Dalam acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di halaman Gedung PBNU, Jakarta Pusat Sabtu (3/12/2016) malam, Ketua Umum PBNU KH Said Agil Siradj menjelaskan bahwa lima belas abad yang lalu, Rasulullah Muhammad SAW telah menampakkan teladan kehidupan penuh kebhinnekaan dan penghargaan tinggi atas keniscayaan pluralisme. Itu terbukti dengan bersatunya kaum Muhajirin pendatang dari Mekkah dengan kaum Anshar di kota Yatsrib.
Yatsrib adalah sebuah kota yang didirikan oleh Yatsrib bin Laum bin Syam bin Nuh. Kota yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Madinah. Di kota tersebut, Rasulullah dan pengikutnya mendapati kehidupan masyarakat yang majemuk. Ada Muslim pendatang bersama Rasulullah yang disebut Muhajirin, ada pula penduduk beragama Nasrani, Yahudi, dan Majusi. Sementara penduduk asli Yatsrib, menurut Ketua Umum PBNU tersebut terdiri dari dua suku, yaitu Aus dan Khajraj. Watak mereka inilah yang digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai penduduk yang menerima dengan lapang dada para pendatang.
“Karakter Muhajirin adalah orang-orang yang hijrah meninggalkan tanah kelahirannya sampai rela menjadi miskin. Muhajirin meninggalkan kekayaan dan jabatannya. Apa yang dicari? Mereka mencari fadhal (keutamaan) dan ridha Allah,” terang pria yang akrab disapa Kang Said itu, mengutip ayat Al-Qur’an.
“Orang-orang yang menyiapkan mental, tempat tinggal, fasilitas, menerima, dan menyambut kedatangan Muhajirin. Orang pribumi memiliki rumah empat kamar. Mari separoan. Memiliki kebun empat hektare ayo separoan. Binatang ternak juga separoan. Hatinya mencintai Muhajirin tanpa pamrih, tanpa tendensi apa-apa,” kisah Kiai asal Cirebon itu. “Itulah watak mulia dan karakter penduduk Yatsrib, yang sangat mendahulukan kepentingan Muhajirin. Penduduk yang karena berwatak seperti itu, disebut Rasulullah sebagai kaum Anshar.”
Begitulah penduduk kota Yatsrib pada masa itu sesungguhnya terdiri dari banyak kelompok, agama dan suku berbeda-beda, namun semua tetap bisa hidup damai dalam kebersamaan.
“Karena itu, Rasul sampai mengeluarkan seruan, bahwa Muslim pendatang, Muslim pribumi, non-Muslim, asalkan satu visi, satu misi, satu perjuangan, satu prinsip, sesungguhnya semua itu adalah satu umat,” tambah Kang Said menunjukkan bahwa teladan itu sudah coba diterapkan Rasulullah pada masanya dan terbukti berhasil. Bahkan hingga terbangun konstitusi modern, padahal saat itu belum ada Amerika, belum ada PBB.
“Konstitusi negara Madaniyah itu pun tidak berdasarkan pada agama, suku, atau etnik. Bukan pula negara Islam, bukan negara Arab. Tetapi negara Madaniyah dibangun berdasarkan penegakan kebenaran, kebersamaan, keadilan. Yang benar dilindungi, tidak pandang agamanya apa, sukunya apa,” lanjutnya.
Semangat inilah yang menurutnya harus dikembangkan oleh para Kiai dan ulama di Tanah Air. Semangat yang sama sebagaimana telah dikuatkan dalam Muktamar NU di Banjarmasin pada tahun 1936 dan kemudian menjadi semangat NU dalam kehidupan beragama dan bernegara dengan prinsip “Hubbul wathan minal iman” yang bermakna “menjaga Tanah Air adalah bagian dari iman”.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
1 komentar:
Titanium Rod in Leg Gently Impressions - TITNCERB.COM
Titanium Rod, manufactured apple watch 6 titanium in Solingen in Germany, is ion titanium hair color highly polished and reliable, with good results titanium phone case and high performance. titanium trimmer The aluminum rods mens titanium rings feature
Posting Komentar