanpa ada yang mengajarimu dan memahami sesuatu permasalahan, tanpa ada yang memahamkannya/menerangkannya.”
Ilmu merupakan salah satu sumber kesempurnaan, kemuliaan, derajat tinggi bagi manusia sehingga Islam selalu memerintahkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu. Beliau merupakan salah satu perwujudan hadis Rasulullah SAW yang berbunyi: “Ilmu adalah cahaya yang disematkan Allah SWT pada hati orang-orang yang dikehendaki-Nya
Derajat keilmuan beliaupun telah terbukti ketika beliau berdebat dan berdialog dengan Ibnu Ziyad di Kufah. Beliau menjawab dengan tangkas segala pernyataan Ibnu Ziyad. Sampai akhirnya Ibnu Ziyad marah kepadanya, karena setiap ia berkata Sayyidah Zainab dengan tangkas akan mematahkan segala argumennya. Sampai akhirnya Ibnu Ziyad tidak mampu lagi berdialog dengannya dan berkata;“Sumpah demi Tuhan, perempuan ini penyair dan pandai berbicara seperti ayahnya”.
Sejarah juga telah mencatat ibadah beliau digelari dengan (‘Abiidah) yang artinya banyak beribadah. Ibadah wajib maupun nafilah yang tidak pernah beliau tinggalkan meskipun dalam kondisi sulit. Bahkan pada malam Asyura beliau menghabiskan waktunya dengan shalat malam dan bermunajat kepada kekasih sejatinya, Allah SWT. Ketika menggambarkan maqam ubudiyyah Sayyidah Zainab, Imam Ali Zainal Abidin berkata: “Sesungguhnya bibiku Zainab telah mendirikan shalat wajib dan nafilahnya dalam keadaan berdiri. Namun kadang-kadang di sebagian rumah beliau lakukan dalam keadaan duduk. Ketika aku menanyakan sebabnya beliau menjawab: Aku melaksanakan shalat sambil duduk karena rasa lapar dan lemah yang amat sangat. Sebab selama tiga malam aku telah memberikan bagian makananku kepada anak-anak. Dalam sehari semalam, mereka hanya memakan sepotong roti”.
Peristiwa ini terjadi ketika Sayyidah Zainab berada dalam kondisi tertawan dan diarak dari Kufah menuju Syam. Teriknya matahari dan dinginnya malam telah menyiksa beliau dan rombongan tetapi beliau tidak meninggalkan shalat malamnya dalam kondisi sesulit itu.Para ahli sejarah Islamsepakat bahwa Sayyidah Zainab adalah wanita pertama dalam Islam yang ikut berperan dalam panggung politik. Namanya selalu disebut bersamaan dengan tragedi Karbala, salah satu peperangan yang sangat mengerikan dalam sejarah Islam. Tidak ada seorangpun yang mengingkari posisi Sayyidah Zainab dalam tragedi tersebut. Bahkan ada yang menamakannya sebagai Pahlawan Karbala, karena ia adalah satu-satunya wanita yang melindungi para tawanan yang terdiri dari keluarga Bani Hasyim. Dalam posisi genting tersebut, ia siap mengorbankan jiwanya demi membela seorang anak kecil yang sedang menderita, Ali Zainal Abidin bin Husain. Dari peristiwa inilah ia disebut sebagai Ummu Hasyim. Bahkan sebagian sejarawan menambahkan bahwa sikap Sayyidah Zainab setelah peperangan itulah yang menjadikan Karbala sebagai tragedi yang terus dikenang.
Demikianlah, perjalanan hidup Sayyidah Zainab dilalui dengan kesedihan, karena kematian dua orang yang paling ia cintai. Dan pada waktu yang sama, ia harus bertanggung jawab atas saudara-saudaranya, Hasan, Husain dan Ummu Kultsum, sehingga ia pun berposisi sebagai ibu pengganti bagi mereka.
Sayyidah Zainab pernah mendengar dari ayahnya Imam Ali bahwa “Manusia tidak akan pernah mampu mengenal hakikat iman tanpa memiliki tiga hal dalam dirinya; pengetahuan akan agama, kesabaran di tengah kesulitan dan pengelolaan yang baik urusan kehidupannya.” Wanita mulia ini menerima tanggung jawab berat dan sulit, namun kesabarannya seperti permata yang menghiasi jiwanya. Sungguh Sayyidah Zaenab sosok wanita tabah dan teguh yang patut diteladani.
(Ikmal-Online/STI)
0 komentar:
Posting Komentar